Rentetan Kecelakaan Kapal, Sebuah Refleksi

Vincentius Rumawas, PhD
Oleh Vincentius Rumawas, PhD
4 Mei 2021, 09:48
Vincentius Rumawas
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
ABK kapal cepat dan penumpang menyelamatkan korban kecelakaan kapal yang terombang-ambing di perairan Kuala Tungkal, Tanjungjabung Barat, Jambi, Jumat (27/12/2019). Tiga penumpang kapal motor nelayan terjatuh setelah dihantam gelombang tinggi usai keluar beberapa kilometer dari perairan Kuala Tungkal dan mereka berhasil dievakuasi ABK dan penumpang kapal cepat yang sedang melintas.

Kecelakaan Kapal di Indonesia

Tahun 2008 saya mulai meneliti masalah aspek keselamatan kapal ditinjau dari perancangan dan operasional. Tesis saya dilatarbelakangi oleh banyaknya peristiwa kecelakaan kapal di tanah air saat itu.

Dokumentasi yang saya lakukan pada 2010 meliputi KM Digoel yang tenggelam di Laut Arafura pad 2005 dengan 184 korban, KMP Senopati Nusantara hilang di perairan Kalimantan pada 2006 dengan memakan 446 korban, KM Wahai Star tenggelam di Laut Ambon, pada 2007 yang menelan sekitar 100 korban, dan KM Sinar Madinah tenggelam di perairan Dompu, NTB, jumlah korban tidak diketahui.

Lalu KM Asita III tenggelam di Selat Kadatua, sedikitya 66 korban. KM Teratai Prima 0 tenggelam di Tanjung Baturojo pada 2009, setidaknya ada 264 korban. Semua peristiwa melibatkan kapal niaga, bukan kapal Angkatan Laut.

Dua pekan lalu kapal selam KRI Nanggala-402 tenggelam di perairan utara Bali. Sebanyak 53 orang awak dinyatakan gugur saat menjalankan tugas. Lalu, kenangan berbagai temuan selama penelitian kembali hadir dalam ingatan saya.

Faktor Manusia dalam Kecelakaan Kapal

Banyak publikasi yang membahas keselamatan atau kecelakaan kapal di laut menunjukkan bahwa setidaknya 80 % kecelakaan di laut disebabkan oleh kesalahan manusia. Data statistik memperlihatkan bahwa sekitar 50 % kecelakaan di laut diawali oleh kesalahan manusia, sedangkan 30 % sisanya diakibatkan oleh kegagalan manusia untuk menangani situasi di atas kapal untuk menghindari kecelakaan.

Angka 30 % ini dapat diinterpretasikan sebagai kondisi (teknis, organisasi, dll) yang seharusnya dapat ditangani sebelum berkembang menjadi lebih parah.

Banyak ahli menyoroti tingginya faktor (kesalahan) manusia yang berperan terhadap kecelakaan di laut ternyata tidak diimbangi dengan diperhitungkannya faktor manusia saat kapal dirancang. Dibandingkan dengan bidang rekayasa lain yang ada di dunia, dunia rancang bangun kapal merupakan salah satu yang paling tertinggal.

Satu aspek yang memang diperhatikan dalam dunia maritim sejak lama adalah masalah keselamatan (ref: SOLAS). Konvensi masalah pekerja di atas kapal ditetapkan pada 2006 (ref: MLC 2006) sebagai pilar keempat, rangkaian terakhir dari Hukum Maritim Internasional.

Dunia Perkapalan di Tanah Air

Dunia perkapalan di Tanah Air sudah lama berada dalam kondisi terpuruk. Kebanyakan armada kapal di Indonesia bukan merupakan bangunan baru, namun kapal bekas yang dibeli dari negara-negara seperti Korea, Cina, Jepang, Jerman atau negara-negara maritim lain.

Tidak jarang kapal yang dibeli, diganti mesinnya dengan kapasitas yang lebih kecil agar efisien; masuk dari skala ekonomisnya. Penelitian menunjukkan dunia perkapalan kita yang ditandai dengan standar operasi yang rendah, kurang perawatan, tarif rendah, kargo bercampur dengan penumpang, tingkat kesadaran atas keselamatan yang rendah, regulasi yang kurang memadai dan kelebihan muatan.

Model dan Analisis Kecelakaan

Singkat kata, kapal terus-menerus mengalami masalah; baik secara organisasi, dari sisi SDM, maupun kendala teknis. Di perairan terbuka, saat laut tenang berbagai permasalahan yang ada di atas kapal tidak berakhir menjadi bencana.

