Investigasi: Akal-akalan Toba Pulp Melipat Untung Ekspor Bubur Kayu

Redaksi
Oleh Redaksi
7 Februari 2020, 14:02
investigasi toba pulp lestari, indonesialeaks
Katadata/123rf
Ilustrasi. Indonesialeaks menemukan dugaan manipulasi perdagangan ekspor Dissolving Wood oleh Toba Pulp Lestari.

TUMPUKAN bubur kayu tampak menjulang di depan pabrik PT Toba Pulp Lestari Tbk di Porsea, Sumatera Utara, saat tim Indonesialeaks berkunjung pada November 2019. Saban hari, bubur kayu tersebut diangkut ke Pelabuhan Belawan, Medan untuk  kemudian diekspor ke berbagai negara.

“Tujuan ekspor produk kami ke Tiongkok, India, Bangladesh, dan Thailand,” ujar Kepala Hubungan Masyarakat Toba Pulp Norma Patty Handini Hutajulu, beberapa waktu lalu.

Bubur kayu itu dapat diolah menjadi berbagai macam produk, di antaranya sebagai bahan baku serat tekstil bagi busana dengan merek-merek ternama seperti Zara, H&M, dan Uniqlo.

Toba Pulp yang beroperasi sejak tahun 1980-an memiliki konsesi lahan ratusan ribu hektare yang ditanami pohon eucalyptus. Mereka menjual produk ke luar negeri bekerja sama dengan dua perusahaan terafiliasi yakni DP Macao dan Sateri Holdings Limited. Ketiga perusahaan ini merupakan bagian dari raksasa Grup Sukanto Tanoto.

Setiap tahun, ratusan ribu ton produk bubur kayu Toba Pulp dijual kepada DP Macao, yang kemudian diteruskan ke Sateri. Pada akhir 2018 lalu, tim Indonesialeaks menemukan sejumlah dokumen yang memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan di antara  ketiga perusahaan tersebut. Toba Pulp diduga mempermak dokumen pencatatan ekspor di bea cukai untuk menyembunyikan keuntungan pada periode 2007-2016.

Pengolahan produk kayu PT Toba Pulp Lestari di Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara
Pengolahan produk kayu PT Toba Pulp Lestari di Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara (Indonesialeaks)

Ubah Bubur Kayu Jadi Bubur Kertas

Hubungan sedarah antara Toba Pulp dan dua perusahaan lain yakni DP Macao dan Sateri baru terkuak dalam laporan keterbukaan informasi Sateri di bursa saham Hong Kong pada 2010. Prospektus dipublikasikan saat Sateri akan mencatatkan saham perdana atau Initial Public Offering di bursa Hong Kong, 10 tahun lalu.

Laporan tersebut menyebutkan Sukanto Tanoto sebagai pemegang saham pengendali utama Toba Pulp dan Sateri. Sedangkan DP Macao, anak usaha DP Marketing International yang merupakan cucu dari Sateri International Co.Ltd.

Dalam prospektus dijelaskan klien DP Macao yakni Sateri Fujian dan Sateri Jianxi merupakan anak dari dua perusahaan yang berbeda. Sateri Fujian adalah anak Sateri China (Hong Kong) Limited, sedangkan 81,1% saham Sateri Jiangxi dimiliki Sateri International (Singapore) Pte Ltd.

Sateri China dan Sateri International Pte Ltd adalah anak usaha Sateri International Co. Ltd yang tercatat di British Virgin Island. Korporasi ini dimiliki 100% oleh Sateri Holdings Limited yang berbendera Bermuda. Nah, Sateri Holdings ini dimiliki sepenuhnya oleh Gold Silk Holding Limited yang merupakan milik keluarga Sukanto Tanoto.

