Sri Mulyani: Korupsi dalam Layanan Ekspor Impor Harus Dicegah
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan korupsi dalam proses pelayanan ekspor-impor harus dicegah. Korupsi terjadi karena ada perbedaan harga riil dengan apa yang seharusnya dibayarkan.
Dalam konteks pelayanan ekspor dan impor, Sri Mulyani mengatakan, korupsi bisa saja terjadi untuk menghindari bea keluar, bea masuk impor, atau karena keinginan untuk melakukan kegiatan ilegal. "Tarif seperti pajak impor, bea keluar, dan bea masuk tujuannya untuk melindungi industri dalam negeri atau ingin memacu suatu kegiatan ekonomi tertentu, seperti hilirisasi. Ini yang mungkin perlu untuk ditata dan dilihat kalau regulasinya menjadi salah satu pemicu korupsi, kita perlu membahasnya dengan kementerian lain," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Seminar Nasional Presisi Cegah Korupsi, di Jakarta, Kamis (14/9).
Sri Mulyani menambahkan, dari sisi kegiatan ekonomi yang sifatnya besar, pasokan yang sangat melimpah dari berbagai belahan dunia jika tidak diimbangi dengan permintaan yang kuat bisa memicu kegiatan ilegal. Oleh karena itu, ia menekankan untuk melihat masalah korupsi di sektor ekspor impor secara lebih komprehensif sehingga dapat ditangani secara terorganisir.
“Karena kalau tidak, seperti Indonesia kan luas sekali. Pelabuhan banyak sekali, jadi kita perlu untuk menggunakan sumber daya kita secara lebih baik dan terkoordinasi sehingga dampaknya bisa lebih baik,” kata Sri Mulyani.
Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Komisaris Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo juga menjelaskan bahwa bentuk korupsi yang sering terjadi dalam pelayanan ekspor dan impor adalah adanya manipulasi dari pelaku usaha. Selain itu, ada modus pelaporan data yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan dan ketidakdisiplinan dari oknum.
“Jadi hal seperti ini tentu bagus jika kita sama-sama menyadari korupsi tidak boleh terjadi sehingga negara berpotensi meningkatkan pemasukan negara. Kedisplinan dari pelaku usaha tentunya juga akan mendidik agar sistem yang ada di Indonesia itu betul-betul bisa mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Listyo, dalam kesempatan yang sama.
Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global. Tercatat, IPK Indonesia pada 2022 menempati peringkat ke-110. Pada tahun sebelumnya, IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara global.
Listyo menambahkan, untuk memperbaiki indeks persepsi korupsi, Indonesia harus merespons dengan melakukan berbagai perbaikan dalam poin-poin yang ada dalam temuan indeks itu. "Harapan kita, dengan Indeks Persepsi Korupsi yang semakin baik akan mempengaruhi penilaian internasional terhadap kemudahan berusaha di Indonesia. Negara-negara maju akan terus meningkatkan investasinya dan kita juga harus mengawal ekspor-impor apalagi ada fenomena banjir barang impor akibat konstelasi global," ujarnya.