Dorong Transisi Energi, PLN akan Andalkan Pembangkit Listrik Gas

PLN menyampaikan akan mengandalkan pembangkit listrik tenaga gas dalam mendorong transisi energi. Sehingga pada Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) baru hingga 2024, pihaknya tidak akan lagi menambah pembangkit batu bara.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo mengatakan, alasan pihaknya memilih pembangkit gas karena emisi yang dihasilkan hanya berkisar 60%. Artinya lebih rendah dibandingkan pembangkit batu bara atau PLTU. Secara investasi, pembangkit gas juga lebih murah yakni hanya US$ 500 juta per gigawatt (GW).
“Selain itu, dalam pembangunan pembangkit berbasis gas ini juga bisa berjalan sangat cepat yaitu sekitar kurang dari dua tahun,” ujar Darmawan dalam Rapat Panja dengan Komisi VI DPR RI, Senin (2/10).
Menurut Darmawan, biaya tersebut tidak begitu mahal. Namun, sayangnya dari segi biaya untuk bahan bakar (fuel cost) jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) lainnya.
Dia memberikan contoh, misalnya biaya belanja modal (capex) per-GW untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) memang cukup besar yakni US$ 2 miliar atau empat kali lipat dibandingkan dengan capex pembangkit gas. Namun, biaya operational expenditure (opex) pada PLTA kedepannya akan terus murah.
“Hal itu karena bahan baku pembangkit tersebut hanya mengandalkan sumber daya air yang memang sudah tersedia, tidak seperti gas,” kata dia.
Dia menuturkan, jika membangun pembangkit gas capex-nya jauh lebih murah, namun opexnya mahal. Untuk itu, PLN juga berencana akan menambah pembangunan untuk PLTA dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) karena di awal capex-nya memang mahal tetapi biaya untuk opex-nya kedepannya sangat murah.