Pemerintah Diminta Tak Andalkan Pendanaan Asing untuk Transisi Energi

Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) meminta pemerintah untuk menerapkan langkah inisiatif yang mudah dan cepat atau quick win dalam melakukan transisi energi di Indonesia. Sehingga tidak hanya bergantung kepada pendanaan asing saja, salah satunya seperti Just Energy Transition Partnership (JETP).
Chairman ICEF, Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, saat ini sudah terdapat sejumlah skema pendanaan dari luar negeri yang akan membiayai transisi energi di Indonesia untuk mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060.
“Tetapi sebaiknya memang jangan terlalu bergantung pada pendanaan dari luar negeri. Karena Indonesia harus secara reaktif menjalankan quick win yang bisa dilakukan dalam konteks domestik,” ujar Bambang dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023, di Jakarta, Senin (18/9).
Bambang menyebutkan bahwa Indonesia memiliki dua inisiatif yang bisa dengan mudah untuk dicapai, hanya saja penerapannya masih belum maksimal dan baik.
Adapun inisiatif pertama tersebut yaitu, program dedieselisasi di mana konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) beralih ke pembangkit energi terbarukan. Menurutnya, program itu merupakan langkah yang baik karena PLTD masih tersebar di berbagai wilayah. Apalagi memiliki kapasitas yang lebih dari 3 gigawatt (GW).
Dia menilai, jika kapasitas PLTD masih terbilang besar, tentu emisi karbon yang akan diproduksi juga besar, “Mengubah yang PLTD kecil-kecil di berbagai tempat dengan EBT seperti surya, atau angin ini merupakan langkah yang bagus, seperti yang diusulkan dalam skema JETP,” kata dia.
Selain itu, Bambang menilai, dengan adanya program dedieselisasi tersebut, maka bauran energi baru terbarukan (EBT) bisa meningkat dan produksi emisi karbon bisa berkurang dengan jumlah yang cukup signifikan.
Selanjutnya, untuk inisiatif cepat yang kedua yaitu dengan melakukan program co-firing biomassa. Bambang mengatakan, pemerintah harus menggenjot co-firing di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) maksimal mencapai 95% dahulu.
“Jadi pencampuran batu bara jangan maksimal 100%, 95% dulu saja dengan menggunakan berbagai macam jenis biomassa,“ kata dia.
Sebelumnya, Vice President of Bio Energy PLN Energi Primer Indonesia (EPI) Anita Puspita Sari mengatakan, PLN menargetkan kebutuhan biomassa hingga mencapai 10,2 juta ton pada 2025 untuk mensubstitusi 10% kebutuhan batu bara. Dia menyebutkan, biomassa bisa menciptakan bauran energi sebesar 12%.
“Rata-rata biomassa hanya bisa menciptakan bauran energi 12% pada 2025, karena kami lakukan secara bertahap dan PLTU memang didesain untuk batu bara,” ujarnya saat ditemui Katadata.co.id, di sela acara PLN Nusantara Power, Jakarta, Selasa (12/9).
Anita mengatakan, implementasi co-firing biomassa memang tidak mudah karena batu bara yang sejatinya digunakan untuk pembangkit listrik PLTU, jadi diganti menggunakan biomassa yang tentunya harus memiliki spesifikasi hampir sama dengan batu bara.
PLN menargetkan ada 1,08 juta ton biomassa yang akan menggantikan pasokan batu bara ke PLTU. Hingga Agustus 2023 hampir 600 ribu ton biomassa sudah digunakan di 41 lokasi PLTU yang telah mengimplementasikan co-firing. “Mudah-mudahan bertambah terus hingga 52 lokasi, sesuai dengan roadmap co-firing PLTU group PLN,” kata dia.