Bahan Bakar Kapal Rendah Sulfur Kunci Dekarbonisasi Sektor Perkapalan
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi memetakan kesiapan Indonesia dalam upaya dekarbonisasi industri perkapalan dan pelabuhan (Decarbonizing Shipping and Port) dengan penggunaan bahan bakar kapal (marine fuel oil/MFO) rendah sulfur di Selat Malaka dan Selat Sunda.
Ini dilakukan guna mempercepat upaya pengurangan emisi menjadi net-zero emission dan implementasi green port. Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Basilio Dias Araujo mengatakan seluruh negara di dunia mulai kembali menegaskan komitmennya pada tahun ini terhadap persoalan lingkungan dan perubahan iklim.
Penegasan komitmen tersebut juga disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada COP26 UNFCCC untuk Indonesia dapat memenuhi komitmen pengurangan emisi sebesar 29% pada 2030.
Pada 1 Januari 2020, Organisasi Maritim Internasional atau International Maritime Organization (IMO) telah memberlakukan batasan baru kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak yang digunakan di kapal. Aturan yang dikenal sebagai "IMO 2020" tersebut membatasi sulfur hingga 0,50% m/m dari batas sebelumnya sebesar 3,5%.
Dalam area kontrol emisi yang ditentukan, batasannya sudah lebih ketat (0,10%). Batas baru ini diwajibkan setelah amandemen Lampiran VI Konvensi Internasional untuk Pencegahan Polusi dari Kapal (MARPOL).
Sementara, di tingkat nasional pengaturan tersebut dituangkan dalam SE Nomor 35 tahun 2019 Dirjen Hubla Kemenhub tentang Kewajiban Penggunaan Bahan Bakar Low Sulfur, dan Larangan Mengangkut atau Membawa Bahan Bakar Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Serta Pengelolaan Limbah Hasil Resirkulasi Gas Buang Dari Kapal.
"Dalam SE Nomor 35 tahun 2019, tertuang bahwa kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur dengan nilai maksimal 0,5 % m/m," kata Deputi Basilio dalam keterangan tertulis, Selasa (9/11).
Selain untuk mendukung Decarbonizing Shipping and Port, Basilio menilai bahwa mendorong kapal-kapal agar menggunakan Low Sulphur Marine Fuel Oil (LS MFO) juga dapat menambah pendapatan untuk negara. Terutama jika Indonesia dapat menjual LS MFO pada kapal yang melintas.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Perhubungan, diketahui sekitar 90.000 kapal melewati Selat Malaka setiap tahunnya. Sedangkan sekitar 53.068 kapal melewati Selat Sunda setiap tahunnya, dan sekitar 36.773 kapal melewati Selat Lombok setiap tahunnya.
"Banyaknya kapal yang melintasi perairan Indonesia menjadikan pemerintah Indonesia perlu untuk mendorong dan memastikan kapal-kapal tersebut menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur dengan nilai maksimal 0,5 % m/m," ujar dia.
Terkait kesiapan bungker bahan bakar kapal rendah sulfur di Indonesia, Pertamina, melalui Pertamina Patra Niaga telah meluncurkan bahan bakar kapal sulfur rendah dan telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan PT Krakatau Bandar Samudera (Krakatau International Port/KIP) pada 4 Agustus 2021.
"Penjualan perdana Bunkering Low Sulphur MFO juga sudah dilakukan di Dermaga KIP Cilegon pada tanggal 27 Agustus 2021 kepada kapal asing MV. Alona berbendera Siprus sejumlah 160 MT atau setara 175.000 liter LS MFO," kata Basilio.
Untuk meningkatkan dekarbonisasi kapal dan pelabuhan dan pendapatan negara dari Bunkering Low Sulphur MFO, maka diperlukan dukungan stakeholder terkait. Baik itu dari kementerian/lembaga, BUMN dan swasta, pemilik kapal, galangan kapal serta organisasi internasional seperti IMO, UNCTAD, dan Bank Dunia.
IMO dapat membantu mempromosikan teknologi rendah karbon dengan memfasilitasi kemitraan publik-swasta dan pertukaran informasi. IMO juga dapat membantu transfer teknologi, pengembangan kapasitas dan kerja sama teknis, serta peningkatan efisiensi energi kapal, dan menilai secara berkala penyediaan dana dan teknologi.
"Sementara Bank Dunia dapat membantu negara-negara berkembang dengan produksi dan pasokan bahan bakar nol-karbon yang akan diterapkan pada industri perkapalan di Indonesia," ujarnya.
Untuk diketahui, sekitar 90% dari arus perdagangan dunia diangkut melalui jalur laut. Industri ini menyumbang sekitar 3% dari total emisi CO2 dunia. Simak databoks berikut: