Harga Minyak Rendah Menguntungkan Negara Net-importir?
KATADATA - Memprediksi harga minyak, sungguh pekerjaan sulit, dan kadang sering membuat malu. Profesor James Hamilton, profesor ekonomi dari Universitas California, sangat produktif menulis tentang harga minyak di berbagai jurnal dunia. Salah satu tulisan yang dimuat di IAEE Energy Forum, Q4 2014 berjudul “The Changing Face of Crude Oil Markets”. Kesimpulan Prof Hamilton sebagai berikut: “My conclusion is that (the oil price) hundred dollars is here to stay”. Pada saat beliau menulis di Jurnal ini, harga minyak masih di kisaran US$ 100 per barel. Kita tahu harga terus turun empat bulan kemudian bahkan mencapai US$ 40-an per barel.
Prof Hamilton, menurut saya, tidak perlu berkecil hati. Para investment banker pun lebih sering meleset ketika memprediksi harga minyak, bahkan dalam jangka sangat pendek sekali pun (per kuartal) dan mereka tidak pernah kapok. The Wall Street Journal mengumpulkan prediksi satu kuartal ke depan dari para investment banker kelas dunia ini. Mereka yaitu Standard Chartered, ING bank, Commerzbank, Deutsche Bank, UBS, Barclays, Societe Generale, Bank of America, Merrill Lynch, dan Morgan Stanley. Pada kuartal kedua 2015, mereka diminta menebak harga minyak di kuartal ketiga 2015. Pada saat itu tren harga minyak recover dari US$ 40 per barel ke sekitar US$ 60. Berapa di kuartal ketiga 2015? Range prediksi antara US$ 50 – 75 per barel. Kita tahu di Q3 harga minyak terjun kembali ke level US$ 40 per barel dan tidak berhasil mencapai US$ 50 per barel. Singkatnya: semua prediksi salah.
OPEC memperkirakan harga minyak ke depan naik US$ 5 per barel, tahun depan (2016) diasumsikan US$ 60 dan di 2020 mencapai US$ 80. Pada dasarnya OPEC tidak menggunakan kata prediksi, lebih senang menyebut angka-angka tersebut sebagai asumsi yang mereka buat dalam publikasi world oil outlook yang baru dikeluarkan minggu lalu (23 Desember 2015).
IMF membuat berita, yang banyak diposting di media sosial, bahwa harga minyak bisa drop US$ 5 – 15 per barel dengan tambahan produksi Iran seiring dicabutnya sangsi embargo terhadap minyak Iran oleh Amerika Serikat dan Eropa. Terhadap hal semacam ini, harus dibedakan antara pernyataan “harga minyak pada 2016 dapat turun sampai menyentuh US$ x per barel” dan “harga minyak rata-rata sepanjang tahun akan berada pada kisaran US$ y per barel”. Kedua pernyataan tersebut, meskipun kesannya bertolak belakang, dapat menjadi sama-sama benar. Harga minyak setiap hari berubah, bisa saja jatuh sangat rendah di bawah US$ 30. Pertanyaannya, berapa lama?
Selalu menarik untuk mengetes berapa floor-price ketika harga minyak terjun bebas pertengahan 2014 sampai awal 2015. Semua analis sibuk berkomentar dan menebak. Hampir semua memprediksi floor-price tidak akan menyentuh US$ 40 per barel. Benar harga minyak sedikit mengalami recovery, tetapi kembali turun hingga di bawah US$ 40 per barel. Sehingga, tebakan selanjutnya apakah floor-price US$ 30 per barel akan tembus, atau lebih ekstrim seperti US$ 5 per barel sebagaimana disebut IMF. (Note: IMF sebenarnya tidak bilang harga minyak akan US$ 5 – 15 per barel tahun depan, tapi akan turun US$ 5 - 15 per barel di 2016 dibanding 2015. Namun media sosial di tanah air kadung menterjemahkan menjadi US 5 - 15 per barel).
Ketika harga minyak cenderung naik, secara psikhologis para penebak harga minyak cenderung menerka ke angka yang lebih tinggi. Tidak heran ketika pertengahan 2008 pada saat harga minyak mencapai US$ 140 per barel, banyak forecasters yang terpancing untuk memasang angka US$ 200 per barel, bahkan lebih ekstrim US$ 400. Kita tahu itu tidak terjadi. Situasi yang sama ketika harga minyak terjun bebas, secara psikologis analis akan memasang tebakan harga ke bawah (floor-price).
Fiscal Breakeven Price, Breakeven Price, Shut in Price
Ada beberapa istilah yang perlu dipahami ketika kita bicara harga minyak. Pertama, yang disebut fiscal break-even price (FBP) yaitu berapa besar harga minyak yang menghasilkan keseimbangan dalam anggaran dan pendapatan belanja negara. Hal ini penting karena FBP negara produsen, khususnya OPEC, bervariasi. Ada negara yang memerlukan FBP sangat besar seperti Iran dan Venezuela (di atas US$ 100 per barel), ada juga negara OPEC yang tidak perlu FBP besar seperti Qatar dan Kuwait (sekitar US$ 50 per barel).
Negara-negara dengan FBP tinggi cenderung lebih menyukai harga minyak yang tinggi. Sementara negara anggota OPEC dari Timur Tengah cenderung lebih konservatif dalam urusan harga minyak, hal ini didukung oleh FBP mereka yang relatif rendah. Kesenjangan FBP ini akan mempengaruhi suasana konferensi OPEC.
Dalam konteks pengaruh harga minyak terhadap pasokan minyak global, istilah yang lebih pas dan lebih sering digunakan adalah breakeven price (BEP) dan shut in price (SIP). BEP adalah minimum harga minyak yang diperlukan oleh investor ketika memutuskan untuk menambah kapasitas atau untuk mengembangkan lapangan baru. Jadi kata kuncinya adalah investasi baru. Pada awalnya, BEP shale-oil di Amerika Serikat antara US$ 60 - 80 per barel. Namun belakangan estimasi tersebut menjadi terlalu besar karena ketika harga minyak turun, biaya barang dan jasa sektor migas juga turun, konsekuensinya BEP akan turun.
Pada saat ini, BEP shale-oil bervariasi dan diperkirakan US$ 30 – 70 per barel, tergantung lokasi dan karakteristik sub-surface-nya. Ketika harga minyak turun di bawah BEP, apakah produksi atau pasokan shale-oil akan turun? Dalam jangka menengah, di atas satu tahun, jawabannya “ya”. Dalam jangka pendek, kurang dari satu tahun, jawabnya “tidak atau belum akan turun”.
Ketika sumur minyak sudah produksi maka parameter yang relevan bukan lagi BEP, tetapi shut-in price, yaitu harga minyak di mana operator atau perusahaan minyak sudah tidak dapat menutup biaya variablenya sehingga memilih untuk menutup sumur tersebut. Besarnya SIP untuk shale-oil berada di bawah US$ 40 per barel. Hal yang lebih menambah komplikasi adalah bahwa shale-oil berbeda dengan minyak konvensional. Respons produksi terhadap perubahan harga, khususnya kenaikan harga minyak, relatif lebih cepat dibanding minyak konvensional.
Faktor yang Mempengaruhi Harga Minyak
Seperti halnya komoditas lainnya, paling tidak ada empat faktor yang mempengaruhi harga minyak, yaitu: pasokan (supply), permintaan (demand), pasar (market), dan persediaan (inventory). Pasokan akan dipengaruhi oleh harga minyak, produksi OPEC dan non OPEC, geopolitik, biaya kegiatan hulu, teknologi dan lain-lain. Permintaan utamanya akan dipengaruhi oleh harga minyak, pertumbuhan ekonomi, transportasi, cuaca, efisiensi, energi alternatif, subsidi, dan lain-lain.
Pasar dalam hal ini adalah pasar minyak yang sesungguhnya (physical market) maupun pasar finansial (paper market). Physical market bisa dalam bentuk barter, spot, dan kontrak dengan harga yang telah ditetapkan untuk penyerahan kemudian (forward) serta term contract (kontrak berjangka) yang merupakan mekanisme transaksi perdagangan paling banyak digunakan, mencapai 90 – 95 persen dari perdagangan minyak global.
Sedangkan paper market, terkait dengan penggunaaan komoditas minyak sebagai instrumen derivatif di pasar finansial. Pada awal 1990-an, kegiatan di pasar minyak derivatif lebih banyak didorong untuk keperluan aktivitas lindung nilai (hedging) oleh institusi yang terlibat langsung dengan perdagangan minyak. Dengan semakin banyaknya jenis produk di pasar keuangan ini, ditambah prospek untuk memperoleh imbal-hasil yang lebih besar, maka terjadi peningkatan transaksi “minyak kertas” ini, bahkan muncul pula investor yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan aktivitas yang berhubungan dengan minyak maupun hedging.
