Riset: Potensi Investasi Energi Terbarukan Indonesia Capai Rp 175 T
Laporan lembaga audit internasional Ernst and Young (EY) menyebutkan bahwa potensi investasi energi terbarukan di Indonesia mencapai US$ 12 miliar atau sekitar Rp 175,4 triliun (kurs Rp 14.600 per dolar). Sektor ini merupakan sektor yang paling menarik bagi investor.
Laporan tersebut mengidentifikasi 97 proyek energi terbarukan. Dari 97 proyek tersebut terdapat 94 proyek pembangkit listrik energi terbarukan dengan kapasitas total 4 gigawatt (GW) yang sudah berada dalam pipeline.
Proyek-proyek di sektor ini berpotensi menciptakan 34 ribu pekerjaan, serta menurunkan emisi hingga 19 metrik ton setara CO2 (metric ton CO2 equivalent/MTCO2e). Mayoritas proyek tersebut merupakan dari sektor panas bumi, meskipun EY melaporkan ada minat yang sangat tinggi pada panel surya dan angin.
“Perusahaan swasta semakin tertarik pada energi terbarukan untuk berkontribusi pada transisi energi di Indonesia,” mengutip riset Ernst and Young yang dirilis hari ini, Senin (12/4).
Meski mayoritas proyek saat ini fokus pada panas bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan potensi terbesar justru terdapat pada energi surya yang mencapai 207,8 GW. Simak databoks berikut:
Riset EY menekankan manfaat lingkungan dan ekonomi dari pengembangan energi hijau tidak dapat lagi diabaikan. Pemerintah di seluruh dunia telah mengakui peran yang dapat dimainkan sektor energi hijau dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
Studi ini menemukan, ada minat investor yang luar biasa dan kelebihan modal swasta yang siap dikerahkan di sektor energi bersih. Namun, transisi energi bersih dapat dipercepat dan diperkuat hanya jika tantangan tertentu ditangani oleh pihak otoritas.
Meski demikian, masa depan pengembangan energi terbarukan di Indonesia akan bergantung pada strategi PLN. Sementara, Indonesia membutuhkan regulasi yang jelas untuk mengakselerasi transisi energi.
Studi ini merekomendasikan program spesifik berbasis pasar yang bisa dilakukan PLN. Di antaranya memastikan keselarasan antara rencana pengembangan listrik tahunan PLN dan rencana yang diumumkan pemerintah.
Kemudian menyelenggarakan proses pengadaan yang transparan, mengadopsi pendekatan Feed in Tariff (FiT) untuk mengatasi hambatan yang ada, dan mempersingkat negosiasi PPA.
Berikutnya mengenalkan tarif optimal untuk mempromosikan energi terbarukan, memastikan jaminan kredit, menjembatani pembiayaan dan pinjaman yang dapat dijadikan paket stimulus untuk membantu mendanai proyek skala kecil.
Pasalnya dari 97 proyek yang teridentifikasi, 61 proyek investasinya kurang dari US$ 50 juta atau sekitar Rp 730,7 miliar. Namun, laporan ini menggarisbawahi bahwa pendanaan proyek hanyalah salah satu kendala pengembangan energi terbarukan.
Tantangan terbesar yang dihadapi banyak negara dalam mengembangkan energi hijau adalah isu non-finansial yang terkait dengan regulasi, birokrasi, dan komersialisasi proyek.
Dalam studi ini, EY melakukan riset di delapan negara termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Studi tersebut mengidentifikasi total 811 proyek energi terbarukan dengan potensi investasi US$ 316 miliar (Rp 4.618,3 triliun) dengan potensi tambahan 90 GW, 870 ribu lapangan kerja baru, dan penurunan emisi 229 MTCO2e.
Riset ini juga mengatakan sejumlah proyek transformatif yang dilakukan negara lain, yang terutama didukung oleh kebijakan dan regulasi memadai. Di Malaysia, industri tenaga surya dapat berkembang didukung dengan mekanisme lelang terbalik yang dirancang dengan baik dan transparan.
Di Vietnam, skema FiT yang menarik dan standar PPA mengarah ke instalasi tenaga surya berkapasitas 4,5 GW pada 2019, melebihi target nasional 4 GW untuk 2025. Kementerian Energi Vietnam saat ini sedang mengevaluasi mekanisme perjanjian pembelian listrik langsung antara energi terbarukan dan konsumen listrik swasta.