PLN Klaim Ada 50 Perusahaan yang Antre Gunakan Sertifikat EBT
PLN mengklaim banyak perusahaan yang berminat terhadap Renewable Energy Certificates (REC) atau sertifikat energi baru terbarukan (EBT) yang diluncurkan pada November 2020. Perusahaan setrum pelat merah ini mengklaim sudah ada 50 perusahaan mengantre untuk membeli sertifikat EBT selanjutnya.
Direktur Manajemen Sumber Daya Manusia PLN Syofvi Roekman memaparkan respons positif terutama berasal dari sektor komersial, industri, dan juga individu. Generasi pertama dari REC sebesar 140 megawatt (MW) dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Kamojang, telah habis diserap 28 perusahaan.
"Melihat respons dari pasar, tentunya PLN harus mempercepat pembangunan pembangkit EBT," kata Syofvi, dalam keterangan tertulis, Rabu (3/11).
Sertifikat EBT merupakan produk kolaborasi PLN dan Clean Energy Investment Accelerator (CEIA). Sertifikat ini berupa pengakuan penggunaan EBT dan menjadi bukti kepemilikan sertifikat standar internasional atas produksi tenaga listrik yang dihasilkan dari pembangkit EBT.
Oleh sebab itu, PLN mematangkan kerja sama dengan CEIA untuk dapat menciptakan transformasi pemanfaatan energi terbarukan. Melalui kelanjutan kerja sama ini, PLN berharap dapat menghasilkan lebih banyak produk energi ramah lingkungan.
Kerja sama ini ditandai dengan pertemuan dengan Global Energy Director World Resources Institute (WRI), Jennifer Layke, selaku perwakilan CEIA dan Syofvi dalam ajang COP26 yang berlangsung di Glasgow.
PLN dan CEIA menegaskan kelanjutan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang sudah diteken pada 28 Oktober 2021 di Jakarta.
Melalui kerja sama ini juga akan dilakukan asistensi teknis untuk mengembangkan layanan-layanan inovatif, seperti green tariff, sebagai salah satu opsi pengadaan energi terbarukan untuk korporasi atau peluang PLN untuk menjadi local issuer.
Kemudian bisa juga sebagai entitas lokal yang berhak menerbitkan sertifikat EBT sesuai standar yang telah ditetapkan dan diakui secara internasional. Sebagai local issuer, PLN diharapkan dapat menjadi pendaftar utama dalam menerbitkan sertifikat ini secara nasional.
Selain produk yang memberikan pilihan pembelian listrik terbarukan kepada pelanggan ini, PLN juga berencana untuk mengeksplorasi inovasi baru bersama dengan CEIA sebagai bagian dari akselerasi pengurangan karbon di Indonesia.
Kerja sama ini diharapkan juga dapat mengakselerasi pengembangan kapasitas, diseminasi informasi terkait penelitian, dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk memfasilitasi permintaan konsumen listrik.
Syovfi menambahkan, PLN telah menyatakan ikut berperan aktif dalam mengurangi emisi karbon. Melalui kerja sama dengan CEIA, PLN akan mengakselerasi pengembangan kapasitas, diseminasi informasi terkait penelitian, dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk memfasilitasi permintaan konsumen listrik semakin cepat terealisasi.
"Selain mendukung PLN, MoU tersebut mencakup komitmen dan dukungan dari kedua belah pihak untuk mengembangkan lebih banyak produk energi hijau bagi konsumen," kata Syofvi.
Kerja sama ini juga semakin mempertegas komitmen PLN bersama pemerintah Indonesia untuk meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi nasional. Sebagai langkah awal, PLN optimistis dapat berkontribusi memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030 melalui beberapa langkah strategis.
"PLN sendiri memiliki target untuk mencapai karbon netral pada 2060. Sebagai langkah awal, PLN berkomitmen untuk berkontribusi memenuhi target NDC Indonesia pada tahun 2030 melalui beberapa langkah strategis,” ujarnya.
Direktur Global Energy WRI Jennifer Layke mengatakan bahwa kerja sama ini diperlukan untuk mencapai target bauran EBT Indonesia 23% pada 2025. Seiring dengan upaya negara untuk pulih dari dampak pandemi, ada peluang untuk mendorong tujuan pembangunan berkelanjutan dan mencapai ekonomi energi bersih yang lebih adil.
"PLN akan menjadi kunci untuk kemajuan ini. Selama dua tahun terakhir, melalui CEIA, WRI dan Allotrope Partners, serta NREL telah mendukung pengembangan produk energi terbarukan, salah satunya adalah REC," ujarnya.
Layke menyadari jika tantangan yang dihadapi dalam pengembangan EBT di sektor ketenagalistrikan bukan hanya tentang pemilihan bahan bakar saja. Masih ada tantangan bagaimana produk EBT yang telah diproduksi ini bisa diserap oleh pasar.
"Saya menyambut positif dengan apa yang terjadi di PLN. Bagaimana permintaan pasar, perkembangan teknologi, dan aset PLN yang terdiversifikasi ke EBT menjadi satu sistem dapat diterima," katanya.