Harga Batu Bara Sentuh US$ 207/Ton, Diprediksi Masih akan Terus Naik
Harga batu bara terus mengalami kenaikan hingga menembus level US$ 200 per ton. Pada perdagangan Selasa, 28 September 2021, harga batu bara di ICE Newcastle (Australia) telah mencapai US$ 207,70 per ton.
Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy memprediksi harga batu bara masih akan terus menanjak dalam jangka pendek seiring ketatnya pasokan batu bara di tengah tingginya permintaan.
Produsen batu bara seperti Rusia menghadapi peningkatan permintaan dari Cina, Korea Selatan, dan Jepang. Untuk Jepang misalnya disebabkan oleh naiknya permintaan industri dan rumah tangga setelah mesin ekonomi kembali berjalan.
"Jepang sebenarnya dapat meningkatkan permintaan dari Australia, namun sentimen lingkungan dan juga masalah tenaga kerja menjadi kendala tersendiri," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Rabu (29/9).
Untuk itu, dia memproyeksikan harga batu bara sepanjang tahun ini hingga tahun depan masih akan relatif tinggi. Meski demikian, penggunaan dari energi baru terbarukan (EBT) akan mengurangi permintaan komoditas ini dalam jangka panjang, harga batu bara menurut Yusuf berpeluang akan melandai secara bertahap.
Simak perkembangan harga batu bara acuan Indonesia pada databoks berikut:
Saat ini Inggris dan negara-negara di kawasan eropa tengah mengalami krisis listrik dan mengupayakan untuk penggunaan batu bara. Hal ini terjadi lantaran penggunaan energi bersih yang kekurangan supply karena perubahan iklim cuaca.
Akibatnya untuk negara eropa kemudian pilihannya adalah penggunaan energi natural gas, sayangnya supply natural gas juga berkurang karena ternyata permintaan terhadap permintaan gas ini juga mengalami peningkatan salah satunya dari Brazil dan juga Cina.
"Makanya pilihan alternatifnya ada pada batubara. Akan sulit menjawab sampai kapan, tapi setidaknya krisis listrik di Eropa berpotensi berlanjut sampai dengan musim dingin selesai," katanya.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai ketergantungan pada energi fosil membuat keamanan energi menjadi rentan. Pasalnya, energi fosil adalah komoditas yang tradable dan harganya saling terkait di pasar komoditas internasional.
Oleh karena itu menurunkan ketergantungan menurut Fabby sangat penting sekali, dengan cara meningkatkan bauran energi terbarukan. Untuk kasus Inggris, menurut dia Indonesia perlu melihat hal-hal yang lebih detail.
Fabby mengatakan Inggris justru terlambat mengembangkan energi terbarukan. Sehingga saat ini terjebak dengan adanya kenaikan harga gas bumi. "Perkaranya bukan di transisi energi. Justru kalau renewable energy dominan, maka harga energi fosil yang tinggi tidak jadi masalah," kata dia.