Soal Tiket ‘Mahal’ dan Nasib Maskapai Nasional
Jalur udara, tak lagi menjadi primadona arus mudik Lebaran tahun ini. Tiket pesawat yang naik sejak kuartal keempat tahun lalu, dirasa mahal.
Untuk mengakomodasi keluhan publik, pemerintah sesungguhnya telah ‘memaksa’ perusahaan maskapai menurunkan tarif. Caranya, tarif batas atas (TBA) tiket diturunkan 12%-16% untuk jenis penerbangan ekonomi yang menggunakan pesawat jet.
Penurunan itu diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019 yang dikeluarkan pada 15 Mei lalu. Aturan baru ini menggantikan Kepmenhub 72/2019 yang diterbitkan sekitar satu setengah bulan sebelumnya (29 Maret 2019).
Dibandingkan kuartal empat 2018, harga tiket domestik untuk Garuda dan Citilink pada kuartal pertama 2019 memang naik signifikan, masing-masing sebesar 15% dan 23%. Begitu pula Sriwijaya Group, yang kini di bawah pengelolaan Garuda. Harga tiket Sriwijaya Air naik 43% dan NAM Air 81%.
Kenaikan itu terlihat jauh lebih tinggi lagi jika dibandingkan dengan kuartal pertama tahun sebelumnya. Garuda naik 46%, Citilink 64%, Sriwijaya Air 97%, dan NAM Air 149%.
Dengan kenaikan setinggi itu, penurunan TBA yang rata-rata sebesar 15% dirasa tak cukup. Banyak tuntutan menginginkan agar harga tiket kembali ke tarif awal, sebelum ada kenaikan. Pertanyaannya, seberapa realistis tuntutan ini?
Suara di kabinet pun terbelah. Menteri Pariwisata Arief Yahya sempat berpendapat, idealnya tarif pesawat Low Cost Carrier (LCC), seperti Citilink dan Lion Air, diturunkan hingga 40%. Alasannya, kenaikan harga tiket telah membuat sejumlah tujuan pariwisata sepi pengunjung.
(Baca: Tiket Pesawat Mahal, Kunjungan Wisatawan Turun Hingga 30%)
Setelah melalui tarik-ulur yang cukup alot, akhirnya dalam rapat koordinasi di Kementerian Perekonomian disepakati penurunan TBA rata-rata 15%.
Pemicu Kenaikan Harga
Harus diakui, kenaikan harga tiket yang cukup drastis dalam periode yang relatif pendek memang menyentak publik. Namun, ada berbagai faktor yang perlu dilihat secara proporsional di balik kebijakan para maskapai ini.
Pertama, stagnasi harga tiket. Perlu diingat bahwa sudah cukup lama harga tiket tidak naik. Seperti dituturkan Direktur Utama Garuda, Arie Askhara, di Komisi VI DPR, TBA tidak pernah dinaikkan sejak 2016. Penyesuaian TBA terakhir dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 14 Tahun 2016.
Kedua, faktor kenaikan biaya. Di tengah stagnasi harga tiket, berbagai elemen yang mempengaruhi biaya operasi maskapai sudah berubah.
Tiga komponen terbesar biaya operasi maskapai adalah bahan bakar avtur (38%), biaya sewa pesawat (26%) dan biaya perawatan atau overhaul (7%). Di luar itu masih ada biaya kebandaraan, seperti airport tax dan sewa hanggar. Lalu faktor kurs rupiah dan suku bunga pinjaman juga berpengaruh.
Dalam kurun tiga tahun (2016-2018) harga minyak dunia berdasarkan harga patokan rata-rata di Singapura atau Mid Oil Plat’s Singapore (MOPS) mengalami kenaikan 63%. Bahkan jika dilihat dari harga terendah (US$ 38 per barel) dan tertinggi (US$ 95 per barel) rentangnya mencapai 151%.
