Serapan Gas Domestik Loyo, Potensi Ekspor di 2035 Terbuka Lebar?
Pemerintah perlu menggenjot permintaan gas di pasar domestik sebelum benar-benar menghentikan ekspor pada 2035. Pasalnya, serapan gas dalam negeri hingga saat ini masih belum optimal.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan gas bumi akan memainkan peran penting dalam transisi energi bersih di Indonesia.
Namun dengan target produksi gas sebesar 12 miliar standar kaki kubik (bscfd) pada 2030, akan sangat sulit untuk menghentikan ekspor sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang ditetapkan pada 2017, tanpa serapan domestik yang memadai.
"Sulit sekali untuk mengatakan 2035 larangan ekspor jika kita tidak bisa menciptakan pasar di dalam negeri," katanya dalam acara IPA Convex 2021, Kamis (2/9).
Oleh karena itu, saat ini DEN dan bersama beberapa Kementerian tengah membahas rencana untuk merevisi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017 sesuai kondisi ekonomi saat ini. Salah satunya dengan memasukkan Grand Strategi Energi Nasional untuk menyempurnakannya.
Pasalnya, acuan RUEN 2017 sudah tidak sesuai, lantaran asumsi makro yang dibuat pemerintah meleset dari target. Salah satunya yaitu target pertumbuhan ekonomi yang cukup ambisius, yakni di angka 7-8%.
"Saat kita membentuk RUEN maka itu berbasis pada asumsi pertumbuhan ekonomi 7-8% tanpa mempertimbangkan adanya pandemi dan pertumbuhan ekonomi dan ini berdampak pada ekonomi," katanya.
Dengan kondisi saat ini, menurut Satya sudah banyak permintaan gas domestik yang hilang. Oleh karena itu, target produksi gas sebesar 12 bscfd pada 2030 juga harus diimbangi dengan adanya serapan dari pasar domestik. Simak sektor dengan serapan gas tertinggi pada databoks berikut:
CEO of Pertamina Hulu Energi (PHE) Budiman Parhusip, mengatakan dalam mengembangkan lapangan-lapangan yang mempunyai potensi gas, pasar merupakan hal utama yang cukup penting. Dengan begitu, kontraktor dapat memetakan perencanaan pengembangan dan rencana eksplorasi lebih lanjut.
Menurut dia pengembangan pasar sangat penting bagi investor gas untuk menentukan tujuan investasi. Karena jika pasar terganggu maka kegiatan eksplorasi juga akan tersendat.
"Jadi stakeholder harus terus menerus melihat apakah mungkin ada regulasi yang perlu diubah yang dapat mengakselerasi pengembangan-pengembangan kedepannya," katanya.
Berdasarkan data DEN, volume ekspor gas dalam satu dekade terakhir terus menurun. Hal ini seiring dengan kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik.
Pada 2010, misalnya, ekspor sebesar 4.336,0 miliar British thermal unit per hari (bbtud), turun menjadi 4.078 bbtud pada 2011. Kemudian 3.631 bbtud pada 2021, hingga menjadi 2.108,2 bbtud pada 2020, dengan alokasi untuk kebutuhan domestik mencapai 63,02%.
Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto sebelumnya mengatakan bahwa pemerintah sengaja menurunkan volume gas yang dialokasikan untuk ekspor. Kebijakan ini diambil supaya pemerintah dapat memenuhi kebutuhan gas di dalam negeri terlebih dahulu.
"Sehingga ada multiplier effect (efek pengganda) dan penciptaan nilai tambah dalam negeri serta menyerap tenaga kerja. Serapan gas bumi memang mengalami penurunan sejak terjadinya pandemi Covid-19," ujarnya.
Di samping itu, penerimaan negara dari sektor migas juga hanya berkontribusi 5%. Untuk itu, menurut Djoko telah terjadi perubahan paradigma bahwa sektor migas diutamakan untuk pembangunan ekonomi.
"Pada 2036 kita sudah akan hentikan ekspor gas. Kita manfaatkan dalam negeri, tahun 2036 transisi energi akan gunakan gas bumi," ujarnya. Simak perkembangan pasokan gas untuk kebutuhan domestik dan ekspor pada databoks berikut: