Rentetan Kecelakaan Kapal, Sebuah Refleksi
Faktor Penyebab Kecelakaan Kapal
Tesis saya menyoroti lemahnya faktor manusia dipertimbangkan dalam urusan perancangan dan pengadaan kapal secara umum. Temuan di lapangan banyak sekali menunjukkan aspek teknis di atas kapal yang kurang memperhatikan kepentingan kru.
Contoh sederhana misalnya tombol kontrol atau katup yang harus dioperasikan oleh kru yang diletakkan di luar jangkauan rata-rata orang normal (aspek ergonomis). Contoh kesalahan lain yang ditemui di lapangan adalah desain auto pilot (masalah man-machine interaction). Sistem autopilot dirancang sedemikian rupa sehingga pada saat autopilot diaktifkan, kru tidak mendapat umpan balik yang jelas apakah sistem sudah aktif atau belum. Demikian pula sebaliknya.
Beberapa kasus kecelakaan kapal di Laut Utara terjadi karena ketidakjelasan status ini. Awak kapal tidak menyadari kalau kapal masih berada dalam modus autopilot. Kapal berlayar mengarah ke sebuah instalasi lepas pantai. Setelah dekat kru terkejut dan berusaha melambatkan laju kapal dengan menarik tuas kontrol ke belakang.
Namun, autopilot saat itu tidak dirancang dengan fungsi yang secara otomatis meng-non-aktif-kan autopilot ketika diintervensi secara manual. Sebaliknya, sistem beranggapan bahwa kru berkeinginan untuk menambah kecepatan. Tercatat setidaknya tiga kecelakaan terjadi di Laut Norwegia dalam periode 2004 – 2009 akibat kelemahan desain ini.
Berbeda dengan dunia penerbangan sipil, misalnya, satu kecelakaan langsung digunakan sebagai suatu pembelajaran, dan peraturan langsung bisa dirubah seketika dalam hitungan hari. Gambaran serupa dapat ditemui di dunia eksplorasi migas lepas pantai yang sangat ketat dalam mengatur selain keselamatan juga kesehatan dan kesejahteraan pekerjanya setelah peristiwa kecelakaan Alexander L Kielland tahun 1980 yang memakan korban 123 orang.
Di dunia perkapalan aturan tidak mudah berubah. Butuh waktu setidaknya enam tahun, melibatkan tiga kecelakaan yang kurang lebih sama di lokasi yang kurang lebih sama sampai akhirnya aturan yang berkaitan dengan masalah desain autopilot dirubah.
Mempertimbangkan Faktor Manusia
Salah satu kritik yang saya telusuri dalam penelitian saya adalah lemahnya input dari kru saat kapal dirancang. Banyak laporan yang menyoroti kapal yang dibangun tanpa masukan sedikit pun dari para kru.
Untungnya, Norwegia memiliki budaya yang sangat egalitarian dan relatif tidak feodal, di mana jarak antara pemilik kapal dan kru relatif dekat. Kru kapal yang saya temui sangat terlibat dalam proses perancangan dan pembuatan kapal yang mereka operasikan.
Sebelum pemilik kapal menandatangani kontrak pembelian kapal kru diajak berdiskusi dan bersama-sama pihak galangan menentukan spesifikasi desain yang optimum. Kru mengikuti pembangunan kapal sejak peletakan lunas (keel laying) sampai kapal diserahterimakan. Jadi kru benar-benar mengenali kapalnya luar dalam.
Sebagai perbandingan di tanah air, saya teringat pernah mewawancarai kru yang dikirim dari Surabaya ke Jepang untuk menjemput kapal bekas yang dibeli oleh perusahaannya, tanpa ada penjelasan atau program orientasi yang memadai. Kru seakan dipaksa untuk harus bisa mengoperasikan kapal saat itu juga.
Bisa dibayangkan risiko yang mereka hadapi. Bahkan tanda/tand petunjuk yang ada di atas kapal masih menggunakan tulisan Kanji. Lebih parah lagi, kapal yang dibeli ini kemudian digunakan untuk melayani alur pelayaran yang berbeda dengan peruntukan awalnya.
Masalah pertimbangan manusia dalam rancang bangun kapal dapat dibedakan dalam banyak aspek: safety, habitability, controllability, workability, manoeuvrability, survivability, health dan maintainability.
