Potensi Besar Pengembangan Bioetanol dari Tebu untuk Pengganti BBM
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menjajaki pengembangan tanaman tebu menjadi bahan bakar nabati (BBN) bioetanol sebagai bahan campuran bahan bakar minyak (BBM).
Dengan bermodalkan lahan tebu seluas 400.000 hektare, komoditas pertanian tersebut juga dinilai punya potensi untuk dikembangkan di sektor energi melalui implementasi bioetanol disamping diolah menjadi bahan campuran di industri pangan.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, pengembangan bioetanol bisa menjadi alternatif pada saat krisis energi. Pemanfaatan bioetanol juga diklaim menjadi salah satu opsi untuk mengurangi emisi karbon di sektor transportasi.
"Kita harus bisa antisipasi dengan melihat potensi mengembangkan hasil pertanian, bukan hanya untuk pangan tapi juga ke sektor energi," kata Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (14/10).
Pada kesempatan tersebut, Arifin menceritakan pengamalam Brazil yang sukses memanfaatkan tanaman tebu menjadi bioetanol unutuk campuran BBM. Dengan luas lahan tebu 9,5 juta hektare, saat ini Negeri Samba mampu memproduksi bahan bakar nabati (BBN) bioetanol dengan komposisi bauran 27% tetes tebu dan 33% bensin atau E27.
"Sekarang di Brazil ada 2 jenis, E27 dan E100, dengan itu Brazil bisa menghemat sekian barel. Kalau kita kebanyakan jualan ini produksi gula," ujar Arifin.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana, menyampaikan pemerintah akan segera meluncurkan bahan bakar nabati (BBN) bioetanol dengan komposisi bauran 2,5% tetes tebu dan 97,5% bensin. Dia mengatakan campuran tetes tebu bisa meningkatkan kadar oktan atau kualitas bensin.
"(Tahun ini) tinggal nyampur doang, kajiannya sudah. Kalau Pertamina sudah siap dari tangkinya, sudah bisa jalan," kata Dadan di Kantor Kementerian ESDM pada Selasa (2/8).
Dadan mengaku pengembangan bioetanol lebih sulit daripada pengembangan biodiesel yang saat ini sudah mencapai B40. Alasan utamanya yakni belum tersedianya suplai bahan baku tetes tebu untuk menjamin keberlanjutan pasokan.
Tetes tebu, kata Dadan, saat ini masih digunakan sebagai bahan baku di industri pemanis dan menjadi komoditas ekspor. "Bahan bakunya tidak bisa dijamin karena jumlahnya gak banyak. Dia juga dibutuhkan di industri lain dan jadi komoditas ekspor juga. Kalau dipakai berlebih, bakal mengganggu untuk keperluan yang lain," ujarnya.
Walau begitu, pihaknya tetap mengupayakan agar pemanfaatan bioetanol bisa diwujudkan. Dadan mengatakan saat ini Kementerian ESDM telah menjalin komunikasi dengan dua pabrik bioetanol di daerah Malang dan Mojokerto.
"Kita ingin supaya tidak hanya solar saja yang ada campurannya, tapi bensin juga ada. Semoga nanti keekonomiannya bisa masuk," kata Dadan.
Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal EBTKE, Edi Wibowo, menyampaikan bahwa pabrik bioetanol yang berlokasi di Malang memiliki kapasitas produksi tahunan sejumlah 10.000 kilo liter (kl). Sementara pabrik yang terletak di Mojokerto mampu memproduksi bioetanol hingga 30.000 kl per tahun.
"Pabrik di Malang mereka produksi untuk industrial grade (suplai Industri). Sementara untuk fuel grade (bahan bakar kendaraan) untuk keperluan sendiri atau sesuai permintaan. karena suplai etanolnya juga terbatas, jadi belum bisa diimplementasikan secara nasional," jelas Edi.