Kapal dapat beroperasi dengan segala keterbatasannya. Para kru biasanya sudah dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada, dengan berbagai upaya akrobatik dan ‘ngakal’. Intinya bagi mereka, kapal harus jalan.

Saat terjadi eskalasi, misalnya kecepatan angin berubah drastis, laut bergejolak, atau kapal memasuki perairan terbatas, maka risiko terjadi kecelakan akan naik secara dramatis. Kru yang biasanya dapat menangani kondisi darurat dengan tenang dan efektif akan kehilangan sebagian besar peluangnya untuk mempertahankan integritas kapal.

Kondisi Genting

Penelitian masalah operasi kapal yang saya lakukan di Laut Norwegia meliputi kondisi blackout, dan kegagalan sistem dynamic positioning (sejenis autopilot). Untungnya, waktu itu kapal yang mangalami blackout adalah kapal level DP3 yang memiliki redundansi penuh, artinya kapal tersebut memilik dua sistem redundan yang bisa bekerja terpisah satu sama lain. Saat mesin yang satu mati, maka mesin yang lain secara otomatis akan mengambil alih. Dengan kata lain si kapal dirancang dan dibangun untuk ‘menangani’ masalah yang terjadi.

Kegagalan DP di kapal yang lain dialami oleh kru saat kapal sedang merapat di sebuah instalasi bangunan lepas pantai, dan melakukan proses bongkar muat. Kru merasakan gerakan kapal yang tidak normal, kapal bergerak ke arah rig dan bisa mengakibatkan tabrakan. Kru kemudian mengambil alih secara paksa kontrol kapal (dari DP mode) dan bergerak menjauhi rig.

Faktor Penyelamat

Dari dua contoh di atas bisa dilihat bahwa musibah dapat dihindari dengan mengandalkan teknologi, atau kru. Kru yang terlatih, berpengetahuan memadai dan memiliki sikap kerja serta motivasi yang baik akan menjalankan misinya dengan baik. Sedangkan teknologi tentu saja harus dibayar dengan harga yang tidak murah.

Kebetulan saya melakukan penelitian ini di sebuah negara yang makmur dan serius dalam mengembangkan ilmu dan teknologi di bidang kelautan. Apakah musibah benar-benar dapat dihilangkan?

Banyak yang mengatakan hal ini tidak mungkin. Musibah dan bencana itu merupakan bagian dari hukum alam. Namun, tentu saja banyak masalah bisa dicegah sebelum berkembang menjadi bencana. Permasalahannya adalah melakukan analisa yang benar, bagaimana menekan resiko seoptimal mungkin dengan sumbedaya yang terbatas.

Kasus Kecelakaan Frigate di Norwegia

Kecelakaan kapal terakhir yang terjadi di Norwegia melibatkan sebuah kapal frigate KNM Helge Ingstad yang tenggelam November 2018 akibat bertabrakan dengan kapal tanker Sola TS. Helge Ingstad resmi mulai beroperasi sejak September 2009.

Laporan investigasi kecelakaan menyebutkan bahwa kru kapal yang berjaga saat itu kurang berpengalaman, kurang memiliki pelatihan yang memadai sehingga gagal mengambil tindakan yang dibutuhkan saat terjadi kondisi darurat. Masalah prosedur dan pengorganisasian di kapal juga mendapat sorotan.

Informasi lengkap, termasuk laporan investigasi kecelakaan dan rekaman video Helge Ingstad detik-detik sebelum terjadinya tabrakan dapat ditemukan di berbagai media. Namun, perlu untuk difahami bahwa kapal perang memiliki budaya dan aturan yang berbeda dengan kapal secara umum. Informasi yang ditampilkan ke publik kemungkinan besar sudah melewati proses penyaringan yang berlapis-lapis.

Faktor yang Mempengaruhi Risiko

Penelitian menunjukkan risiko kecelakaan akan naik secara signifikan saat kru kapal mendapat penugasan yang tidak umum, atau baru, atau mengalami perubahan signifikan dalam operasi. Misalnya berlayar di wilayah yang belum pernah dikunjungi, melakukan misi yang belum pernah dilakukan sebelumnya, menggunakan peralatan baru, atau bekerja dengan rekanan yang baru.

Tekanan eksternal yang berlebihan juga menjadi faktor yang menaikkan eskalasi, misalnya mengejar jadual atau target operasi. Tidak jarang cuaca yang kurang mendukung dan lingkungan laut yang kurang ramah memberikan tekanan tambahan bagi kru di kapal.