Dokumen Prospektus Sateri
Dokumen Prospektus Sateri halaman 80 yang menyebutkan Sukanto Tanoto sebegai pengendali perusahaan.(Katadata/Prospektus Sateri)
 

Sateri International juga terhubung dengan DP Macao lewat anak usahanya yakni Sateri Specialty Cellulose Limited. Perusahaan yang tercatat di surga pajak Kepulauan Cayman itu adalah pemilik DP Marketing International Limited — Macao Commercial Offshore alias DP Macao.

Adapun kepemilikan Sukanto pada Toba Pulp Lestari melalui Pinnacle Company Limited. Pinneacle merupakan pemegang 92,4% saham Toba Pulp. Riset Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia pada 2018, menyebut Pinnacle dikuasai sahamnya oleh Blu Diamond Inc yang merupakan perusahaan milik Sukanto.

Namun, Kepala Hubungan Masyarakat PT Toba Pulp Lestari Tbk Norma Patty Handini Hutajulu membantah keterkaitan Toba Pulp dengan Sukanto. “Saat ini tidak ada pemegang saham yang dimaksud tersebut. Mengenai pemegang saham di perusahaan lain, kami tidak mengetahui,” katanya.

Dokumen yang sama juga memperjelas transaksi perdagangan antara tiga perusahaan terafiliasi tersebut. Sateri menyebutkan membeli bahan baku Dissolving Wood atau bubur kayu DW dari Toba Pulp lewat perantara DP Macao yang berkantor pusat di Makau, Tiongkok.

Sateri merupakan perusahaan produsen viscose staple fiber (serat tekstil) kelas dunia yang menggunakan bahan baku Dissolving Wood. Beberapa produk yang dihasilkan Sateri adalah tekstil, serat ban, pernis, kosmetik, hingga farmasi.

Laporan Sateri menyatakan ada kontrak pemasaran yang berlaku eksklusif di mana Toba Pulp menjual mayoritas produknya kepada DP Macao.  Laporan keuangan Toba Pulp juga menyebutkan mereka menjual sebagian besar produknya kepada DP Marketing International, induk dari DP Macao.

Masalahnya, terdapat perbedaan keterangan yang disampaikan Toba Pulp atas jenis produk yang dijual kepada DP Macao. Toba Pulp menyebutkan hanya mengekspor bubur kertas Bleached Hardwood Kraft Pulp (BHKP), bukan bubur kayu Dissolving seperti yang diungkap Sateri.

Bubur kayu Dissolving dan BHKP merupakan dua jenis produk yang berbeda. Bubur kayu DW adalah komponen dasar pembuatan serat rayon untuk tekstil, ban hingga kosmetik.  Adapun BHKP merupakan bahan baku untuk pembuatan kertas.  

Norma mengatakan pembuatan Dissolving Wood maupun BHKP bergantung kondisi dan kebutuhan pasar. Keuntungan yang diperoleh dari transasksi kedua produk itu, kata dia, sangat fleksibel tergantung kondisi pasar dan permintaan pelanggan. “Selisih marginnya juga hampir sama,” kata Norma.

Keterangan berbeda disampaikan mantan Quality Control Manager PT Toba Pulp Lestari, Arlodis Nainggolan. Menurut dia, Toba Pulp lebih sering memproduksi DW ketimbang BHKP.

Sedangkan BHKP diproduksi saat harga jual Dissolving Wood jatuh. Salah satu contohnya ketika India mengalami panen raya tanaman kapuk. “Tergantung permintaan pasar,” ujar Arlondis yang berhenti bekerja sejak awal 2019.

Keterangan Arlondis diperkuat Kepala Balai Besar Pulp dan Kertas Kementerian Perindustrian, Saiful Bahri. Dia menyatakan, di Indonesia hanya ada dua perusahaan yang bisa membuat Dissolving Wood: Toba Pulp Lestari dan Asia Pacific Rayon.

Namun, Asia Pacific Rayon baru memproduksi bubur kayu jenis Dissolving Wood sejak 2017. “Yang paling lama bikin Dissolving Wood itu TPL, dan produk mereka diekspor ke Sateri,” kata Saiful.

