Pro Kontra Pencabutan Subsidi Listrik, INDEF: Tunggu Ekonomi Tumbuh 5%

Image title
8 April 2021, 13:48
subsidi listrik
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/pras.
Petugas memeriksa meteran listrik di Rumah Susun Bendungan Hilir, Jakarta, Senin (4/5/2020).

Pemerintah berencana mengubah skema penyaluran subsidi listrik untuk golongan tidak mampu secara tertutup. Sebagai gantinya, pelanggan dari golongan tidak mampu akan mendapatkan subsidi secara tunai sebesar Rp 60 ribu - 126 ribu per bulan.

Nantinya subsidi akan diberikan tidak lagi berdasarkan daya listrik yang terpasang, yakni golongan 450 VA hingga sebagian pelanggan 900 VA yang tidak mampu, melainkan berdasarkan daftar rumah tangga miskin di basis data terpadu Kementerian Sosial.

Advertisement

Dengan perubahan skema ini, negara berpotensi menghemat belanja hingga Rp 22,12 triliun dalam RAPBN 2022. Kebijakan ini juga seiring dengan rencana pemerintah yang akan menyesuaikan tarif listrik untuk semua golongan pelanggan.

Meski demikian, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengusulkan supaya pemerintah menunda penyesuaian subsidi listrik hingga ekonomi tumbuh di atas 5%. Sehingga skema subsidi yang ada saat ini tetap dilanjutkan.

"Setiap penghematan uang negara dari pemangkasan subsidi akan berdampak pada kenaikan pengeluaran di kelompok masyarakat yang selama ini menikmati subsidi listrik," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (8/4).

Dengan catatan, sektor industri yang sebelumnya mendapat diskon listrik dapat lebih selektif lagi. Seperti pada industri tekstil. Pengusaha yang mendapatkan diskon tarif listrik 30% maka tidak boleh mem-PHK karyawan. "Atau mampu menaikkan output produksinya. Itu saja bisa mencegah kebocoran program bantuan listrik," kata Bhima.

Ia meminta pemerintah belajar dari dampak pencabutan subsidi listrik 900 VA pada 2017 lalu. Ketika itu masalah data yang belum valid membuat konsumen mengeluh karena terjadi tekanan pada sisi pengeluaran. Dampaknya pun terasa hingga tiga tahun berikutnya dimana konsumsi rumah tangga melemah.

Oleh karena itu Bhima mempertanyakan apakah penyesuaian subsidi listrik ini tepat dilakukan saat konsumsi rumah tangga melambat. Apalagi IMF baru saja memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah outlook perekonomian global yang positif.

Selain itu integrasi data penerima subsidi juga relatif lemah, terlihat dari banyaknya program bansos yang selama pandemi ini justru terjadi tumpang tindih mulai dari pusat hingga daerah. Banyak program tapi kurang tepat sasaran. Bahkan ada kejadian orang sudah meninggal masih mendapat bansos.

"Pendataan masih bermasalah. Jika terburu buru mencabut subsidi, dikhawatirkan jumlah orang miskin akan naik termasuk yang rentan miskin akan ada dibawah garis kemiskinan," ujarnya.

Berkebalikan dengan Bhima, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai keputusan pemerintah untuk menyesuaikan tarif sudah tepat.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement