Boikot Hantam Bisnis McDonald’s hingga Starbucks, Penjualan Turun 70%
Merek-merek Barat seperti McDonald’s, KFC, hingga Starbucks terdampak cukup signifikan kampanye boikot atas serangan militer Israel di Jalur Gaza. Banyak gerai waralaba makanan cepat saji ini yang kosong di sejumlah negara timur tengah seperti Mesir, Maroko, Yordania, dan Kuwait.
Meski ada beberapa negara seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, di mana hanya sedikit orang yang berpartisipasi melakukan boikot sehingga tidak berdampak signifikan terhadap bisnis merek-merek Barat tersebut.
Beberapa perusahaan ini menjadi sasaran boikot karena dianggap mengambil sikap pro-Israel, dan beberapa lainnya diduga memiliki hubungan keuangan dengan Israel atau memiliki investasi di sana.
Seperti di Mesir, seorang karyawan di perusahaan pemegang hak waralaba McDonald’s yang meminta untuk tidak disebutkan namanya mengatakan penjualan pada Oktober dan November turun setidaknya 70% dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.
“Kami berjuang untuk menutupi pengeluaran kami sendiri selama ini,” kata karyawan tersebut seperti dikutip dari Reuters pada Kamis (23/11).
Sameh El Sadat, politikus Mesir dan salah satu pendiri perusahaan pemasok untuk Starbucks dan McDonald’s mengatakan bahwa dia melihat adanya penurunan atau perlambatan permintaan sekitar 50% dari klien-kliennya itu.
Sebagian masyarakat mesir meihat boikot sebagai cara terbaik atau satu-satunya untuk membuat suara mereka didengar. Hal ini lantaran potensi untuk melakukan aksi turun ke jalan kecil karena pembatasan dari aparat keamanan di negara itu.
“Saya merasa meskipun saya tahu ini tidak akan berdampak besar pada perang, maka setidaknya ini yang bisa kita lakukan sebagai warga negara yang berbeda agar kita tidak merasa tangan kita berlumuran darah,” kata Reham Hamed, 31 tahun, seorang warga Kairo, Mesir.
Di Yordania, warga yang pro-boikot terkadang memasuki gerai-gerai McDonald’s dan Starbucks untuk mendorong pelanggan yang masih datang agar mencari tempat lain. Beredar pula video yang memperlihatkan tentara Israel mencuci pakaian dengan merek deterjen terkenal yang kemudian menjadi sasaran boikot.
“Tidak ada yang membeli produk-produk ini,” kata seorang kasir di sebuah supermarket besar di Amman, Yordania. Dia mengatakan bahwa pelanggannya kini lebih memilih merek lokal.
Mesir dan Yordania sejatinya telah berdamai dengan Israel sejak beberapa dekade lalu, namun kesepakatan tersebut tidak menghasilkan pemulihan hubungan kedua negara seiring sentimen pro-Palestina yang kuat di kedua negara ini.
Sedangkan di Kuwait, banyak gerai-gerai Starbucks, McDonald’s, dan KFC yang hampir kosong. Di Rabat, Maroko, seorang pekerja Starbucks mengatakan jumlah pelanggan turun signifikan dalam sepekan terakhir. Baik perusahaan maupun pekerja tersebut tidak memerinci angka pastinya.
Pemegang hak waralaba McDonald’s Mesir mengatakan dalam sebuah pernyataan pada bulan lalu bahwa mereka kecewa dengan disinformasi mengenai posisinya dalam konflik Israel-Hamas. Mereka menegaskan bahwa waralaba itu dipegang oleh warga asli Mesir dan telah menjanjikan bantuan 20 juta pound Mesir atau sekitar US$ 650.000 ke Gaza.
Sementara itu Starbucks mengeluarkan pernyataan melalui laman resminya terkait dengan operasinya di Timur Tengah, yang diperbarui atau di-update pada Oktober. Pernyataan tersebut mengatakan bahwa Starbucks adalah organisasi non-politik dan menepis rumor bahwa mereka telah memberikan dukungan kepada pemerintah atau tentara Israel.
Di Malaysia yang mayoritas penduduknya Muslim, seorang pekerja di McDonald's di Putrajaya, ibu kota administratif Malaysia, mengatakan bahwa pelanggan di cabang tersebut berkurang 20%.
Aplikasi ride-hailing Grab juga menghadapi seruan boikot di Malaysia setelah istri CEO Grab mengatakan dia “benar-benar jatuh cinta” pada Israel saat berkunjung ke sana.
Dia kemudian mengatakan bahwa postingan tersebut diambil di luar konteks. Setelah seruan boikot tersebut, cabang Grab dan McDonald's di Malaysia mengatakan bahwa mereka akan menyumbangkan bantuan untuk warga Palestina.
Awal bulan ini, parlemen Turki menghapus produk-produk Coca-Cola dan Nestle dari restoran-restorannya, dan sumber di parlemen menyebutkan adanya "kemarahan masyarakat" terhadap merek-merek tersebut meskipun tidak ada perusahaan besar Turki atau lembaga negara yang memutuskan hubungan dengan Israel.
Aksi boikot yang dilakukan tidak merata dan tidak ada dampak besar yang terlihat di beberapa negara termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Tunisia. Meskipun boikot mempunyai pengikut yang lebih luas, beberapa orang merasa skeptis bahwa hal tersebut akan berdampak besar.
“Jika kami benar-benar ingin memboikot dan mendukung orang-orang ini (Palestina), kami angkat senjata dan berperang bersama mereka…Jika tidak, tidak,” kata pemilik kios di Kairo, Issam Abu Shalaby.