Wacana Larangan Ekspor Produk Olahan Nikel Kurang 70% Menuai Kritik
Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengkritik rencana pemerintah untuk melarang ekspor produk olahan nikel dengan kandungan di bawah 70%. Mereka mempertanyakan alasan pemerintah menetapkan batasan 70% tersebut.
"Apa dasar pengenaan batas minimum kandungan nikel 70%. Mengapa menetapkan batasan 70%, mengapa tidak 10% atau mengapa tidak sekalian 90%," kata Ketua Umum Perhapi, Rizal Kasli, kepada Katadata.co.id, Selasa (21/9).
Dia menambahkan, pabrik pengolahan nikel di Indonesia saat ini menghasilkan nikel dengan beberapa jenis dan spesifikasi dengan kandungan berkisar 10% yakni nickel iron pig (NPI), feronikel di atas 10%, nikel matte sekitar 78%, serta hasil pengolahan hidrometalurgi dengan kandungan nikel di atas 20%.
Artinya, jika batasan 70% itu menjadi acuan, maka berarti hanya produk nikel dalam bentuk matte saja yang bisa diekspor. Dalam hal ini, di Indonesia hanya PT Vale saja yang pabrik pengolahannya menghasilkan nikel dalam matte.
Menurut Rizal banyak pihak yang tidak paham, bahwa nikel matte, yang diproduksi oleh PT Vale, justru kandungan nikelnya hanya dihargai 78% dari harga acuan di London Metal Exchange (LME). Artinya, dalam setiap nikel yang terkandung dalam matte, harganya didiskon sekitar 28% karena masih mengandung kotoran berupa sulfur.
Namun sebaliknya, produk feronikel yang dihasilkan oleh pabrik Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang banyak beroperasi di Indonesia, kendati kandungan nikelnya hanya 10%, namun dihargai penuh dari dari harga LME yang berlaku.
"Artinya, relevansi pembatasan produk yang mengandung 70% nikel, justru menjadi bias dan tidak relevan. Sebab kenyataannya, yang lebih ekonomis dan menguntungkan perusahaan dan negara, justru adalah produk nikel yang kadarnya lebih kecil dari 70% nikel," katanya.
Simak realisasi produksi olahan nikel Indonesia sampai dengan 2019 pada databoks berikut:
Selain itu, produk hasil pengolahan nikel di Indonesia seluruhnya berupa intermediate product atau produk antara. Produk ini, berdasarkan pohon industri harus diolah lebih lanjut oleh industri hilir untuk bisa menghasilkan produk turunan yang bersifat produk akhir.
Permasalahannya, industri hilir yang dapat mengolah produk antara tersebut, belum sepenuhnya terdapat di Indonesia. Kalaupun ada, Rizal menyebut kapasitasnya masih sangat terbatas.
Misalnya, produk feronikel yang dihasilkan oleh RKEF, adalah produk antara sebagai bahan baku produk stainless steel. Di Indonesia, pabrik stainless steel yang beroperasi masih sangat terbatas, yaitu di Morowali.
Untuk membangun pabrik stainless steel diperlukan mangan (Mn) dan Krom (Cr) yang potensinya di Indonesia sedikit. Begitu pula dengan produk hidrometalurgi berupa Mixed Hydroxide Precipitate atau Mixed Sulfide Precipitate yang merupakan produk bahan baku untuk industri baterai mobil listrik. Sedangkan Indonesia belum memiliki industri tersebut.
Artinya, jika pembatasan tersebut akan dilakukan, maka pekerjaan rumah terbesar pemerintah adalah bagaimana upaya untuk membangun dan melengkapi pohon industri di sektor hilir yang belum lengkap tersebut. Khususnya agar produk antara yang dihasilkan oleh pabrik pengolahan tersebut dapat terserap seluruhnya di pasar.
Selain itu, jika ketentuan tersebut berlaku, maka perlakuan adil harus diberlakukan. Pembatasan 70% nikel menurut dia tidak relevan dan tidak adil untuk diterapkan, karena angka 70% tersebut tidak mempunyai basis kajian teknis dan ekonomis yang dapat dipertanggungjawabkan.
"Yang tak kalah penting, pemerintah harus menentukan skema harga yang berkeadilan, dengan menerapkan harga domestik yang setara dengan harga yang berlaku di pasar internasional," katanya.
Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyatakan pemerintah akan melarang ekspor produk olahan nikel dengan kandungan 30-40%. Pemerintah hanya akan memperbolehkan ekspor olahan produk nikel dengan kandungan minimal 70%.
Kebijakan tersebut diambil dengan memperhatikan jumlah cadangan nikel yang ada saat ini. Selain itu, hal tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah produk mineral.
"Menyangkut kandungan 70% untuk ekspor, supaya ekspor Indonesia ada nilai tambah. Saya mantan pengusaha jadi rasa iri ke negara lain ada. Kalau negara lain ada cadangan yang gak dimiliki dia akan manfaatkan betul ke produk turunan," ujar Bahlil pekan lalu.
Meski masih dalam tahap wacana, Bahlil hanya ingin memastikan bahwa Indonesia tak boleh lagi dipermainkan oleh negara lain. Pesan tersebut menurut dia yang ingin disampaikan ke dunia internasional. "Dunia lagi butuh sumber daya, jangan kita posisikan diri dengan bargaining yang lemah," katanya.
Pemerintah sendiri telah melarang ekspor bijih nikel mulai Januari 2020. Kebijakan tersebut sejalan dengan diterbitkannya Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.