Tagihan Skema Take or Pay PLN Tahun Ini Diperkirakan Tembus Rp 100 T

Image title
27 Agustus 2021, 18:11
PLN, listrik, take or pay
ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/aww.
Pekerja beraktivitas di Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (Gitet) transmisi Jawa bagian timur dan Bali di Kota Kediri, Jawa Timur, Rabu (8/4/2020).

Tagihan pembelian listrik PLN dari pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) melalui kebijakan take or pay (TOP) sejak 2019 terus meningkat. Bahkan tahun ini angkanya diperkirakan dapat mencapai Rp 102-103 triliun.

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa menilai skema pembelian listrik dari pihak swasta melalui kebijakan tersebut cukup mengerikan. Pada 2019 misalnya, total pembayaran ke sejumlah IPP yang didominasi batu bara mencapai Rp 83,56 triliun.

"Kemudian di tahun 2020 mencapai Rp 98,65 triliun dan 2021 diperkirakan mencapai Rp 102-103 triliun itu adalah beban yang luar biasa," ujarnya dalam diskusi Bincang-bincang METI, Jumat (27/8).

Oleh sebab itu, ia menduga ketika pendapatan PLN berkurang karena masifnya penggunaan PLTS atap. Maka mereka-mereka yang selalu dibayar oleh PLN dengan harga tinggi ini yang mulai khawatir karena penetrasi PLTS atap semakin besar.

Fabby pun prihatin melihat kondisi keuangan PLN saat ini, terlebih di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 tidak ada kenaikan tarif listrik.

Ia heran kenapa PLN masih saja menggunakan skema ini. Padahal take or pay dengan kontrak jangka panjang selama 30 tahun itu merupakan kontrak dari IPP generasi pertama pada tahun 1992.

"Di negara lain kontrak PLTU tidak ada yang sampai 30 tahun. Kenapa gak 20 tahun. Tapi hal-hal ini saya kira ini sesuatu yang perlu direvisi. Ini kita perlu mendorong untuk PLN melakukan renegosiasi," ujarnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...