Kurs rupiah juga berpengaruh besar karena terkait impor pengadaan BBM, peralatan, suku cadang maupun sewa pesawat. Dalam kurun 2016-2018, kurs rupiah rata-rata melemah sekitar 9%. Bahkan kurs sempat melejit dari kisaran Rp 13 ribu per dolar AS hingga ke level Rp 15.227 per dolar pada Oktober 2018, yang berarti melemah 17%.
Fenomena serupa terjadi pada suku bunga pinjaman yang membuat beban pembiayaan kian berat. Kenaikannya bisa dilihat dari tiga suku bunga acuan, yakni BI Rate naik 47%, Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) 8,6% dan London Interbank Offered Rate (LIBOR) 266%.
Ketiga, penyelamatan keuangan perusahaan. Kenaikan harga bahan bakar dan gejolak kurs membuat kondisi keuangan semua maskapai tidak dalam kondisi yang prima. Untuk tahun buku 2018, semua maskapai LCC di Indonesia bahkan menderita kerugian. Termasuk PT AirAsia Indonesia Tbk. yang membukukan kerugian sebelum pajak sekitar Rp 1 triliun.
Dalam situasi serba sulit ini, manajemen Garuda pun dituntut untuk bisa menekan kerugian yang terus terjadi. Selain itu, maskapai ini dihadapkan pada kebutuhan pembayaran utang yang jatuh tempo pada kuartal I 2019 senilai US$ 125 juta (sekitar Rp 1,8 triliun).
Dengan adanya kenaikan harga tiket, utang itu akhirnya bisa terbayar. Ditambah dengan berbagai efisiensi, pada kuartal I 2019 lalu Garuda bahkan bisa mengantongi laba sekitar US$ 20 juta (sekitar Rp 290 miliar). Ini tentu saja kabar menggembirakan, setelah bertahun-tahun terus merugi.
Penting juga dicatat bahwa kenaikan harga tiket yang dilakukan oleh Garuda masih di bawah batas maksimum yang ditetapkan pemerintah. Harga tiket yang sebelumnya dipatok di kisaran 70% dari TBA, dinaikkan sekitar 20%-25% menjadi 95%. Jadi, jelas tidak menyalahi aturan.
Keempat, perbandingan dengan moda transportasi lainnya. Harga tiket pesawat jika diperbandingkan dengan tiket kereta api tak jauh berbeda. Padahal, komponen biaya dan tuntutan tingkat keselamatannya jauh lebih tinggi.
Sebagai contoh, untuk rute Jakarta-Yogyakarta, berdasarkan aturan baru TBA maka harga tiket pesawat hanya di kisaran Rp 297-860 ribu (plus biaya lainnya).
Harga itu beririsan dengan tiket Kereta Api kelas eksekutif Jakarta-Yogyakarta, yang berkisar Rp 260-430 ribu. Itu pun dari 24 perjalanan kereta dalam sehari, hanya 6 yang harga tiketnya lebih rendah dari tarif batas bawah (TBB) pesawat kelas ekonomi.
Dengan kata lain, sejumlah tiket kereta api bahkan lebih mahal dari tiket pesawat. Padahal, lama perjalanan yang ditempuh mencapai 7,5-8 jam. Sedangkan pesawat hanya butuh sekitar satu jam penerbangan.
Kelima, perbandingan harga antarnegara. Harga rata-rata per jam penerbangan di Indonesia terbilang paling rendah dibandingkan dengan negara lainnya.
Harga penerbangan domestik di Indonesia per jamnya hanya berkisar Rp 719 ribu. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata di kawasan lainnya, seperti Eropa (Rp 1,17 juta) dan Amerika Serikat (Rp 1,39 juta).
Pada 2017, Indonesia bahkan tercatat sebagai negara dengan harga tiket pesawat domestik terendah keempat dari 80 negara tujuan wisata dunia. Hanya Moldova, Brasil dan India yang berada di bawah Indonesia.
Keenam, keberlangsungan bisnis maskapai. Murahnya harga tiket, tentu saja menguntungkan konsumen. Tapi perlu digarisbawahi, jika nilainya tak lagi mampu menutup biaya operasional maskapai maka akan mengancam kesinambungan bisnis perusahaan dan pada akhirnya juga membahayakan penumpang.