Baca halaman selanjutnya: Faktor Penyebab Kecelakaan Kapal

Faktor Penyebab Kecelakaan Kapal

Tesis saya menyoroti lemahnya faktor manusia dipertimbangkan dalam urusan perancangan dan pengadaan kapal secara umum. Temuan di lapangan banyak sekali menunjukkan aspek teknis di atas kapal yang kurang memperhatikan kepentingan kru.

Contoh sederhana misalnya tombol kontrol atau katup yang harus dioperasikan oleh kru yang diletakkan di luar jangkauan rata-rata orang normal (aspek ergonomis). Contoh kesalahan lain yang ditemui di lapangan adalah desain auto pilot (masalah man-machine interaction). Sistem autopilot dirancang sedemikian rupa sehingga pada saat autopilot diaktifkan, kru tidak mendapat umpan balik yang jelas apakah sistem sudah aktif atau belum. Demikian pula sebaliknya.

Beberapa kasus kecelakaan kapal di Laut Utara terjadi karena ketidakjelasan status ini. Awak kapal tidak menyadari kalau kapal masih berada dalam modus autopilot. Kapal berlayar mengarah ke sebuah instalasi lepas pantai. Setelah dekat kru terkejut dan berusaha melambatkan laju kapal dengan menarik tuas kontrol ke belakang.

Namun, autopilot saat itu tidak dirancang dengan fungsi yang secara otomatis meng-non-aktif-kan autopilot ketika diintervensi secara manual. Sebaliknya, sistem beranggapan bahwa kru berkeinginan untuk menambah kecepatan. Tercatat setidaknya tiga kecelakaan terjadi di Laut Norwegia dalam periode 2004 – 2009 akibat kelemahan desain ini.

Berbeda dengan dunia penerbangan sipil, misalnya, satu kecelakaan langsung digunakan sebagai suatu pembelajaran, dan peraturan langsung bisa dirubah seketika dalam hitungan hari. Gambaran serupa dapat ditemui di dunia eksplorasi migas lepas pantai yang sangat ketat dalam mengatur selain keselamatan juga kesehatan dan kesejahteraan pekerjanya setelah peristiwa kecelakaan Alexander L Kielland tahun 1980 yang memakan korban 123 orang.

Di dunia perkapalan aturan tidak mudah berubah. Butuh waktu setidaknya enam tahun, melibatkan tiga kecelakaan yang kurang lebih sama di lokasi yang kurang lebih sama sampai akhirnya aturan yang berkaitan dengan masalah desain autopilot dirubah.

Mempertimbangkan Faktor Manusia

Salah satu kritik yang saya telusuri dalam penelitian saya adalah lemahnya input dari kru saat kapal dirancang. Banyak laporan yang menyoroti kapal yang dibangun tanpa masukan sedikit pun dari para kru.

Untungnya, Norwegia memiliki budaya yang sangat egalitarian dan relatif tidak feodal, di mana jarak antara pemilik kapal dan kru relatif dekat. Kru kapal yang saya temui sangat terlibat dalam proses perancangan dan pembuatan kapal yang mereka operasikan.

Sebelum pemilik kapal menandatangani kontrak pembelian kapal kru diajak berdiskusi dan bersama-sama pihak galangan menentukan spesifikasi desain yang optimum. Kru mengikuti pembangunan kapal sejak peletakan lunas (keel laying) sampai kapal diserahterimakan. Jadi kru benar-benar mengenali kapalnya luar dalam.

Sebagai perbandingan di tanah air, saya teringat pernah mewawancarai kru yang dikirim dari Surabaya ke Jepang untuk menjemput kapal bekas yang dibeli oleh perusahaannya, tanpa ada penjelasan atau program orientasi yang memadai. Kru seakan dipaksa untuk harus bisa mengoperasikan kapal saat itu juga.

Bisa dibayangkan risiko yang mereka hadapi. Bahkan tanda/tand petunjuk yang ada di atas kapal masih menggunakan tulisan Kanji. Lebih parah lagi, kapal yang dibeli ini kemudian digunakan untuk melayani alur pelayaran yang berbeda dengan peruntukan awalnya.

Masalah pertimbangan manusia dalam rancang bangun kapal dapat dibedakan dalam banyak aspek: safety, habitability, controllability, workability, manoeuvrability, survivability, health dan maintainability.

Dari semua aspek ini, masalah perawatan kapal (maintainability) biasanya menempati urutan paling bawah dari sisi penilaian kru. Artinya, kru merasa paling tidak puas atau merasa frustrasi bila berhubungan dengan masalah pemeliharaan kapal. Seringkali kru harus jungkir balik, merangkak, memanjat, berada dalam posisi berisiko, untuk mencapai tempat-tempat yang sulit di mana pemeriksaaan dan perawatan harus dilakukan. Belum lagi ketidakjelasan sistem dan situasi yang mereka harus hadapi.

