Pembahasan RUU EBT Mandek, Terganjal Isu Skema Power Wheeling
Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) ditargetkan dapat diterbitkan sebelum gelaran KTT G20 di Bali pada November mendatang. Namun hingga kini Kementerian ESDM masih belum menyampaikan daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada DPR.
Hal tersebut lantaran masih ada satu isu yang mengganjal, yakni terkait skema power wheeling. Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Dadan Kusdiana, mengatakan langkah Kementerian ESDM untuk memasukkan skema power wheeling mendapat catatan khusus dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Pemerintah punya usulan untuk memasukkan isu power wheeling di RUU EBT, nah ini belum sepakat di pemerintah dari Kementerian Keuangan yang masih melihat mungkin ada sisi yang merugikan," kata Dadan saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (21/10).
Power wheeling merupakan mekanisme yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit swasta ke fasilitas operasi PLN secara langsung. Mekanisme ini memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN.
Lebih lanjut, kata Dadan, Kemenkeu menilai implementasi power wheeling tidak sejalan dengan kondisi PLN yang saat ini mengalami kelebihan pasokan listrik atau oversupply.
Di sisi lain, Kementerian ESDM menilai kondisi oversupply listrik tidak ada kaitannya dengan implementasi power wheeling. Sebab, kelebihan listrik saat ini berasal dari pembangkit eksisting yang didominasi PLTU batu bara, sedangkan suplai listrik power wheeling hanya berasal dari sumber energi terbarukan.
"Menurut Kemenkeu kan kita masih kelebihan pasokan listrik, itu dianggap tidak sejalan dengan kondisi yang sekarang. Sementara Kementerian ESDM melihat itu berbeda, bagi kami itu tidak ada kaitannya antara kelebihan pasokan dengan power wheeling," ujar Dadan.
Saat ini, PLN mengalami kelebihan suplai listrik yang cukup besar karena penambahan pasokan tak dibarengi dengan peningkatan konsumsi. Di Jawa akan masuk 6.800 megawatt (MW) atau 6,8 gigawatt (GW) listrik dalam satu tahun ke depan, sementara penambahan permintaan hanya 800 MW.
Kondisi serupa juga terjadi di Pulau Sumatera yang mengalami penambahan kapasitas 5 GW selama tiga tahun ke depan hingga 2025. Sementara penambahan permintaan listrik hanya berada di 1,5 GW. Kejadian serupa juga terjadi di Kalimantan dan Sulawesi bagian selatan.
Keseriusan Pemerintah Dipertanyakan
Anggota Komisi VII Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto, menilai Pemerintah tidak serius dalam pengembangan EBT. Menurut Mulyanto, pemerintah baru sebatas mengirimkan surat presiden (surpres) ke DPR tanpa dilengkapi dengan DIM.
Mulyanto menjelaskan, berdasarkan ketentuan UU Pembentukan Perundang-Undangan, presiden harus sudah memberikan Surpres dan DIM ke DPR dalam waktu paling lambat 60 hari. Namun sayangnya, terkait RUU EBT pemerintah baru mengirimkan surpres tanpa disertai DIM.
"Padahal batas waktu sudah melebihi dari 60 hari. Soal RUU EBT ini saya melihat pemerintah hanya sekedar gimik saja. Bahkan cenderung melakukan pendekatan proyek, ketimbang pendekatan struktural, seperti misalnya proyek mobil listrik untuk pejabat," kata Mulyanto dalam keterangan resmi, Jumat (21/10).
Dalam UU nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur bahwa presiden menugaskan menteri yang mewakili untuk membahas RUU disertai DIM paling lama 60 hari sejak surat DPR diterima.
"Nyatanya, yang datang hanya surpres, tanpa dilampiri DIM. Ini kan sama juga bohong. Sebab, tanpa adanya DIM, apa yg bisa dibahas? Tidak bisa dilanjutkan pembahasan RUU EBT ini," ujarnya. "Secara sederhana dapat diartikan pemerintah tidak punya kehendak untuk membentuk RUU EBET ini."