Halaman selanjutnya: Dugaan Manipulasi Data Perdagangan

Indonesialeaks

Dugaan Manipulasi Data Perdagangan

Selama periode 2007-2016, Toba Pulp melaporkan ekpor bubur kertas jenis BHKP kepada pemerintah. Laporan ini terekam dalam data  Perkembangan Data Ekspor Hasil Hutan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta laporan ekspor Indonesia di Badan Pusat Statistik. Semua menunjukkan bahwa ekspor bubur kayu Indonesia ke Tiongkok pada periode itu didominasi jenis BHKP, bukan Dissolving Wood.

Perbedaan laporan dapat terlihat dari penggunaan kode klasifikasi barang alias HS Code. Dalam perdagangan internasional, HS Code untuk produk BHKP berbeda dengan DW.

Produk BHKP memiliki HS Code 4703290000 dan bubur kayu DW memiliki HS Code 4702000000. Data Indonesialeaks menemukan bahwa Toba Pulp hingga 2016 mencantumkan HS Code 4703290000 alias BHKP.

Kedua produk memiliki HS Code yang berbeda karena adanya perbedaan harga di pasar internasional. Harga DW sekitar US$ 1 per kilogram atau lebih mahal sekitar 30-40 persen dibanding BHKP.

Maket fasilitas produksi PT Toba Pulp Lestari Tbk di Porsea, Sumatera Utara
Maket fasilitas produksi PT Toba Pulp Lestari Tbk di Porsea, Sumatera Utara (Indonesialeaks)

Dalam laporan keuangan 2008, Toba Pulp menyebutkan menjual 197.100 ton BHKP senilai US$ 115,5 juta ke DP Macao. Sedangkan dalam laporannya Sateri menyebutkan memperoleh bubur kayu DW senilai US$ 139,4 juta dari DP Macao.

Kemudian pada 2009, TPL mencatat penjualan 210.607 ton BHKP senilai US$ 78,8 juta kepada DP Macao. Namun, dari laporan Sateri, distributor yang beralamat di Makau, Tiongkok, ini lalu menjual DW senilai US$ 110,2 juta. 

“Ini terdiri dari penjualan dissolving wood oleh DP Macao ke pelanggan eksternal, terutama yang bersumber dari TPL,” demikian tercantum dalam halaman 153 laporan keterbukaan Sateri 2010 yang dikutip dari bursa Hong Kong.

 
 
 

Data perdagangan BPS sepanjang  2007 hingga 2016, volume ekspor bubur kayu Dissolving dari Indonesia ke Tiongkok hanya 148 ribu ton dengan nilai US$ 98,9 juta atau setara Rp 1,3 triliun. Namun, data perdagangan internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (UN Comtrade), mencatat impor bubur kayu DW dari RI untuk Tiongkok sebesar 1,1 juta ton dengan nilai US$ 1,23 miliar atau sekitar Rp 16,7 triliun. Jadi, ada perbedaan data perdagangan bubur kayu DW senilai Rp 15,4 triliun sepanjang 2007-2016.

Bahkan BPS tidak mencatat adanya ekspor dissolving woods pada tahun 2008, 2011, 2013,2014, dan 2016. Sementara BPS mencatat ekspor BHKP ke Tiongkok dalam periode yang sama mencapai 16,6 juta ton dengan nilai US$ 8,1 miliar alias Rp 11,45 triliun.

Begitu juga dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang tidak pernah mencatat ada ekspor Dissolving Wood dari Toba Pulp sepanjang periode 2013-2016. Kementerian hanya mencatat ekspor BHKP sebanyak 9.120 ton dengan nilai US$ 4,39 juta pada September 2013. Adapun, ekspor BHKP dari TPL pada bulan yang sama tahun 2014 hanya 4.460 ton senilai US$ 2,2 juta.