India bisa menjadi salah satu contoh. Dengan harga tiket domestik yang murah, bahkan lebih rendah dari Indonesia, dua maskapai besar di negeri itu kolaps dalam tujuh tahun terakhir, yakni Kingfisher (2012) dan Jet Airways (2019).
Indonesia juga punya catatan buruk soal ini. Dalam dua dasawarsa terakhir, sebanyak 24 maskapai penerbangan domestik gulung tikar. AdamAir, BataviaAir, Merpati, Sempati, Bouraq, Jatayu, WingsAir adalah sebagian dari nama-nama yang kini tinggal menjadi kenangan di langit nusantara.
Terakhir Sriwijaya Air Group diambil alih pengelolaan operasionalnya oleh Garuda Indonesia. Dengan begitu, kompetisi di udara yang tersisa tinggal antara Garuda Indonesia Group (Garuda, Citilink, Sriwijaya), Lion Air Group (LionAir dan Batik Air), dan AirAsia Indonesia asal Malaysia.
Jika kini muncul tuduhan adanya duopoli atau oligopoli, bisa jadi ini justru terbentuk dengan sendirinya. Buah dari kondisi industri penerbangan nasional yang tidak sehat akibat inefisiensi dan perang harga, yang membuat banyak maskapai berguguran.
Di industri pesawat LCC, Air Asia dan Citilink sesungguhnya termasuk maskapai yang berbiaya dan bertarif terendah di dunia. Tapi, penting juga dilihat bahwa kondisi keuangan mereka tidak dalam kondisi segar bugar.
PT AirAsia Indonesia Tbk. tercatat menangguk rugi sebelum pajak sekitar Rp 1 triliun. Sementara itu, PT Lion Mentari Airlines kini bahkan seperti diberitakan kontan.co.id, mengajukan permohonan penundaan pembayaran jasa kebandaraan kepada PT Angkasa Pura I.
Menuju Harga Wajar
Berbagai gambaran di atas menunjukkan bahwa rezim tiket murah sesungguhnya perlu segera diakhiri. Persepsi publik pun perlu digeser menuju harga tiket wajar yang menjamin keberlangsungan bisnis maskapai dan menjamin keselamatan penumpang.
Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2015 lalu sudah menyiratkan perlunya penetapan harga tiket yang lebih realistis. Penentuan harga tiket Garuda dinilai tidak optimal. Lembaga ini juga menekankan, perhatian pada aspek keberlangsungan bisnis amatlah penting, karena pendirian BUMN tak lepas dari usaha mencari laba.
Mengacu pada rekomendasi BPK itu, ada sejumlah hal yang perlu juga dilakukan oleh pemerintah.
Pertama, perlu dilakukan evaluasi terhadap seluruh mata rantai komponen biaya yang membebani industri penerbangan. Salah satunya menyangkut pengadaan avtur yang lebih kompetitif. Antara lain, dengan membuka peluang masuknya pemasok avtur selain Pertamina via tender, seperti yang sudah dilakukan oleh PLN.
Kedua, perlu diciptakan kesetaraan lahan bisnis (equal playing field) di antara para maskapai. Jika perlu, adakan skema insentif atau dana subsidi (public service obligation) untuk layanan maskapai ke daerah-daerah sepi penumpang.
Sebab, menjadi tidak adil, ketika Garuda Group diharuskan beroperasi ke rute-rute sepi penumpang demi menopang program pariwisata, maskapai swasta diperbolehkan hanya beroperasi di jalur-jalur gemuk yang menguntungkan. Tingkat kompetisi menjadi timpang.
Ketiga, pemerintah perlu melakukan pengawasan ketat dan menindak tegas maskapai yang mematok harga tiket secara tidak wajar.
Dengan berbagai langkah itu, diharapkan industri penerbangan nasional bisa dibangun secara sehat dan berkesinambungan. Harga tiket pun secara bertahap akan bergeser menuju harga wajar yang merupakan titik ekuilibrium baru bagi maskapai dan penumpang.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.