Tiga Dimensi dalam Menghitung Kenaikan Cukai Rokok
Belakangan kembali muncul perdebatan mengenai kebijakan cukai hasil tembakau atau rokok. Perdebatan ini selalu berulang hampir tiap tahun saat pemerintah mengambil kebijakan itu.
Kebijakan cukai rokok nantinya akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan, sehingga Kementerian Keuangan melakukan analisis mendalam. Pemerintah menetapkan kebijakan cukai rokok ini dengan memperhatikan tiga dimensi.
Pertama, kebijakan cukai adalah alat mengendalikan konsumsi. Rokok diasosiasikan dengan berbagai penyakit. Namun secara legal tiap orang memiliki hak untuk merokok. Sehingga, pemerintah tidak melarang individu untuk merokok, namun pemerintah harus mengendalikan konsumsinya.
(Baca: Cukai Rokok Naik 23%, Penduduk Miskin Bertambah?)
Pengendalian rokok ini dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Pengendalian konsumsi menjadi penting karena 70% penduduk berjenis kelamin pria merupakan perokok. Sedangkan, pertumbuhan tertinggi kelompok merokok berasal dari kalangan perempuan dan anak-anak. Bila kalangan anak atau remaja telah memulai merokok, sifat rokok yang adiktif akan meningkatkan probabilita mereka merokok sepanjang hidup.
Kedua, kebijakan cukai juga sangat penting bagi perkembangan industri rokok. Industri rokok sangat besar di Indonesia. Beberapa orang terkaya di Indonesia mendapatkan kekayaannya dari hasil tembakau.
Saham rokok juga penting di Bursa Efek Indonesia. Industri besar tentu memiliki keterkaitan tinggi dengan nasib buruh, petani, pedagang, pengecer, bahkan juga pemain bursa dan sektor keuangan. Industri rokok ini juga sangat beragam, dari industri lintingan tangan yang diproduksi di rumah, sampai dengan industri besar yang menggunakan mesin yang sangat canggih.
(Baca: Cukai Rokok Naik Tinggi, Harga Saham Emiten Rokok Rontok hingga 20%)
Berapa total rokok yang diproduksi di Indonesia? Total produksi pada 2018 sebanyak 330 miliar batang setahun. Jumlahnya yang miliaran itu menggambarkan industri ini penting bagi perekonomian Indonesia.
Ketiga, kebijakan cukai juga menentukan penerimaan negara. Dengan memperkirakan kenaikan pendapatan masyarakat, estimasi jumlah produksi rokok, maka ditetapkanlah target penerimaan cukai. Target itu ditetapkan dalam UU APBN, kemudian pemerintah menjalankan APBN.
Kebijakan cukai selalu menimbang tiga dimensi di atas. Misal, pemerintah tidak dapat menurunkan tarif cukai serendah-rendahnya, meskipun kebijakan ini diinginkan oleh industri. Pemerintah masih harus berperan mengendalikan konsumsi, khususnya bagi kepentingan anak-anak dan remaja, sehingga tidak mendorong harga rokok yang murah.
Sebaliknya, tarif cukai rokok tak dapat dinaikkan secara spektakuler. Bila harga rokok mahal dan konsumsi ditekan, akan memberikan dampak buruk ke para pekerja, pedagang, dll. Di samping itu, potensi munculnya rokok illegal juga bakal meningkat tajam.
Pada Jumat pekan lalu (13/9), Presiden Joko Widodo telah memutuskan tarif cukai rokok pada 2020 dinaikkan 23% dan harga jual eceran dinaikkan 35%. Industri rokok protes dengan kenaikan yang dianggap sangat tinggi. Saya menjelaskan, kenaikan ini berbasiskan tarif cukai pada 2018.
Mengapa bukan berbasis tarif 2019? Karena tahun ini tidak ada kenaikan tarif. Jadi, kenaikan tarif sebesar 23% tsb merupakan kenaikan rapel selama dua tahun. Saya juga paham, sebaliknya kelompok anti tembakau juga akan mengatakan: wong tahun ini enggak naik, kenaikan tarif seharusnya lebih tinggi lagi.
(Baca: Pemerintah Harap Cukai Rokok Tinggi Tak Picu PHK Industri Padat Karya)
Tiap tahun kita selalu memperdebatkan kebijakan cukai ini. Perdebatan mengenai kebijakan cukai sifatnya bisa sangat multidimensional. Tidak hanya satu faktor yang dilihat. Tahun ini saya mendapat kehormatan mendapat undangan mengikuti Sidang Kabinet yang membahas kebijakan cukai pada Jumat pekan lalu.
Saya bangga dapat mendengarkan sidang kabinet. Perdebatannya luar biasa komprehensif dari beragam pandang. Semua faktor sensitif ditimbang dan semua kemungkinan diantisipasi. Setelah itu keputusan pun diambil. Implementasi pasti akan menantang, namun dengan proses pengambilan keputusan yang solid, saya optimistis dengan nasib bangsa ini. Semoga Indonesia terus menjadi lebih baik.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.