Menteri ESDM Sebut Harga Acuan Nikel Indonesia Mendesak, Ini Alasannya
Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan urgensi pembentukan indeks harga nikel Indonesia atau Indonesia Nickel Prices Index sebagai instrumen transaksi jual-beli nikel di pasar dalam negeri.
Arifin menilai, indeks tersebut akan menjadi acuan harga penjualan nikel domestik yang didominasi oleh nikel kelas dua seperti nickel pig iron (NPI), feronikel hingga nikel matte yang menjadi bahan baku pembuatan stainless steel.
Fungsi indeks harga nikel Indonesia akan mirip dengan skema harga batu bara acuan yang mengatur besaran kewajiban tarif royalti pelaku usaha batu bara di dalam negeri. "Supaya ada standar, sama lah seperti batu bara," kata Arifin di Gedung Nusantara I DPR Jakarta pada Rabu (24/5).
Adapun regulasi mengenai pengenaan royalti nikel tercantum di Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2020. Indeks harga ini untuk mengurangi selisih harga dari nilai aktualisasi penjualan nikel dengan harga patokan mineral (HPM) yang selama ini mengacu pada rerata harga nikel di pasar London Metal Exchange (LME).
Sementara harga nikel di bursa LME yang merujuk pada jenis nikel kelas satu sebagai bahan baku kendaraan listrik. Menurut Arifin, pengaturan khusus soal harga acuan nikel dalam negeri dapat menekan kekhawatiran pelaku usaha pertambangan maupun pemilik pemurnian mineral (smelter) terhadap fluktuasi harga nikel di pasar LME.
Indeks harga nikel Indonesia diyakini mampu memberikan kepastian ihwal harga nikel nasional karena mengacu pada perhitungan domestik. "Kalau tidak ada indeks itu, kan ada yang menekan. Biasanya pembeli adalah raja, jangan sampai ada raja-rajaan," ujar Arifin.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan bahwa indeks harga nikel Indonesia dapat menjadi instrumen yang mengatur transaksi nikel dalam negeri.
“Pemerintah sedang berpikir untuk punya tempat sendiri supaya bisa atur harga itu. Kita juga pingin atur harga sendiri, masak LME yang mengatur harga nikel kita,” kata Luhut di Hotel Westin Jakarta pada Senin (9/5).
Pelaku usaha pertambangan nikel meminta pemerintah untuk segera merealisasikan pembentukan indeks harga nikel Indonesia sebagai acuan transaksi nikel di pasar domestik.
Mereka menilai, adanya indeks harga nikel Indonesia mampu memangkas selisih harga pembayaran kewajiban royalti yang lebih tinggi dari transaksi riil. Sejauh ini, tagihan royalti mengacu pada HPM yang merujuk pada rerata harga nikel di pasar LME.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Resvani, menjelaskan harga pasaran nikel indeks LME lebih tinggi ketimbang harga nikel domestik yang berbasis feronikel.
Menurutnya, harga jual dari feronikel antara penambang dan pelaku usaha smelter berada jauh di bawah LME. Kondisi tersebut memicu penambang untuk membayar royalti yang lebih tinggi hingga 40% akibat selisih yang muncul dari harga jual riil feronikel dari LME yang digunakan sebagai acuan penentuan tarif royalti.
"Jika menggunakan LME sebagai patokan HPM maka akan terjadi over royalti. Intinya pengusaha terbebani royalti yang tinggi," kata Resvani kepada Katadata, Selasa (9/5).
Kondisi tersebut secara paralel akan mengerek harga nikel domestik yang dijual ke perusahaan smelter, utamanya bagi para pelaku usaha smelter yang tidak terintegrasi dengan tambang nikel.
"Kalau ketinggian harganya maka si smelter akan beli nikel mahal, maka pasti keuntungannya menurun," ujar Resvani.