Belt and Road Initiative, Menghidupkan Kembali Kejayaan Jalur Sutra

Hari Widowati
29 April 2019, 11:32
Sebuah layar media center memperlihatkan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad memberikan pidato dalam upacara pembukaan Belt and Road Forum kedua, di samping replika roket seri Long March China di Beijing, China, Jumat (26/4/2019).
ANTARA FOTO/REUTERS/JASON LEE
Sebuah layar media center memperlihatkan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad memberikan pidato dalam pembukaan Belt and Road Forum kedua, di samping replika roket seri Long March China di Beijing, Jumat (26/4/2019).

Konferensi internasional The Second Belt and Road Forum yang berlangsung di Beijing, Tiongkok pada 24-27 April 2019 menghasilkan sejumlah keputusan di bidang ekonomi dan perdagangan. Indonesia termasuk salah satu negara yang ikut serta dalam konferensi ini.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan Belt and Road Initiative (BRI)? BRI merupakan program yang diperkenalkan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping pada 2013 dengan nama One Belt One Road (OBOR). Ini merupakan rencana besar pemerintah Tiongkok untuk menghidupkan kembali kejayaan Jalur Sutra (Silk Road) di abad ke-21.

Strategi ini melibatkan investasi dan pembangunan infrastruktur besar-besaran di 152 negara yang tersebar di Eropa, Asia, Timur Tengah, Amerika Latin, dan Afrika. Kata belt atau sabuk di sini mengacu pada jalur darat berupa jalan dan rel kereta yang juga disebut sebagai Sabuk Ekonomi Jalur Sutra. Adapun road lebih merujuk pada jalur laut atau Jalur Sutra Maritim di Abad ke-21.

Bank Dunia menyebut BRI sebagai upaya ambisius untuk meningkatkan kerja sama regional dan konektivitas antarbenua. Inisiatif ini bertujuan memperkuat infrastruktur, perdagangan, dan investasi antara Tiongkok dengan 65 negara yang berkontribusi terhadap 30% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Program ini juga menyentuh 62% populasi dan 75% cadangan energi global.

Inisiatif ini akan menciptakan satu pasar raksasa bagi negara-negara yang terhubung. BRI ingin menuntaskan masalah kesenjangan infrastruktur sehingga bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi di Asia-Pasifik maupun Eropa Timur dan Eropa Tengah. Salah satu laporan dari World Pensions Councils (WPC) memprediksi Asia membutuhkan dana infrastruktur US$ 900 miliar per tahun dalam kurun waktu 2017-2027. Total dana yang diperlukan untuk infrastruktur darat saja diprediksi mencapai US$ 4-8 triliun.

(Baca: Persempit Defisit Dagang, RI-Tiongkok Teken Protokol Ekspor Manggis)

Menlu RI Bertemu dengan Menlu Tiongkok
Menlu RI Bertemu dengan Menlu Tiongkok (ANTARA FOTO/M IRFAN ILMIE)

Membentuk Bank Infrastruktur dan Investasi Asia

Untuk mengumpulkan pendanaan bagi proyek-proyek infrastruktur BRI, dibentuklah Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Bank tersebut memiliki modal disetor US$ 100 miliar pada Juni 2015. Sekitar 75% dari modal tersebut berasal dari negara-negara Asia yang menjadi anggotanya, sisanya dari negara-negara Oseania. Tiongkok memiliki saham terbesar di AIIB, yakni 26%.

Indonesia menjadi donatur terbesar ke-8 untuk AIIB dengan setoran modal US$ 672 juta yang dibayarkan bertahap dalam lima tahun. Proyek-proyek infrastruktur di Indonesia yang mendapatkan pendanaan dari AIIB, antara lain proyek energi, manajemen air, pertanian, dan transportasi berbasis rel, baik light rail transit (LRT) maupun kereta cepat (high speed rail/HSR).

Tiongkok merupakan negara yang paling agresif dalam pembangunan infrastruktur dengan proyek-proyek raksasa, dari jalan raya, jembatan, terowongan, hingga kereta cepat. World Pensions Council (WPC) menyebut BRI merupakan perpanjangan dari strategi pembangunan berbasis infrastruktur. Program ini dinilai mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak era reformasi ekonomi di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping.

(Baca: Mencari Peruntungan Kedua Dana Tiongkok di Jalur Sutera)

Tudingan Neokolonialisme hingga Jebakan Utang

Meski begitu, BRI tidak lepas dari kontroversi. Salah satunya soal tudingan neokolonialisme. Pada 2018, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad membatalkan proyek-proyek yang didanai oleh Tiongkok. Ia juga memperingatkan akan versi baru dari neokolonialisme. Namun, dalam wawancara dengan BBC Hardtalk, Mahathir mengonfirmasi bahwa yang dimaksud dengan neokolonialisme bukanlah BRI.

Mahathir menyatakan dukungannya pada program BRI di pembukaan The Second Belt and Road Forum for International Cooperation di Beijing, Tiongkok, Jumat (26/4). "Saya yakin, Malaysia akan mendapatkan manfaat dari proyek ini," kata Mahathir dalam pidatonya, seperti dikutip South China Morning Post.

Pernyataan itu disampaikannya setelah bulan lalu Tiongkok setuju memangkas biaya proyek East Coast Rail Link sebesar 30%. Jalur kereta cepat yang akan menghubungkan perbatasan Malaysia dengan Thailand itu sebelumnya diperkirakan menelan investasi US$ 20 miliar.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...