ESDM Optimis Teknologi CCUS PLTU akan Ekonomis Dalam 10 Tahun
Kementerian ESDM terus berupaya menekan emisi gas rumah kaca salah satunya dengan memanfaatkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilization, and storage (CCUS) di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Namun persoalannya, implementasi teknologi CCUS pada PLTU belum cukup ekonomis. Teknologi ini sekarang lebih banyak digunakan di industri hulu migas untuk kebutuhan enhanced oil recovery.
Meski begitu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana optimis teknologi ini akan ekonomis. Terutama seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi.
"10 tahun yang akan datang kami optimis teknologi ini sudah mulai terlihat keekonomiannya dari sisi komersial. Kami masukan ke parameter bagaimana kalau CCUS masuk supaya PLTU-nya secara bertahap untuk dipensiunkan," ujarnya dalam wawancara bersama Katadata.co.id, Jumat (25/6).
Menurut Dadan, Badan Energi Internasional (IEA) memprediksi teknologi CCUS akan berkontribusi sekitar 15% dalam mencapai target nol emisi bersih. Untuk itu, pemerintah terus mengkaji keekonomian teknologi ini.
Beberapa negara di dunia sudah mulai menerapkan teknologi ini secara komersial. Namun penerapannya pada PLTU masih belum banyak. Oleh karena itu, pemerintah saat ini tengah melakukan kajian untuk dapat mengimplementasi teknologi CCUS ini pada sejumlah PLTU.
"Sekarang angkanya itu US$ 40 per ton biaya tambahan untuk mengambil CO2-nya. Tapi angka ini akan terus bergerak, bisa ke atas bisa ke bawah karena teknologinya kan belum berkembang secara massal," ujarnya.
Berdasarkan data Carbon Brief pada 2018, Indonesia termasuk dalam 10 besar negara dengan pembangkit listrik tenaga batu bara terbesar di dunia. Simak databoks berikut:
Sebelumnya, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Syahril mengatakan bahwa pihaknya memiliki kriteria tersendiri dalam menentukan teknologi yang akan dipakai untuk menurunkan emisinya. Menurutnya, teknologi penangkapan karbon efektif untuk menurunkan emisi, namun biayanya mahal.
"Teknologi carbon capture saat ini masih relatif mahal. Kalau digunakan untuk PLTU, akan menambah biaya pokok penyediaan (BPP) listrik," ujar dia beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, PLN lebih memilih menggunakan teknologi ultra supercritical untuk menekan tingkat emisi yang dihasilkan PLTU yang dinilai lebih efisien dibandingkan CCS. "Yang paling bagus adalah kita memiliki hutan yang sebagai sarana penangkap karbon alami," kata Bob.
Bob menegaskan bahwa PLN memiliki target untuk menjadi netral karbon pada 2060. Oleh karena itu penggunaan teknologi penurun emisi di PLTU krusial dalam menekan emisi, sebelum semuanya beralih ke pembangkit energi baru terbarukan (EBT).