Rencana Dekarbonisasi Cina Mengancam Industri Batu Bara Indonesia
Skenario dekarbonisasi Cina dinilai bakal berdampak signifikan pada kinerja ekspor batu bara Indonesia. Menurut riset yang diterbitkan Australian National University (ANU), impor batu bara termal Cina bakal turun signifikan seiring berjalannya skenario dekarbonisasi.
Menurut riset tersebut, impor batu bara Cina akan berkurang dari 185 juta ton pada 2019 menjadi 95-130 juta ton pada 2025. Sedangkan Negeri Panda mengimpor sebagian besar batu bara termalnya dari Indonesia dan Australia. Bloomberg mencatat, Indonesia menyuplai 62% impor batu bara Cina pada 2021, diikuti oleh Rusia sebesar 17%.
Analis Energy Finance dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Simon Nicholas mengatakan bahwa setiap pengurangan yang signifikan pada impor batu bara Cina akan memiliki konsekuensi besar di seluruh perdagangan batu bara lintas laut global.
Cina adalah eksportir terbesar pasar untuk Indonesia, eksportir batu bara termal terbesar di dunia. Pengurangan impor batu bara negara ini akan membuat Indonesia berusaha untuk bersaing lebih kuat dengan eksportir seperti Australia dan Afrika Selatan di pasar lain.
“Ketika importir batu bara yang sudah mapan seperti Jepang, Korea Selatan, dan terutama Cina mau tidak mau mulai mengurangi impor, maka perdagangan batu bara lintas laut akan turun lebih cepat daripada konsumsi batu bara global secara keseluruhan," ujar Nicholas melalui keterangan resmi pada Kamis (21/4).
Cina merupakan importir batu bara terbesar di dunia, diikuti oleh India dan Jepang. Pada 2021, negara ini mengimpor hampir 324 juta metrik ton batu bara termal, yang merupakan lebih dari 50% impor batu bara global.
Seperti yang disoroti dalam studi ANU ini, penurunan permintaan batu bara lintas laut dari Cina memiliki konsekuensi bagi eksportir untuk mencari pasar lain. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya persaingan antara negara-negara pengekspor utama lainnya seperti Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan Kolombia.
Penurunan jumlah impor batu bara Cina dilakukan sebagai langkah untuk menargetkan emisi nol bersih pada 2060. Dengan target puncak emisi sebelum 2030, dipastikan akan memangkas konsumsi batu bara negara itu.
Di sisi lain, Cina juga sedang gencar membangun infrastruktur transportasi untuk mendapatkan batu bara dari tambang domestik ke industri baja dan pembangkit listriknya. Hal itu bertujuan karena mereka ingin mengurangi ketergantungan pada impor batu bara.
Impor batu bara berkalori tinggi (kokas) yang sebagian besar berasal dari Australia, juga diperkirakan menurun dari 34 juta ton pada tahun 2019 menjadi 23-25 juta ton pada 2025.
Dosen Senior Australian National University Jorrit Gosens mengatakan, hasil studinya menunjukkan investasi Cina dalam pembangunan infrastruktur transportasi batu bara kemungkinan akan menghasilkan pengurangan impor batu bara dalam beberapa tahun ke depan.
“Cina telah berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur transportasi batu bara selama bertahun-tahun, untuk mengurangi ketergantungan pada energi asing. Gejolak yang terbaru di pasar energi global justru hanya akan memperkuat tekad Cina untuk mengurangi ketergantungannya pada impor batu bara,” kata Gosens.
Impor batu bara Cina yang melalui jalur darat, seperti dari Rusia diperkirakan akan tetap relatif stabil, sementara impor dari Mongolia akan tumbuh kuat, karena perluasan koneksi kereta api ke Mongolia dan perluasan tambang Mongolia.
Impor batu bara kokas dari Mongolia diperkirakan akan melonjak menjadi sekitar 20 juta pada tahun 2025. Proyeksi penurunan permintaan Cina atas impor batu bara Seaborne ini bertepatan dengan ambisi mereka untuk meningkatkan ketahanan energi.
Saat ini Cina menjadikan penguatan pasokan energi sebagai prioritas utama kebijakan mereka, hal ini menyikapi krisis kelangkaan listrik yang terjadi di beberapa provinsi pada tahun lalu dan gejolak di pasar global.
Pada Maret, pemerintah pusat Cina mengumumkan untuk lebih meningkatkan produksi batu bara domestik menjadi 12 juta ton per hari, sehingga memungkinkan produksi tahunan sebesar 4,38 miliar ton.
Rencana Lima Tahun Energi ke-14 China juga menginstruksikan untuk meningkatkan infrastruktur transportasi terkait batu bara. Tren ini menimbulkan dampak besar pada volatilitas perdagangan batu bara global, terutama apabila dikaitkan dengan pengurangan impor batu bara dari Rusia oleh Uni Eropa.