Revisi Permen PLTS Atap, Tarif Ekspor-Impor Listrik Didorong Jadi 100%
Pemerintah merevisi aturan mengenai pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap terkait perhitungan transaksi ekspor-impor listrik dengan PLN. Dalam revisi ini, nilai transaksi ekspor energi dari PLTS atap ke PLN akan dinaikkan menjadi 100% dari sebelumnya 65%.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa revisi ini dilakukan demi meningkatkan minat masyarakat untuk berinvestasi pada PLTS atap.
Menurut dia kebijakan tersebut dapat berpengaruh besar pada pemanfaatan PLTS Atap di dalam negeri. Pasalnya, perhitungan ekspor energi dari PLTS atap sebesar 65% kurang menarik bagi konsumen.
"Ini memberikan insentif tambahan untuk memberikan ketertarikan masyarakat untuk memasang PLTS. Jadi 100% yang diproduksi konsumen, 100% juga bisa dititipkan PLN, dan 100% bisa diambil konsumen," ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama komisi VII DPR, Kamis (3/6).
Sebelumnya, Dadan mengatakan bahwa pemasangan PLTS Atap ini secara teknis dapat mengurangi biaya tagihan listrik bulanan sekitar 30% dari pemakaian listrik PLN. Ini tergantung kapasitas daya PLTS atap yang dipasang dan konsumsi listrik tiap bulannya.
Di aturan yang ada saat ini, bila ada kelebihan tenaga listrik, 65% nilai kWh ekspor listrik PLTS atap dapat menjadi pengurang tagihan listrik bulan berikutnya.
Perhitungan nilai ekspor maksimal 65%, mempertimbangkan biaya distribusi dan biaya pembangkitan PLN sekitar 2/3 dari harga tarif listrik. Selain itu, nilai 35% dianggap sebagai kompensasi biaya penyimpanan tenaga listrik PLTS atap di infrastruktur milik PLN.
Dadan mengatakan PLTS atap didorong untuk mengakselerasi target bauran EBT 23% pada 2025. Pertumbuhan PLTS atap sangat tinggi. Hal ini terlihat dari kapasitas terpasangnya saat ini. Hingga Januari 2021 sudah ada 3.152 pelanggan dengan total kapasitas terpasang mencapai 22,632 Mega Watt peak (MWp).
Adapun pemasangan PLTS atap dengan kapasitas terbesar dilakukan oleh PT Coca Cola di Cikarang, Jawa Barat, yakni 7,2 MWp. Bahkan instalasi milik produsen minuman ini merupakan yang terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Kemudian PLTS atap milik Danone Aqua di Klaten yakni sebesar 3 MWp), lalu PLTS atap refinery unit (3,36 MWp), PLTS atap Sei Mangkei (2 MWp), PLTS atap Kementerian ESDM (859 kWp), PLTS atap Angkasa Pura II (241 kWp) dan PLTS atap SPBU Pertamina (52 kWp).
"Perhitungan ini belum termasuk pelanggan rumah tangga yang trennya makin naik. Makanya, kami optimis terhadap peluang tenaga surya ini," kata Dadan.
Dadan optimis laju penambahan konsumsi PLTS Atap mampu menekan emisi karbon atau gas rumah kca (GRK) sebesar 3,2 juta ton CO2e. Upaya ini dibarengi dengan terwujudnya target penambahan kapasitas terpasang hingga 2,14 Gigawatt (GW) pada 2030 mendatang.
Rinciannya dengan menyasar ke bangunan dan fasilitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 742 MW, industri dan bisnis (624,2 MW), rumah tangga (648,7 MW), pelanggan PLN dan kelompok sosial (68,8 MW) serta gedung pemerintah (42,9 MW). Simak databoks berikut:
Saat ini, sudah ada empat payung hukum yang mengatur tentang pemasangan PLTS Atap, yaitu Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang ESDM, Peraturan Pemerintah No 14 tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.
Kemudian Peraturan Menteri ESDM No 2018 tentang Penggunaan PLTS Atap oleh Konsumen PLN dan Permen ESDM No 2019 tentang Kapasitas Pembangkit Tenaga Listrik untuk Kepentingan Sendiri yang Dilaksanakan Berdasarkan Izin Operasi.