Penundaan Pajak Karbon Berpotensi Hambat Pensiun Dini PLTU Batu Bara
Penerapan pajak karbon dinilai sebagai kunci penting dalam rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Sehingga penundaan implementasinya ke 2025 dinilai berpotensi menghambat rencana ini.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, penerapan pajak karbon berpotensi meningkatkan biaya penyediaan tenaga listrik atau BPP sehingga menaikkan harga listrik dari PLTU batu bara lebih mahal dibandingkan harga listrik dari energi terbarukan.
"Adanya pajak karbon bisa membuat harga listrik dari PLTU lebih mahal dibandingkan jenis pembangkitan lain, maka secara ekonomis lebih untuk melakukan pensiun dini bisa lebih cepat jika pajak karbon itu efektif," kata Fabby dalam Energy Corner CNBC pada Senin (17/10).
Namun begitu, Fabby menilai pungutan dari pajak karbon perlu ditingkatkan untuk mempercepat pensiun dini PLTU batu bara. Implementasi pajak karbon diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan perpajakan (HPP) yang rencananya dimulai pada 1 April dengan tarif karbon minimum sebesar Rp 30 per Kg CO2.
Fabby menilai tarif karbon Rp 30.000 atau US$ 2 per ton itu masih jauh dari angka ideal. Dalam proyeksi IESR, pemerintah diwajibkan untuk melakukan pensiun dini kepada 9,2 giga watt (GW) PLTU hingga 2030 dengan komposisi 5 GW pembangkit milik PLN dan 4,2 GW dari pembangkit swasta atau Independent Power Producers (IPP).
Pensiun dini merupakan salah satu upaya untuk mengejar komitmen membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat celcius. "Dari 5 GW ini ada 4,5 GW PLTU milik PLN bisa pensiun dini pada 2023 karena umurya sudah lebih dari 30 tahun," ujar Fabby.
Kebijakan DMO Batu Bara Perlambat Pensiun Dini PLTU
Fabby pun menyoroti aturan transisi dan peta jalan pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang tertulis dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT.
Pada Bab IV Pasal 6 ayat 6, tertulis penjualan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) ditentukan minimal 30% dari rencana produksi batu bara dengan harga paling tinggi US$ 70 per ton dengan acuan batu bara kalori 6.322 kcal per kg.
Fabby menilai aturan tersebut menjadi salah satu faktor yang mengambat pensiun dini PLTU karena memberikan subsidi batu bara dengan harga DMO. Adapun harga batu bara di Pasar ICE Newcastle pada Senin (17/10) berada di US$ 397 per ton.
Dia mengatakan, menghilangkan harga DMO pada batu bara akan membuat PLTU menjadi kurang kompetitif sekaligus di sisi lain menarik serapan investasi pada sektor pembangkit EBT yang lebih besar.
"Kalau menghilangkan subsidi terhadap subsidi batu bara ini bisa membuat PLTU menjadi kurang kompetitif dan karena kurang kompetitif harusnya energi terbarukan yang harganya jauh lebih kompetitif bisa berkembang karena pengusaha IPP melihat ada kesempatan investasi di sektor itu, ketimbang mempertahankan PLTU-nya," ujar Fabby.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang, mengatakan ada beberapa hal yang diperhatikan dalam wancana pensiun dini.
Sebagai penyedia listrik swasta, IPP harus menjalin komunikasi dengan PLN dan lembaga pendanaan serta sponsor untuk mengatur komitmen perjanjian jual beli listrik dan mekanisme pendanaan pensiun dini. Menurutnya, skema pensiun dini memerlukan kerja sama internasional baik dari lembaga filantropi, NGO, dan institusi pendanaan.
Arthur menailai skema kombinasi pendanaan pensiun dini perlu menjadi aksi kongkret. "Kami sudah melihat komitmen tersebut tapi masih perencanaan, masih belum lihat suatu hal yang berhasil diimplemetasikan. wacana ini sudah ada tapi perlu kajian lebih lanjut," kata Arthur.