Penguatan Kedaulatan Negara di Udara: Refleksi Kasus Natuna - Minsk

Ridha Aditya Nugraha
Oleh Ridha Aditya Nugraha
27 Mei 2021, 10:25
Ridha Aditya Nugraha
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Kai Pfaffenbach /WSJ/ Pesawat mendarat di bandara saat matahari terbenam dimana para wisatawan yang kembali diwajibkan memiliki hasil uji COVID-19 negatif dengan penyebaran penyakit akibat virus corona masih berlanjut di Frankfurt, Jerman, Senin (29/3/2021).

Ruang udara merupakan medium penting bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Seiring perkembangan teknologi kedirgantaraan, kini kesejahteraan suatu negara semakin bergantung akan pemanfaatan medium ini.

Letak geografis Indonesia yang strategis menjadikan ruang udara sebagai persimpangan lalu lintas dunia. Efisiensi penerbangan komersial rute Asia dan Eropa menuju Australia, Selandia Baru, dan Oseania tidak luput dari peran ruang udara Indonesia.

Sebagai gambaran, Uni Soviet pernah menutup ruang udaranya selain untuk kepentingan nasional. Alhasil, beberapa penerbangan sipil dari Eropa menuju Asia Timur dan sebaliknya perlu memutari Kanada dan Samudra Atlantik.

Kasus lain belum lama terjadi ialah blokade ruang udara beberapa negara Arab terhadap maskapai Qatar. Mereka harus menanggung tambahan biaya operasional selama beberapa tahun. Imbas lain, Doha Hamad International Airport (DOH) kehilangan momentum untuk memaksimalkan ekspansi sebagai salah satu hub dunia penghubung Asia-Afrika-Eropa.

Dunia penerbangan sipil (komersial) berupaya hal semacam ini tidak terjadi kembali.

Indonesia juga sempat menutup ruang udara nasional bagi pesawat negara (state aircraft) Israel pada 2017 silam. Pesawat yang membawa PM Benjamin Netanyahu rute Singapura-Australia harus memutari Malaysia-Filipina-Papua Nugini sehingga memakan waktu perjalanan lebih lama. Pasal 1 the Chicago Convention of 1944 mengizinkan suatu negara berdaulat menutup ruang udara, baik terhadap pesawat negara (state aircraft) maupun sipil (civil aircraft) asing.

Berkaca dari beberapa kasus tersebut, pelanggaran wilayah udara merupakan salah satu isu krusial bagi Indonesia. TNI Angkatan Udara mencatat 165 pelanggaran wilayah udara dalam kurun Januari hingga Juni 2019. Motifnya beragam, dari itikad buruk hingga ketidaktahuan pilot.

Pada 14 Januari 2019, pesawat kargo Ethiopian Airlines ETH 3728 yang merupakan penerbangan tidak berjadwal (non-scheduled flight) rute Addis Ababa – Hong Kong diintersepsi hingga dipaksa mendarat di Bandara Internasional Hang Nadim Batam oleh dua pesawat tempur F-16 TNI Angkatan Udara. Alasannya ialah memasuki wilayah udara Indonesia tanpa izin, sebelum diperbolehkan terbang kembali pada 17 Januari 2019.

Berbicara yang terakhir tidak luput dari situasi terkini di mana pengelolaan sebagian ruang udara Indonesia - tepatnya di atas Kepulauan Riau dan Natuna - dikelola Singapura. Sejarahnya panjang dan pengelolaan ruang udara tersebut diamanatkan kembali ke tangan Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 1/2009 tentang Penerbangan paling lambat tahun 2024. Tentunya target ini tidak lepas dari keseriusan politik pemerintah mengingat kompleksnya isu hukum-politik-pertahanan-dan ekonomi di baliknya.

Kehadiran Peraturan Pemerintah No. 4/2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara (“PP Pamwilud”) tiga tahun lalu membuka babak baru penegakan hukum di udara. Instrumen ini memberikan landasan bagi TNI Angkatan Udara dan Kementerian Pertahanan dalam bertindak. PP Pamwilud turut mengacu kepada Annex 2 the Chicago Convention of 1944 dengan memuat hak dan prosedur pesawat tempur TNI Angkatan Udara dalam melakukan intersepsi hingga pendaratan paksa (force down) pesawat asing di wilayah udara nasional.

Di atas kertas, kedaulatan Republik Indonesia di udara semakin kuat. Sanksi administrasi maksimum Rp 5 miliar menanti setiap pelanggar wilayah udara - baik pesawat sipil maupun negara.

Ketentuan Pasal 11(1) PP Pamwilud ini menaikkan besaran denda administrasi dari hanya Rp 60 juta. Berbicara soal jumlah, denda administrasi memang telah naik berkali-kali lipat. Sayangnya tidak tertera angka minimum sehingga memungkinkan pelanggar wilayah udara lolos dengan nol rupiah.

Sebelumnya, praktik pengenaan denda administratif ternyata tidak sejalan dengan biaya yang dikeluarkan negara untuk mengerahkan pesawat tempur TNI Angkatan Udara. Sebagai contoh, dibutuhkan dana sekitar Rp 400 juta untuk operasional pesawat tempur Sukhoi selama satu jam. Besar kemungkinan biaya operasional yang dikeluarkan dalam proses intersepsi jauh lebih besar dibandingkan denda administratif.