Pada dasarnya yang dimaksud spekulan adalah kelompok investor yang tidak ada hubungannya dengan transaksi minyak yang sesungguhnya, seperti yayasan pensiun, yayasan atau perusahaan lain yang mengelola dana (endowment funds), dan lain-lain. Transaksi oleh mereka ini dicatat sebagai transaksi non-commercial oleh commodity futures trading commission. Transaksi non-commercial ini dijadikan pendekatan untuk melihat aktivitas spekulan. Analis berusaha mencari hubungan antara aktivitas spekulan dengan kecenderungan harga minyak.
Minyak telah menjadi aset finansial yang menarik bagi pelaku pasar finansial. Dengan demikian, perilaku harga minyak tidak hanya dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran secara fisik saja. Apa yang terjadi di sektor keuangan, seperti perubahan suku bunga oleh Federal Reserve, perubahan nilai tukar dan lain-lain, juga akan berpengaruh terhadap harga minyak.
Faktor keempat yang mempengaruhi harga minyak adalah persediaan (inventory). Negara-negara maju yang bergabung dalam IEA dalam rangka mengantisipasi terputusnya pasokan minyak mewajibkan anggotanya untuk menumpuk persediaan. Masing-masing anggota diwajibkan menyimpan persediaan minyak dan produk turunannya, seperti bensin dan diesel setara dengan volume yang diperlukan minimal 90 hari dari net-impor minyak.
Dengan terjadinya pasokan minyak berlebih belakangan ini, level persediaan yang ada di masing-masing negara anggota IEA sudah jauh di atas persyaratan minimum 90 hari tersebut. Besar kecilnya level persediaan ini akan memberi sinyal pada pasar yang akan berdampak pada harga minyak.
Pendekatan Fundamental
Mekanisme yang umum digunakan untuk memprediksi harga minyak secara tidak langsung (indirectly) adalah melalui pendekatan fundamental, memperkirakan keseimbangan antara pasokan dan permintaan minyak global. Pendekatan ini pada dasarnya hanya memberikan perkiraan kondisi pasokan dan permintaan yang selanjutnya akan memberikan sinyal positif maupun negatif terhadap pergerakan harga minyak. Ketika keseimbangan menunjukkan indikasi kelebihan pasokan, kelebihan tersebut akan ditampung sebagai persediaan (inventory). Situasi ini akan menekan harga minyak ke bawah. Seandainya terjadi hal yang sebaliknya, pasar kekurangan pasokan (kelebihan permintaan), maka level persediaan akan menurun karena digunakan untuk menutupi kekurangan pasokan. Situasi ini memberikan sinyal bahwa pasar ketat yang akan mendorong harga naik. Seberapa besar kenaikan atau penurunannya? Ini pertanyaan sulit karena estimasi keseimbangan pasokan vs permintaan dari beberapa organisasi dan konsultan kondang pun besarnya bervariasi terkadang beda tipis, tidak jarang pula beda ekstrim.
Parameter yang mempengaruhi estimasi keseimbangan pasokan vs permintaan antara lain permintaan minyak global (world oil demand) dalam besaran absolut, pertumbuhan permintaan minyak global (demand growth). Sementara dari sisi pasokan, ada beberapa faktor, yaitu pasokan dari negera non-OPEC, OPEC Natural Gas Liquid/NGL dan non konvensional, serta call-on OPEC.
NGL pada dasarnya adalah komponen hidrokarbon yang terlarut baik dari sumur minyak (associated gas) maupun sumur gas (non-associated gas) yang ikut terproduksi di fasilitas produksi di permukaan. NGL terdiri dari propana, buthana, dan iso-buthana, pentane, dan kondensat. Sementara Call-on OPEC adalah berapa seyogyanya OPEC harus berproduksi untuk membuat tercapainya keseimbangan pasokan dan permintaan, jadi dalam hal ini OPEC dianggap berperan sebagai swing producer.
Besarnya call-on OPEC diperkirakan melalui formula berikut:
Call-on OPEC = World Oil Demand – OPEC NGL & Non Conventional – Non-OPEC Supply
Pada 2016, estimasi global oil demand growth dari hampir semua organisasi seperti OPEC, IEA, dan EIA serta konsultan seperti IHS, Wood McKenzie dan Argus mengalami kenaikan. Besaran estimasi masing-masing berbeda, rata rata sekitar 1,32 juta barel per hari (bph). Dari sisi pasokan minyak dari Negara non-OPEC, semua organisasi dan konsultan tersebut sepakat bahwa non-OPEC supply growth pada 2016 negatif, meskipun besaran estimasinya berbeda beda. Artinya produksi atau pasokan minyak dari negara non-OPEC akan menurun di 2016 rata rata minus 0,33 juta bph. Bandingkan dengan 2015 di mana rata rata pertumbuhan pasokan dari negara non-OPEC positif 1,41 juta bph.