Berikut grafik perbedaan data perdagangan antara jumlah ekspor DW dari Indonesia ke Tiongkok versi BPS dan data impor produk yang sama ke Tiongkok dari RI menurut versi UN Comtrade:


Manajemen Toba Pulp belum bersedia mengomentari dugaan manipulasi pencatatan ekspor tersebut. Pihak Sateri Holdings Limited pun tidak membalas pertanyaan yang disampaikan via surat elektronik. Salah seorang staf di kantor perwakilannya di Jakarta, menolak memberikan waktu untuk konfirmasi saat didatangi, Kamis dua pekan lalu.

Direktur Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Fadjar Doni Tjahjadi, mengatakan bakal mempelajari dan menelusuri dugaan manipulasi ekspor berupa pelanggaran aspek kepabeanan yang dilakukan Toba Pulp. Yakni memeriksa perbedaan klasifikasi HS Code yang digunakan Indonesia dan Cina, apakah ada unsur kesengajaan untuk menghindari kewajiban.  

“Kalau terjadi sengketa penerapan HS Code, instrumen penyelesaiannya akan dibawa ke World Customs Organization,” kata Fadjar.

Kepala Sub-Direktorat Komunikasi dan Publikasi pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Deni Surjantoro, mengatakan ekspor produk bubur kertas wajib dilengkapi dokumen V-Legal sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33 Tahun 2017.

Dalam dokumen itu, dicantumkan data tentang produk yang akan diekspor, seperti harga, uraian barang, termasuk HS Code. “Dari sisi aturan bea, tidak ada potensi penghindaran kewajiban,” kata Deni.

Namun, dia melihat potensi perbedaan penghitungan pajak badan apabila perusahaan tak melaporkan data perdagangan secara benar. Tapi pelaporan yang tidak benar akan berdampak pada penurunan omzet dan perhitungan pajak badan. Pelanggaran atas aturan itu bisa berdampak sanksi administratif atau pidana.

Perihal potensi pelanggaran pajak, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak enggan menanggapi persoalan tersebut. “Kami terikat oleh aturan yang melarang mengomentari atau menyampaikan data wajib pajak secara spesifik,” ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo.

Berdasarkan data pajak, selama 2016 - 2017 Toba Pulp tak membayar kewajiban pajak penghasilan (PPh) 25/29. Sebab, perusahaan mencatatkan rugi fiskal sebesar US$ 32,02 juta. 

Toba Pulp juga telah mengikuti pengampunan pajak atau tax amnesty pada 27 Maret 2017. Dalam program tersebut, TPL mendeklarasikan harta yang berasal dari luar negeri senilai US$ 367 ribu atau setara Rp 5 miliar. Selain itu mereka membayar uang tebusan sebesar Rp 250 juta.

Adapun PPN yang dihapuskan mencapai US$ 3,786 juta.  Penghapusan PPN ini lalu mereka catat sebagai bagian dari beban pada laporan rugi laba. Artinya, jumlah laba bersih yang dibukukan korporasi tersebut pada 2017 semakin kecil.

Pengamat pajak Yustinus Prastowo mengatakan Ditjen Pajak masih memiliki celah memeriksa setelah perusahaan mengikuti program pengampunan pajak. Apabila deklarasi harta tidak sesuai maka dapat menagih sisa kurang bayar.

Dia mengatakan dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty, pemerintah bisa memberikan sanksi sesuai aturan pajak ditambah 200% denda dari pajak yang tidak dibayarkan. “Apalagi aturan tax amnesty ini mengikat seumur hidup, jadi bisa dikejar terus,” kata Prastowo.

Indonesialeaks

****

Indonesialeaks.id merupakan ikhtiar bersama sejumlah media di Indonesia untuk merespons temuan dan informasi yang berasal dari informan publik. Program yang dirilis sejak dua tahun lalu ini menyediakan ruang kepada siapapun untuk berbagi informasi yang layak ditelusuri melalui kerja-kerja jurnalisme investigasi. Informan boleh merahasiakan identitas dirinya demi alasan keselamatan.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...