Anomali Biaya Besar Pengentasan Kemiskinan
Berulang kali kita mendengar pemerintah menyematkan frase “pertama dalam sejarah” saat mengumumkan tingkat kemiskinan. Sebenarnya, itulah gimmick politik yang tak penting dalam kebijakan publik, karena sebenarnya, setiap terjadi penurunan maka angka baru tersebut selalu menjadi yang terendah sepanjang sejarah.
Pengulangan hanya menjanjikan inefisiensi, satu hal penting yang menjadi pertanyaan program pengentasan kemiskinan. Setiap tahun jumlah orang miskin turun. Namun, setiap tahun pula anggaran pengentasan kemiskinan menanjak.
Pemerintah menetapkan urusan penanganan kemiskinan dalam anggaran perlindungan sosial. Tujuannya, seperti termaktub dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah untuk pengentasan kemiskinan serta pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Beragam program digelar, seperti Program Keluarga Harapan, beras rakyat miskin, serta program lainnya.
Setiap tahun sejak 2015 hingga 2019, biaya perlindungan sosial naik rata-rata 10,3 persen, sementara jumlah orang miskin terus turun. Ironis, memang. Sebab penurunan tingkat kemiskinan itulah yang selalu didongengkan oleh pemerintah yang ingin mengatakan bahwa program dan pemanfaatan anggaran berhasil.
Sejatinya, pengumuman pemerintah tersebut masih koma. Pada saat yang bersamaan, justru orang miskin kian miskin. Hal ini disebut dengan kedalaman kemiskinan menurut bahasa Badan Pusat Statistik (BPS). Pada Maret 2019, BPS mencatat indeks kedalaman kemiskinan mencapai 1,55 atau rata-rata sebesar 1,67 untuk rentang waktu 2015-2019. Angka ini lebih besar dibandingkan lima tahun sebelumnya (2010-2014), yaitu 1,40.
Indikator kedalaman ini menjelaskan satu hal. Rata-rata pengeluaran orang miskin di Indonesia semakin jauh di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, kemiskinannya makin dalam, sehingga untuk keluar dari kelompok orang miskin kian sulit.
Lingkaran Setan Kemiskinan
Kelompok masyarakat yang mengalami tingkat kemiskinan kian dalam ini menunjukkan ketidakberdayaan menghadapi perubahan yang terjadi pada biaya barang maupun jasa. Pendapatannya tak mampu beradaptasi. Sehingga, mereka berpotensi terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan atau the vicious circle of poverty (Myrdal, 1968).
Tentu saja bagian kedalaman kemiskinan ini nyaris tidak pernah diumumkan oleh pemerintah, karena tidak nyaman secara politik. Sebab ini bukan prestasi, melainkan bencana bagi statistik kemiskinan dan kelompok masyarakat miskin.
Terkait dengan anggaran yang terus bertambah sementara jumlah orang miskin kian sedikit juga sungguh ironis. Perlu dipertanyakan ulang efisiensi pemanfaatannya. Untuk periode 2015-2018, rata-rata biaya pengentasan kemiskinan memiliki rasio bulanan 1:23,42 juta. Ini berarti, ongkos untuk menurunkan kemiskinan per bulan sebesar Rp 23,42 juta per orang.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.