Harga Minyak Terus Anjlok Dipicu Ancaman Resesi, Brent Mendekati US$80
Koreksi harga minyak terus berlanjut seiring kekhawatiran resesi yang menguat yang berpotensi menekan permintaan energi di masa depan. Menguatnya nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang utama dunia turut menekan harga.
Harga Brent pada Selasa (27/9) siang waktu Indonesia bergerak di level US$ 84,59 per barel setelah pada sehari sebelumnya sempat menyentuh US$ 83,84. Sedangkan minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) bergerak di level US$ 77,15 setelah sempat menyentuh US$ 76,40 per barel.
Kedua harga minyak acuan global ini telah terkoreksi hingga lebih dari 20% dalam sebulan terakhir. Brent dari posisi US$ 102,93 dan WTI dari US$ 97,01 pada akhir Agustus, Senin (29/8).
Menteri Perminyakan Irak Ihsan Abdul Jabbar pada hari Senin mengatakan bahwa Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya termasuk Rusia, yang dikenal sebagai OPEC+, terus memantau situasi harga minyak dan berupaya menjaga keseimbangan di pasar.
"Kami tidak ingin kenaikan tajam harga minyak atau keruntuhan," katanya dalam sebuah wawancara di TV pemerintah Irak, seperti dikutip Reuters, Selasa (27/9).
Komentar Abdul Jabbar membantu mendukung minyak, yang menetap di posisi terendah sembilan bulan, sebagian besar karena menguatnya nilai tukar dolar AS.
OPEC+ telah meningkatkan produksi tahun ini setelah membukukan rekor pemotongan produksi pada 2020 karena penurunan permintaan yang disebabkan pandemi Covid-19. Namun dalam beberapa bulan terakhir mereka gagal memenuhi peningkatan output yang direncanakan.
Ketidakpastian atas gangguan pasokan yang disebabkan oleh perang Rusia-Ukraina, serta pengetatan kebijakan moneter di seluruh dunia yang mengancam kelesuan ekonomi, juga membuat harga tidak bergerak lebih tinggi.
Proyeksi Bullish Harga Minyak
Terus merosotnya harga minyak berkebalikan dengan prediksi sejumlah lembaga keuangan global seperti Goldman Sachs, JP Morgan, hingga Morgan Stanley yang mengatakan pasar minyak akan cenderung bullish hingga akhir tahun ini, salah satunya karena ketatnya pasokan.
Terlepas dari pernyataan yang menyarankan harga minyak harus bergerak lebih tinggi, minyak turun untuk sebagian besar minggu ini. Namun itu tidak terseret oleh fundamental. Harga minyak turun karena banyak pedagang dan investor bersiap untuk resesi.
Berita buruknya adalah bahwa bahkan dalam resesi, harga minyak bisa naik lebih tinggi. JP Morgan adalah salah satu peramal bullish. Pekan lalu, JP Morgan memperkirakan harga minyak Brent akan rebound menjadi US$101 pada kuartal keempat disebabkan ketatnya pasokan.
Goldman Sachs bahkan lebih bullish. Tiga minggu lalu, analis bank mengatakan Brent bisa mencapai US$ 125 tahun depan meskipun ada rencana pembatasan harga minyak Rusia sebagai alat untuk menjaga agar minyak Rusia tetap ada di pasar dan untuk menurunkan harga.
Morgan Stanley memproyeksikan harga minyak Brent di level US$ 95 per barel pada kuartal IV tahun ini. Perlu dicatat bahwa ini adalah revisi turun dari prospek harga bank untuk kuartal keempat, yang terjadi dua minggu lalu, didorong oleh meningkatnya kekhawatiran resesi.
UBS juga merevisi turun ekspektasi harganya awal bulan ini, lagi-lagi mengutip kekhawatiran resesi serta berlanjutnya aliran minyak Rusia ke importir Asia. Meski direvisi turun UBS memprediksi Brent di level US$ 110, dan berpotensi naik menjadi US$ 125 pada akhir kuartal III 2023.
Alasan yang diberikan bank Swiss itu untuk kenaikan harga minyak sama menariknya dengan kekhawatiran mereka. Menurut UBS, harga minyak tidak akan rebound karena pemulihan ekonomi global.
Mereka akan rebound karena permintaan yang lebih besar untuk produk minyak untuk pembangkit listrik dan karena pasar keseluruhan yang lebih ketat karena AS mengakhiri program penjualan cadangan minyak strategisnya atau strategic petroleum reserve (SPR).