Dari semua aspek ini, masalah perawatan kapal (maintainability) biasanya menempati urutan paling bawah dari sisi penilaian kru. Artinya, kru merasa paling tidak puas atau merasa frustrasi bila berhubungan dengan masalah pemeliharaan kapal. Seringkali kru harus jungkir balik, merangkak, memanjat, berada dalam posisi berisiko, untuk mencapai tempat-tempat yang sulit di mana pemeriksaaan dan perawatan harus dilakukan. Belum lagi ketidakjelasan sistem dan situasi yang mereka harus hadapi.
Kru kapal juga sering dihadapkan pada masalah keterbatasan peralatan, suku cadang, material, termasuk bahan bakar dan dukungan lain-lain dari darat. Merupakan suatu ‘anugerah’ bila organisasi pendukung di darat benar-benar selaras dan mau memperjuangkan kebutuhan kru di laut. Tidak jarang terjadi miskomunikasi dan perbedaan persepsi terutama dalam menentukan prioritas. Yang paling menyedihkan bila masih ada pihak-pihak yang berusaha mengambil keuntungan dari situasi ini.
Aturan Masalah Faktor Manusia dalam Rancang Bangun Kapal
Sejauh ini sayangnya tidak terlihat ada perkembangan yang signifikan di dunia perkapalan untuk meningkatkan keseriusan dalam memperhatikan aspek manusia dalam rancang bangun kapal. Pengetahuan dan teknologi yang berkaitan memang maju pesat. Dokumen-dokumen yang membahas aspek manusia yang diterbitkan oleh IMO dan berbagai biro klasifikasi bertambah secara eksponensial dalam dekade terakhir.
Namun tidak ada aturan yang dapat memaksa seorang pemilik kapal untuk tidak mengoperasikan sebuah kapal yang rawan kecelakaan, yang tidak nyaman untuk dioperasikan (panas, bau, ribut, bergetar dan gerakannya yang mudah membuat orang mabuk laut), rumit, keandalannya rendah, kurang ‘user-friendly’ dan sulit dikendalikan.
Banyak yang sudah berteriak dan mengkritisi hal ini, menyalurkan aspirasi para pelaut, namun industri perkapalan tampaknya tidak bergeming. Waktu ide ini dipresentasikan kepada rekan-rekan galangan di tanah air, tampaknya masih jauh panggang dari api.
Galangan seyogyanya mengikuti permintaan pemilik kapal. Seringkali mereka tidak memiliki sumberdaya untuk beradaptasi dengan hal-hal baru seperti ini. Sedangkan bagi kebanyakan pemilik kapal, bisa bertahan hidup saja sudah baik.
Masa Depan Kapal
Di kutub yang lain, perkembangan teknologi kapal dewasa ini sedemikian cepat mencakup automatisasi, digitalisasi dan autonomi yang menyebabkan keterlibatan kru kapal menjadi semakin kecil. Jumlah kru yang harus bekerja di laut akan menyusut, dan pada satu titik bukan tidak mungkin kapal akan beroperasi tanpa awak, atau dikendalikan dari jauh.
Kapal tanpa awak sudah mulai diujicobakan pada jenis-jenis kapal tertentu, misalnya kapal roro yang dari sisi kru kapal dianggap suatu pekerjaan yang membosankan. Demikian pula dengan kapal kargo muatan curah dengan kecepatan rendah.
Contoh aplikasi lain adalah kapal tanpa awak (unmanned surface vessel) yang digunakan oleh Angkatan Laut untuk melakukan patroli. Kapal tanpa awak dapat melaut dalam periode waktu yang relatif panjang tanpa harus berlabuh, dan juga dalam kondisi cuaca kurang menguntungkan. Satu keuntungan lain, dalam kondisi genting atau berbahaya, awak kapal dijauhkan dari bencana.
Penutup
Saya percaya bahwa kelak Indonesia akan sampai pada titik di mana kita tidak perlu lagi mempertaruhkan nyawa putra-putri terbaik bangsa kita di laut. Sebelum sampai pada kondisi tersebut, dibutuhkan satu keberanian untuk berkata tidak, untuk menghentikan suatu operasi saat kondisi yang dialami sudah melewati batas toleransi.
Prosedur sederhana ini misalnya diberlakukan di dunia eksplorasi migas; siapa pun yang melihat, menyaksikan atau menilai suatu kegiatan tidak aman berhak dan wajib menghentikan aktivitas tersebut.
Semper fortis, Semper paratus, Semper fidelis, Semper ad meliora.
(Always courageous, Always prepared, Always faithful, Always towards better things)
Jalesveva Jayamahe
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.