Heboh Kasus Jouska, Ini Tugas dan Tanggung Jawab Perencana Keuangan
Perusahaan perencana keuangan PT Jouska Indonesia beberapa hari terakhir menjadi sorotan lantaran ada seorang kliennya yang mengaku dirugikan hingga puluhan juta rupiah setelah mempercayakan pengelolaan investasinya kepada perusahaan.
Jouska merupakan perusahaan yang menyediakan jasa konsultasi perencanaan keuangan dan investasi. Lalu sebenarnya apa saja tugas dan tanggung jawab seorang perencana keuangan?
Menurut Asosiasi Perencana Keuangan IARFC (International Association of Register Financial Consultant) Indonesia, sesuai nama dan gelar profesinya, seorang perencana keuangan bertugas membantu nasabah melakukan perencanaan keuangan dan mengedukasi masyarakat.
Perencana keuangan dilarang dan tidak dalam kapasitas dan posisinya untuk mengelola uang nasabah ataupun melakukan transaksi jual-beli (trading) portofolio nasabah, apalagi melakukannya dengan kuasa penuh (full discretionary), meskipun telah diberi kuasa oleh nasabah.
“Baik dalam kondisi mengetahui atau tidak mengetahui pemberian kuasa tersebut,” kata Ketua Asosiasi Perencana Keuangan IARFC Indonesia Aidil Akbar Madjid, melalui keterangan tertulisnya, dikutip Jumat (24/7).
Untuk dapat mengelola uang nasabah dan transaksi jual-beli pun seorang perencana keuangan membutuhkan lisensi khusus, yakni Wakil Manajer Investasi (WMI) dan Wakil Perantara Pedagang Efek (WPPE). Orang tersebut juga harus bekerja di salah satu perusahaan efek atau sekuritas sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
(Baca: Satgas Waspada Investasi Panggil Jouska Bahas Legalitas Hari ini)
Orang yang bekerja di perusahaan efek ini pun tidak bisa mendeklarasikan dirinya sebagai independen. Pasalnya, perencana keuangan independen dan firmanya adalah perencana keuangan yang tidak terikat atau terafiliasi dengan institusi atau produk keuangan manapun.
Apabila seorang perencana keuangan dan/atau firmanya berafiliasi dengan institusi keuangan dan produk keuangan manapun, mereka wajib memberitahukan kepada nasabah atau calon nasabah tentang afiliasi tersebut, dan tentang adanya kemungkinan benturan kepentingan (conflict of interest).
Apabila seorang perencana keuangan independen dan/atau firmanya menerima uang baik dalam bentuk komisi, fee, dan sebagainya dari institusi ataupun dari hasil penjualan produk keuangan, maka dia wajib memberitahukan kepada nasabah/calon nasabah tentang adanya kemungkinan conflict of interest.
Dalam setiap melakukan perencanaan, seorang perencana keuangan harus selalu melakukannya dengan penuh kehati-hatian dan menempatkan kepentingan nasabah di atas kepentingan lainnya.
Perencanaan keuangan kepada nasabah pun harus sesuai dengan profil risiko dari nasabah, tujuan keuangan, serta jangka waktu pencapaian. Hal ini lantaran setiap nasabah memiliki profil risiko yang berbeda, sehingga tidak serta merta semua nasabah akan berinvestasi atau harus berinvestasi pada produk keuangan dan produk investasi, apalagi investasi pada saham dan saham IPO.
Profesi apapun yang berkaitan dengan kegiatan investasi di pasar modal tidak diperbolehkan memberikan janji imbal hasil investasi kepada kliennya.
Panduan Memilih Perencana Keuangan
Lalu apa saja yang harus diperhatikan dalam memilih perencana keuangan yang baik? Nasabah harus memperhatikan sejumlah faktor, salah satunya yang paling utama yaitu rekam jejak (track record) dari perencana keuangan atau perusahaan perencana keuangan yang jasanya akan digunakan.
“Ini kan soal trust, kepercayaan. Jadi pilih yang terpercaya. Harus lihat track record-nya bagaimana. Kan’ sekarang bisa browsing,” kata Joice Tauris Santi, seorang perencana keuangan bersertifikasi CFA atau Certified Financial Planner, kepada Katadata.co.id, Kamis (23/7).
Kemudian calon investor harus melihat apakah arahan dari perencana keuangan tersebut sesuai dengan profil risiko atau risk appetite-nya. Pasalnya setiap orang memiliki profil risiko yang berbeda-beda.
Berdasarkan levelnya, profil risiko ini terbagi atas investor konservatif yang memilih instrumen investasi berisiko rendah, agresif yang memilih instrumen investasi berisiko tinggi. Serta moderat yang berada di antara dua kategori sebelumnya.
Seperti diketahui, semakin tinggi risiko instrumen investasi maka produk tersebut menawarkan imbal hasil atau yield yang semakin tinggi namun dengan risiko gagal yang juga tinggi, contohnya adalah saham.
Sedangkan produk invetsasi berisiko rendah lebih aman namun imbal hasilnya lebih rendah, contohnya obligasi, deposito bank, atau emas.
(Baca: Lembaga Sertifikasi Perencana Keuangan Pertanyakan Jenis Usaha Jouska)
“Masing-masing orang punya profil risiko berbeda. Ada yang cocok di saham, ada yang nggak cocok. Sebagai financial planner dia harus paham kliennya cocok diarahkan ke mana. Jangan semua disuruh beli emas atau semua disuruh beli saham,” kata Joice.
Kemudian seorang perencana keuangan harus memiliki pengetahuan yang mumpuni terkait dunia investasi dan seluruh produk-produknya termasuk risiko dan makro ekonomi. Selain itu calon investor/nasabah juga harus membandingkan beberapa perusahaan perencana keuangan, dan tidak hanya mempercayai cukup satu perencana keuangan.
“Tapi kalau sudah masuk kontrak ya harus paham juga arti kontraknya apa, bagaimana konsekuensinya. Jangan sampai ‘kejeblos’ karena tidak paham kontraknya seperti apa,” kata Joice.