Banggar Nilai Subsidi Mobil Listrik dan Motor Listrik Terlalu Besar
Badan Anggaran (Banggar) DPR menilai usulan subsidi motor listrik dan mobil listrik yang diajukan pemerintah terlalu besar. Meski dalam jangka panjang kebijakan ini diakui berpotensi mendatangkan keuntungan karena dapat menghemat subsidi BBM.
Seperti diketahui pemerintah berencana memberikan subsidi sebesar Rp 8 juta untuk pembelian motor listrik baru dan Rp 5 juta untuk konversi, serta subsidi mobil listrik Rp 80 juta untuk mobil berbasis baterai dan Rp 40 juta untuk mobil hybrid.
Ketua Banggar Said Abdullah mengatakan bahwa kebijakan untuk transisi energi dari sumber energi fosil ke listrik harus didukung, karena kenaikan harga minyak akan terus membebani subsidi energi, terutama BBM. Sehingga di masa depan kebijakan ini akan menguntungkan.
“Kebijakan ini untuk transisi energi dari minyak ke listrik, kami setuju, karena dampak harga minyak terhadap BBM begitu besar. Ke depannya pasti akan lebih menguntungkan kebijakan energi listrik daripada kita pakai energi fosil,” kata Said dalam Energy Corner, Senin (19/12).
Meski demikian, Said menilai pemberian subsidi mobil listrik hingga Rp 80 juta tidak masuk akal. Banggar juga tidak mendapat penjelasan dari pemerintah terkait rencana besaran subsidi tersebut, apakah semata-mata untuk kepentingan investor atau untuk mencapai target net zero emission 2060.
“Kalau banggar untuk subsidi sepeda motor antara Rp 3,2-4,5 juta, untuk mobil maksimal Rp 40-46 juta, hitungan kami sudah kami siapkan pada pemerintah. Kita lihat bagaimana nanti, apakah akan ada perubahan terdapap APBN kita di 2023, kalau kebijakan ini harus dan mesti dilaksanakan kami setuju tapi kita duduk bersama kita dan anggaran DPR yang akan datang,” kata Said.
Dia juga mengatakan bahwa pemerintah seharusnya memberi prioritas subsidi motor listrik, baik motor listrik baru atau konversi. Langkah ini dinilai lebih positif ketimbang menyalurkan subsidi mobil listrik.
Said beranggapan, subsidi motor listrik untuk pembelian baru ataupun konversi dapat mempercepat target penurunan emisi karbon dan gas rumah kaca yang berasal dari pembakaran energi fosil. “Motor listrik menyangkut hajat hidup orang banyak, seharusnya tidak ujug-ujug mobil listrik dan mobil hybrid,” kata Said.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan bahwa salah satu argumentasi yang dipakai oleh pemerintah untuk memberikan insentif kendaraan listrik itu didasarkan pada beban APBN untuk subsidi BBM.
Seperti diketahui bahwa beban subsidi BBM terus meningkat dan fakta bahwa Indonesia sebagai net importer migas yang artinya impor BBM semakin besar sejalan dengan peningkatan konsumsi.
Di sisi lain penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan polusi udara yang mengakibatkan beban lain yaitu beban ke kesehatan publik yang berdasarkan sejumlah kajian nilainya bisa mencapai puluhan triliun dari memburuknya kualitas udara di perkotaan karena penggunaan BBM.
“Jadi kalau kita lihat dari hitung hitungan ini saja sebenarnya maka insentif untuk kendaraan listrik itu bisa dijustifikasi. Pertanyaannya adalah berapa besar kepada siapa dan bagaimana manfaat-manfaat lain itu bisa diintegrasikan di dalam pemberian insentif ini,” kata Fabby.
Menurut Fabby, subsidi motor listrik lebih tepat karena motor memang dipakai oleh banyak kalangan Indonesia dan menjadi moda transportasi. Sehingga kurang tepat jika pemerintah memberikan subsidi mobil listrik.
“Karena mobil listrik yang beli secara ekonomi relatif lebih maju. Sedangkan motor menjadi sumber untuk penghasilan untuk kalangan menengah ke bawah di Indonesia. Jadi ini yang sesuai prioritas memang harus dipikirkan dan menjadi bagian dari desain pemberian insentif untuk kendaraan listrik,” ujarnya.