Krisis Batu Bara PLN Jadi Peringatan RI untuk Kebut Transisi Energi
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menilai krisis pasokan batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN sebagai peringatan bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi menuju penggunaan sumber energi baru terbarukan (EBT).
Ketua Umum METI Surya Darma menilai krisis pasokan batu bara yang terjadi pada awal tahun ini memberikan pelajaran bagi pola penggunaan energi di Indonesia. Kondisi ini pun harus dijadikan momentum bagi Indonesia untuk mengembangkan energi terbarukan secara serius.
"Indonesia sangat sering melakukan tindakan yang sifatnya kuratif jangka pendek dalam mengatasi krisis energi," kata Surya kepada Katadata.co.id, Selasa (11/1).
Ia menyayangkan kondisi krisis pasokan batu bara di Indonesia yang terus berulang. Apalagi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi telah mengamanahkan Dewan Energi Nasional (DEN) dan pemerintah menyusun skenario darurat energi.
Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 yang merupakan turunan dari Undang-Undang No.30/2007 untuk melaksanakan transisi energi. Namun, ia menilai komitmen pemerintah dalam hal transisi energi masih lemah.
"Nah, dengan melihat gonjang ganjing krisis batu bara untuk kebutuhan PLN saat ini, tentu saja memberikan sebuah warning yang kuat agar kita segera menyiapkan skenario transformasi penggunaan ke energi terbarukan sebagaimana amanah UU Energi," ujarnya.
Transformasi tersebut minimal sesuai dengan target yang ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), bauran energi terbarukan setidaknya dapat mencapai 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Meskipun, jika ingin memenuhi target Net Zero Emission pada 2060, maka target itu belum tentu cukup.
Skenario ini menurut Surya penting agar Indonesia tidak terjebak lagi dalam permasalahan yang sama seperti krisis batu bara PLN. Karena itu, harmonisasi antara penyiapan pembangkit energi terbarukan dan penurunan penggunaan energi yang bergantung pada PLTU akan membawa krisis baru jika tidak dipersiapkan dengan matang.
Apalagi, pengembangan energi terbarukan sendiri memerlukan waktu. Sehingga sarana dan infrastruktur serta regulasi yang mendukung perlu segera diselesaikan, seperti RUU EBT contohnya.
"Jangan lagi kita bicara kiri kanan. Fokus saja. Jangan kita terjebak lagi pada wacana yang tidak menentu. RUU ET sudah beberapa tahun dibahas, tapi masih saja molor terus," ujarnya.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi menilai dengan adanya krisis pasokan batu bara yang baru-baru ini terjadi, dia berharap pengembangan panas bumi di Indonesia mulai digalakkan kembali. Sekalipun saat ini dengan harga yang cukup tinggi di awal pengembangannya.
Pasalnya, panas bumi satu-satunya energi terbarukan yang sanggup menggantikan peran energi fosil. Khususnya sebagai supply base load dengan faktor ketersediaan rata-rata 95%.
"Dalam melaksanakan bauran energi, masing-masing energi jangan dikompetisikan harganya, tapi komplementer untuk mendukung program ketahanan dan kemandirian energi," ujar Priyandaru.
Menurut dia jika intangible benefit panas bumi dihitung, seperti faktor lingkungan, maka jenis energi terbarukan ini akan sangat kompetitif jika dibandingkan dengan energi fosil.