Besaran call-on OPEC berbeda beda. OPEC mengestimasi untuk 2016 sebesar 30,84 juta bph, EIA sekitar 30,69 juta bph, dan IEA sebesar 31,22 juta bph. Artinya, apabila OPEC berproduksi di bawah angka tersebut maka akan menurunkan level persediaan global (permintaan > pasokan) yang diharapkan mendorong kenaikan harga minyak. Sebaliknya, kalau OPEC berproduksi di atas angka tersebut akan terjadi peningkatkan level persediaan global yang cenderung menekan harga minyak. Sebagai catatan, rata rata produksi OPEC di kuartal ketiga 2015 sebesar 31,5 juta bph. Apakah OPEC akan menurunkan produksi atau malah menambah produksi? Khusus dari Iran sehubungan dengan dicabutnya sangsi ekonomi, isu ini salah satu yang akan menjadi kunci keseimbangan pasokan dan permintaan minyak global di 2016. Ini tentunya baru dari sisi pasokan, belum lagi kita bicara ketidakpastian dari aspek permintaan.
Kenapa kali ini lebih pesimistis?
Gonjang-ganjing harga minyak ini bukanlah hal baru. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa kali ini ulasan harga minyak cenderung pesimistis terkait berapa lama era harga minyak rendah ini akan berlangsung? Trigger utama turunnya harga minyak pada dasarnya ada dua, yaitu kelebihan pasokan atau sebaliknya menurunnya permintaan. Ketika terjadi krisis keuangan Asia tahun 1997-an, harga minyak turun. Tahun 2001 harga turun karena melemahnya pertumbuhan ekonomi. Tahun 2008 harga juga turun tajam akibat krisis finansial global.
Dari tiga kejadian tersebut, harga minyak turun dan mengalami recovery dalam waktu singkat. Sebaliknya ketika harga minyak turun drastis di pertengahan tahun 1980-an, yang disebabkan oleh kelebihan pasokan minyak global karena adanya pendatang atau produsen minyak baru seperti UK, US di Teluk Meksiko, Russia, Meksiko, dan Kanada, dunia kelebihan pasokan dan harga minyak rendah berlangsung lumayan lama.
Jadi, pengalaman historis menunjukkan bahwa harga minyak yang turun akibat kondisi ekonomi yang mengakibatkan menurunnya permintaan maka turunnya harga minyak tersebut akan berlangsung relatif singkat. Sebaliknya, ketika isunya kelebihan pasokan maka akan berlangsung lebih lama. Situasi sekarang mirip dengan pertengahan tahun 1980-an di mana muncul produsen baru (shale-oil) dan pada saat yang sama OPEC, dalam hal ini Arab Saudi, memilih tidak menurunkan produksi karena khawatir kehilangan market share.
Harga minyak rendah menguntungkan negara net-importir?
Negara-negara OPEC sangat menderita dengan anjloknya harga minyak global, khususnya negara-negara seperti Venezuela, Nigeria, Aljazair, Ekuador, dan Libya. Negara OPEC dari Timur Tengah juga mengalami defisit anggaran dengan rendahnya harga minyak saat ini. Bedanya, mereka lebih bisa bertahan karena tabungannya (cadangan devisa) relatif besar. Secara umum, harga minyak berpengaruh buruk bagi negara net-eksportir minyak. Sebaliknya, harga minyak rendah baik bagi negara net-importir, termasuk Indonesia.
Namun kesimpulan seperti ini harus disikapi dengan hati-hati. Dalam jangka pendek bisa saja harga minyak rendah baik bagi negara net-importir, namun dalam jangka panjang hal ini bisa menjadi bahaya yang mengancam. Harga minyak yang rendah, dari sisi pasokan akan membuat kegiatan eksplorasi dan produksi menurun, akibatnya produksi nasional cenderung turun dan tambahan cadangan minyak tidak ada. Pada saat yang sama, harga minyak rendah akan mendorong konsumsi yang boros sehingga permintaan akan terus meningkat. Dalam jangka panjang, kesenjangan (gap) antara pasokan atau produksi dengan permintaan/konsumsi akan semakin melebar. Ketika harga minyak nanti meningkat, ketahanan energi nasional menjadi sangat rentan. Mari kita berpikir jangka panjang, bagaimana agar investor tetap antusias melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi, pada saat yang sama mengurangi kosumsi minyak yang boros dan tidak efisien.
*Benny Lubiantara
Mantan analis OPEC 2006 -2013, Pekerja di SKK Migas, Dewan Pakar Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.