Kru kapal juga sering dihadapkan pada masalah keterbatasan peralatan, suku cadang, material, termasuk bahan bakar dan dukungan lain-lain dari darat. Merupakan suatu ‘anugerah’ bila organisasi pendukung di darat benar-benar selaras dan mau memperjuangkan kebutuhan kru di laut. Tidak jarang terjadi miskomunikasi dan perbedaan persepsi terutama dalam menentukan prioritas. Yang paling menyedihkan bila masih ada pihak-pihak yang berusaha mengambil keuntungan dari situasi ini.

Aturan Masalah Faktor Manusia dalam Rancang Bangun Kapal

Sejauh ini sayangnya tidak terlihat ada perkembangan yang signifikan di dunia perkapalan untuk meningkatkan keseriusan dalam memperhatikan aspek manusia dalam rancang bangun kapal. Pengetahuan dan teknologi yang berkaitan memang maju pesat. Dokumen-dokumen yang membahas aspek manusia yang diterbitkan oleh IMO dan berbagai biro klasifikasi bertambah secara eksponensial dalam dekade terakhir.

Namun tidak ada aturan yang dapat memaksa seorang pemilik kapal untuk tidak mengoperasikan sebuah kapal yang rawan kecelakaan, yang tidak nyaman untuk dioperasikan (panas, bau, ribut, bergetar dan gerakannya yang mudah membuat orang mabuk laut), rumit, keandalannya rendah, kurang ‘user-friendly’ dan sulit dikendalikan.

Banyak yang sudah berteriak dan mengkritisi hal ini, menyalurkan aspirasi para pelaut, namun industri perkapalan tampaknya tidak bergeming. Waktu ide ini dipresentasikan kepada rekan-rekan galangan di tanah air, tampaknya masih jauh panggang dari api.

Galangan seyogyanya mengikuti permintaan pemilik kapal. Seringkali mereka tidak memiliki sumberdaya untuk beradaptasi dengan hal-hal baru seperti ini. Sedangkan bagi kebanyakan pemilik kapal, bisa bertahan hidup saja sudah baik.

Masa Depan Kapal

Di kutub yang lain, perkembangan teknologi kapal dewasa ini sedemikian cepat mencakup automatisasi, digitalisasi dan autonomi yang menyebabkan keterlibatan kru kapal menjadi semakin kecil. Jumlah kru yang harus bekerja di laut akan menyusut, dan pada satu titik bukan tidak mungkin kapal akan beroperasi tanpa awak, atau dikendalikan dari jauh.

Kapal tanpa awak sudah mulai diujicobakan pada jenis-jenis kapal tertentu, misalnya kapal roro yang dari sisi kru kapal dianggap suatu pekerjaan yang membosankan. Demikian pula dengan kapal kargo muatan curah dengan kecepatan rendah.

Contoh aplikasi lain adalah kapal tanpa awak (unmanned surface vessel) yang digunakan oleh Angkatan Laut untuk melakukan patroli. Kapal tanpa awak dapat melaut dalam periode waktu yang relatif panjang tanpa harus berlabuh, dan juga dalam kondisi cuaca kurang menguntungkan. Satu keuntungan lain, dalam kondisi genting atau berbahaya, awak kapal dijauhkan dari bencana.

Penutup

Saya percaya bahwa kelak Indonesia akan sampai pada titik di mana kita tidak perlu lagi mempertaruhkan nyawa putra-putri terbaik bangsa kita di laut. Sebelum sampai pada kondisi tersebut, dibutuhkan satu keberanian untuk berkata tidak, untuk menghentikan suatu operasi saat kondisi yang dialami sudah melewati batas toleransi.

Prosedur sederhana ini misalnya diberlakukan di dunia eksplorasi migas; siapa pun yang melihat, menyaksikan atau menilai suatu kegiatan tidak aman berhak dan wajib menghentikan aktivitas tersebut.

Semper fortis, Semper paratus, Semper fidelis, Semper ad meliora.
(Always courageous, Always prepared, Always faithful, Always towards better things)

Jalesveva Jayamahe

Vincentius Rumawas, PhD
Vincentius Rumawas, PhD
Dosen purna Fakultas Teknologi Kelautan, ITS Surabaya Meraih gelar PhD bidang Perancangan dan Operasi Kapal Ditinjau dari Faktor Manusia dari Norwegian University of Science and Technology

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...