Indeks Asia Pasifik Rebound 50% Sejak Kejatuhan Maret, IHSG Hanya 25%

Bursa saham negara-negara di Asia Pasifik berhasil bangkit setelah kejatuhannya pada pertengahan Maret 2020 yang diakibatkan oleh ketidakpastian pasar seiring berkembangnya wabah virus corona menjadi pandemi global.
Dilonggarkannya karantina wilayah alias lockdown di berbagai negara di dunia menjadi sentimen positif pendorong indeks saham Asia Pasifik. Termasuk rencana pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Indonesia dalam menyambut era kenormalan baru atau new normal.
Bahkan indeks saham utama di kawasan Asia Pasifik berhasil berbalik naik alias rebound hingga 49,45% yang dicatatkan oleh indeks Kospi Korea Selatan. Lalu bagaimana dengan indeks dalam negeri, indeks harga saham gabungan atau IHSG?
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), sejak menyentuh level terendahnya dalam delapan tahun terakhir pada 24 Maret 2020 di level 3.937,63, indeks dalam negeri hanya berhasil rebound 25,65% ke level 4.947,78 pada penutupan perdagangan Jumat (5/6).
(Baca: OJK Sebut Aturan Baru Perdagangan Bursa Menopang Tren Penguatan IHSG)
Adapun terakhir kali IHSG berada pada level 3.000-an yakni pada 24 Juni 2012 di level 3.955,58. Setelah itu IHSG terus bergerak naik hingga mencapai posisi tertingginya sepanjang sejarah pasar modal Indonesia di level 6.689,29 pada 19 Februari 2018.
Meski demikian, kinerja IHSG masih lebih baik dibandingkan indeks Shanghai Composite Tiongkok yang hanya berhasil rebound 10,29%, serta indeks Straits Times Singapura yang rebound 22,59%, atau Hang Seng Hong Kong sebesar 15,27%.
Berikut ini adalah kinerja indeks saham Asia Pasifik, masing-masing naik signifikan setelah kejatuhannya pada pertengahan Maret lalu:
- S&P/ASX 200 Australia: +36,1%
- Kospi Korea Selatan: +49,45%
- Shanghai Composite Tiongkok: +10,29%
- Hang Seng Hong Kong: +15,27%
- Nifty 50 India: +33,52%
- Nikkei 225 Jepang: +38,74%
- Straits Times Singapura: +22,59%
- Taiex Taiwan: +33,67%
- SET Composite Thailand: +45,6%
- KLSE Malaysia: +27,59%
- PSEi Filipina: +39,83%
Kinerja indeks saham global:
- Dow Jones Industrial AS: +45,82%
- S&P 500 AS: +42,75%
- Nasdaq AS: +43,05%
- Xetra Dax Jerman: +43,89%
- FTSE 100 Inggris: +29,84%
(Baca: Ditopang Saham Aneka Industri dan Properti, IHSG Ditutup Naik 0,63%)
Kebangkitan bursa saham Asia Pasifik dan global selain didorong harapan pemulihan ekonomi pasca dibukanya lockdown, juga didorong oleh gelontoran stimulus ekonomi oleh berbagai negara dan bank sentralnya, untuk meredam atau membangkitkan perekonomiannya yang terpukul pandemi corona.
Seperti bank setral Eropa alias European Central Bank (ECB) yang menambah stimulusnya sebesar 600 miliar Euro. Padahal sebelumnya ECB telah menyetujui paket stimulus sebesar 500 miliar Euro dalam bentuk dana pemulihan zona Eropa.
Kemudian awal pekan lalu Korea Selatan mengumummkan stimulus tambahan sebesar 35,3 triliun won atau setara US$ 29 miliar, sehingga total paket stimulus yang digelontorkan pemerintah negeri Ginseng menjadi 270 triliun won atau US$ 221,8 miliar.
Meski demikian kinerja indeks global masih di bawah posisi tertingginya dalam setahun terakhir. Seperti indeks Straits Times Singapura yang masih sekitar 20% lebih rendah atau indeks Kospi yang masih 5,54% lebih rendah meski telah rebound nyaris 50%.
(Baca: Pandemi Corona Buat Emiten Ritel Lesu, Berikut Rekomendasi Sahamnya)
Pasar Mengabaikan Berbagai Berita Buruk
Analis pasar global pun memperingatkan pasar bahwa masih terdapat risiko yang berpotensi kembali menekan bursa saham. Analis Pictet Asset Management Luca Paolini mengatakan, pasar sangat mudah berasumsi bahwa setelah lockdown dibuka, dan roda ekonomi berputar kembali, aset-aset berisiko seperti saham pasti langsung akan melejit.
“Terlalu prematur untuk menyatakan bahwa krisis ini sudah berakir. Valuasi saham-saham terdongkrak lantaran pasar terlalu fokus pada penurunan biaya modal daripada pendapatan,” ujar Paolini seperti dikutip Reuters.
Sementara analis ING, Rob Carnell mengatakan bahwa terlalu banyak berita buruk, dari aspek politik dan ekonomi, yang sulit untuk diabaikan. “Tetapi (berita) itu malah tidak berdampak apapun ke pasar saham,” ujarnya kepada CNBC International.
Menurut Carnell, pasar terlalu naif jika hanya merespon kebijakan ekonomi dari berbagai paket stimulus dan pembukaan lockdown, sehingga menganggap remeh berbagai berita buruk mulai dari kerusuhan di AS hingga potensi konflik AS dengan Tiongkok yang mungkin diperparah dengan kondisi Hong Kong.
(Baca: Optimisme Pemulihan Ekonomi Pasca Covid-19 Dongkrak Bursa Saham Global)