Tesla Pilih Nikel Australia, Pengamat: RI Terganjal Isu Keberlanjutan

Image title
2 Agustus 2021, 16:18
tesla, nikel, investasi
123rf.com/moovstock
Ilustrasi Tesla

Keputusan Tesla yang akhirnya lebih memilih untuk mengambil pasokan nikel dari Australia menjadi ganjalan tersendiri bagi Indonesia yang mengharapkan investasi dari produsen raksasa mobil listrik itu.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai masalah berkelanjutan lingkungan memang masih menjadi tantangan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemerintah harus mengakui, pengelolaan lingkungan berkelanjutan masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan.

Sebaliknya, Australia menjadi negara dengan indikator lingkungan yang relatif lebih baik. Bahkan, Negeri Kanguru itu menjadi salah satu negara yang sudah menjalankan pajak karbon, yang menunjukkan keseriusannya dalam memperhatikan sisi keberlanjutan.

"Saya kira, citra ini lah juga yang menjadi salah satu pertimbangan Tesla memilih Australia dibandingkan Indonesia," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (8/2).

Apalagi, BHP selaku pemasok nikel untuk Tesla juga menjadi salah satu perusahaan yang juga fokus terhadap isu lingkungan dalam menjalankan berbagai usahanya. Dalam konteks tersebut, maka hal ini akan menguntungkan penjualan Tesla sendiri di Australia.

Mengingat jumlah penjualan mobil listrik di Australia juga relatif lebih banyak dibandingkan di Indonesia. Sehingga kerja sama dengan BHP juga bisa dijadikan sebagai sentimen marketing penjualan produk Tesla di Australia.

Sementara, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan ada beberapa faktor keputusan Tesla untuk memilih Australia sebagai tujuan investasi dibandingkan Indonesia. "Saya kira faktornya tidak tunggal. Ada beberapa faktor variabel yang kemungkinan menjadi pertimbangan Tesla," kata dia.

Pertama, iklim investasi dan kepastian usaha di Indonesia. Dalam hal ini indeks investasi sektor pertambangan Indonesia berdasarkan survei sejumlah lembaga misal Fraser Institute masih relatif rendah.

Kedua, kebijakan perpajakan yang mana sejauh ini sektor pertambangan masih menjadi salah satu basis utama untuk penerimaan negara. Ketiga, integrasi kegiatan hulu-hilir tambang di Indonesia berjalan relatif lambat. Sejak diamanatkan melalui UU No.4/2009 sampai saat ini relatif belum banyak perkembangan.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...