Upaya penegakan kedaulatan sendiri memang tidak didasarkan pada hitungan untung-rugi semata. Namun, setiap sen uang rakyat dalam bentuk anggaran negara harus dipertanggungjawabkan dengan baik.

Pemerintah dapat mempelajari Act on Treatments against Aircraft Committing Unlawful Acts yang diberlakukan Thailand sejak 2010. Section 22 mengatur perihal biaya intersepsi dan/atau  operasi penghancuran pesawat yang mencakup biaya operasional untuk, i.) pemeriksaan dan identifikasi; ii.) intersepsi; iii.) pemindahan pesawat; iv.) penyimpanan pesawat beserta segala benda dan alat bukti terkait; v.) penggunaan senjata untuk menghancurkan pesawat; dan vi.) biaya lain sesuai peraturan menteri terkait.

Singkat kata seluruh biaya operasional wajib dibayar pelanggar, jika tidak penyitaan hingga lelang pesawat menanti (https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika/article/view/66701/39337).

Kedepannya, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertahanan, TNI Angkatan Udara, beserta para pemangku kepentingan terkait perlu duduk bersama guna menyempurnakan hukum positif. Ini secara khusus mengacu kepada sinkronisasi Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 78/2017 dan PP Pamwilud.

Hal itu terkait, (i) pembagian kewenangan serta hak TNI AU, inspektur penerbangan, dan PPNS; (ii) perhitungan mendetail biaya intersepsi dan pendaratan paksa; dan (iii) denda administratif secara lebih detail berdasarkan tingkat kesalahan. Operator bandara perlu dilibatkan sehubungan potensi kehilangan pemasukan dengan dialihkannya pendaratan beberapa maskapai ke bandara lain.

Perihal lain tidak kalah penting ialah menanamkan pemahaman bahwa penguatan kedaulatan negara tidak hanya berbicara modernisasi dan penambahan alutsista, tetapi juga urgensi penguasaan hukum udara bagi penerbang TNI Angkatan Udara. Pemahaman akan esensi Pasal 3bis the Chicago Convention of 1944 yang mengharamkan penembakan terhadap penerbangan sipil perlu diperdalam melalui lokakarya (teori) maupun latihan tempur (praktik).

Jangan sampai penerbang TNI Angkatan Udara mengulang tragedi kemanusiaan penembakan pesawat sipil Korean Air Lines 007 (1983) yang dilakukan pesawat tempur Uni Soviet dengan memakan sekitar 250 korban jiwa. Potensi serupa dapat tercipta seandainya konflik Laut Cina Selatan terbawa sampai ke ruang udara - dengan skenario menjumpai pesawat sipil yang tersesat hingga pesawat tempur atau patroli maritim asing tidak bersenjata.

Pada Juli 2020, pesawat tempur F-15 Amerika Serikat mengintersepsi penerbangan sipil Mahan Air Flight 1152. Pesawat tersebut kemudian melakukan drop sejauh 2.000 kaki dalam waktu kurang dari semenit. Akibatnya sejumlah penumpang terluka sehingga mendorong Pemerintah Iran mengajukan protes kepada International Civil Aviation Organization (ICAO).

Pihak Amerika Serikat menanggapi bahwa jarak kisaran 1.000 kaki antara F-15 dengan Mahan Air dianggap cukup untuk bermanuver dengan aman. Namun, tergolong dekat bagi pesawat sipil komersial sehingga memicu alarm pada cockpit Mahan Air. Perbedaan perspektif penerbangan sipil-militer perlu digarisbawahi berkaca pada insiden ini.

Ujian terakhir terhadap lingkup Pasal 3bis the Chicago Convention of 1944 atas nama kedaulatan negara di udara terjadi pada Mei 2021 di langit Belarusia. Upaya pengangkapan jurnalis oposisi dengan dalih ancaman bom berujung kepada intersepsi pesawat Ryanair Flight 4978 rute Athena-Vilnius.

Penerbangan sipil tersebut dipaksa berbelok oleh pesawat tempur bersenjata lengkap sesaat sebelum meninggalkan ruang udara Belarusia kemudian dipaksa mendarat di Bandara Minsk. Menjadi pengandaian apa yang akan dilakukan pesawat tempur tersebut seandainya pilot Ryanair tidak menuruti perintah karena paham isu politik. Pasal 3bis dipergunakan dalam konteks terdapat potensi ancaman fisik - umumnya bukan kepada penerbangan sipil berjadwal (non-scheduled flight), dan bukan isu politik.

Terlepas rontoknya bisnis penerbangan global akibat pagebluk Covid-19, tidak dipungkiri abad ini merupakan era penerbangan sipil. Kasus intersepsi penerbangan Mahan Air dan Ryanair perlu menjadi bahan evaluasi TNI Angkatan Udara, terutama pemisahan tegas antara isu pertahanan dan keamanan dengan politik.

Akhir kata, upaya pengamanan wilayah udara nasional erat bersinggungan dengan norma dan hukum internasional. Urgensi sinergi TNI Angkatan Udara, Kementerian Pertahanan, Kementerian Perhubungan, dan operator bandara dengan akademisi berkeahlian spesifik hukum udara sungguh nyata dan perlu segera ditingkatkan.

Ridha Aditya Nugraha
Ridha Aditya Nugraha
Ketua Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...