Kenaikan DMO Batu Bara jadi 30% di RUU EBT Akan Hambat Transisi Energi
Usulan menaikkan porsi penjualan untuk pasar dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) batu bara dari 25% menjadi 30% dari total produksi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) dinilai tak sejalan dengan misi transisi energi.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan (METI), Surya Darma, mengaku sulit membayangkan adanya kebijakan penambahan DMO batu bara di tengah upaya transisi energi di dalam negeri.
“Saya sulit untuk membayangkan, seolah-olah akan mendorong pemanfaatan batu bara. Itu sama sekali tidak sejalan dengan cita-cita dan target kita dalam menjalankan transisi energi,” kata Darma kepada Katadata.co.id, Rabu (23/3).
Dia menambahkan, seyogyanya pemerintah membuat instrumen regulasi yang memberikan porsi yang lebih besar kepada energi terbarukan agar bisa berkembang lebih cepat. Hal ini menurutnya bisa dilakukan dengan melibatkan swasta.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, mengatakan penambahan DMO ini merupakan bagian dari inkonsistensi pemerintah dalam komitmennya untuk melakukan transisi energi.
Selain itu, belum ada rencana yang jelas untuk penghapusan batu bara dan pensiun dini PLTU. Indonesia malah memiliki rencana membangun PLTU batu bara baru sebesar 13,8 GW dalam RUPTL PLN 2021-2030. “Rencana ini akan menghambat transisi energi dalam 30-40 tahun ke depan,” kata Tata.
Tata menambahkan, jika aturan penambahan DMO batu bara disetujui, Indonesia akan gagal melakukan transisi energi secara tepat waktu dan luput dalam upaya mengatasi krisis iklim. Peningkatan penggunaan batu bara dan energi fosil lainnya dalam proporsi yang besar akan menutup ruang EBT.
“Jadi kita memang harus setop batu bara dan energi fosil lainnya untuk akselerasi energi bersih dan terbarukan,” ujarnya.
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Rere Christanto mengatakan penambahan jumlah DMO batubara dalam RUU EBT merupakan bentuk inkonsistensi pemerintah Indonesia dalam KTT Iklim PBB COP 26 di Glasgow, Skotlandia.
“Memang betul harga produksi listrik dari batu bara itu murah, tapi tidak bisa hanya kita hitung biaya beli batu bara itu. Biaya eksternalitas dari dampak batu bara seperti kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penambangan batu bara itu menguras ekonomi negara,” kata Rere kepada Katadata.co.id.
Selain itu pemulihan lingkungan dan dampak memburuknya kesehatan masyarakat juga berpotensi menguras kas negara. Artinya ada berbagai harga yang harus dibayar oleh masyakarat dan lingkungan akibat penggunaan energi yang dianggap murah itu.
Apabila penggunaan bahan bakar fosil diperpanjang, akan menambah tekanan dan pemanasan global yang lebih cepat terjadi. “Kalau kita tidak berhasil menekan tingkat kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat cecius, akan berdampak pada pemanasan global yang serius, termasuk gagal panen dan bencana ekologis,” ujarnya.
Sebelumnya, Pemerintah berencana menaikkan kewajiban penjualan untuk kebutuhan pasar dalam negeri atau DMO batu bara menjadi 30% dari saat ini sebesar 25% dari total rencana produksi.
Hal tersebut tertuang dalam draf rancangan undang-undang (RUU) energi baru terbarukan (EBT) yang baru saja merampungkan proses harmonisasi oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR.
Pada pasal 6 ayat 6 draf RUU EBT disebutkan bahwa untuk memastikan ketersediaan energi primer dalam pemanfaatan pembangkit listrik tak terbarukan yang ada, penyediaan batu bara bagi kebutuhan pembangkit listrik dilakukan dengan mekanisme DMO dengan ketentuan minimal 30% dari rencana produksi dan harga paling tinggi US$ 70 per ton dengan acuan batu bara kalori 6.322 kcl per kg.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, mengatakan progres RUU EBT sudah melalui tahap harmonisasi atau memberi penjelasan kembali kepada Badan Legislasi (Baleg). Setelah itu, apabila sudah dicapai kesepakatan tahap 1, RUU ini akan dibawa ke rapat paripurna untuk diajukan kepada pemerintah.
“Kami berharap dalam dua masa sidang bisa selesai. Kuartal ketiga tahun ini. Nah segera setelah RUU EBT sudah diajukan dan diputuskan oleh paripurna sebagai RUU dari DPR. Setelahnya Komisi VII tinggal menunggu dari pemerintah untuk membahas RUU tersebut,” kata Eddy kepada Katadata.co.id, Senin (21/3).
Eddy pun menyampaikan, salah satu usulan yang disampaikan dalam RUU EBT yakni menaikkan DMO batu bara menjadi 30%. Usulan tersebut dinilai sebagai upaya mencegah potensi minimnya stok batu bara di dalam negeri.