Covid-19 (Bukan) Force Majeure?

Rio Christiawan
Oleh Rio Christiawan
17 Juli 2021, 11:00
Rio Christiawan
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Petugas medis mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap melakukan pendataan pasien Covid-19 yang menunggu di pelataran untuk mendapatkan tempat tidur perawatan di IGD RSUD Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu, (23/6/2021). Sejak awal bulan Juni 2021 atau setelah libur lebaran hingga saat ini lonjakan pasien positif Covid-19 terus terjadi sehingga rumah sakit kewalahan dan kehabisan tempat perawatan.

Pada saat infeksi Covid-19 pertama kali diumumkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), para pelaku bisnis dan ahli hukum sepakat virus corona merupakan kondisi kahar atau force majeur. Kondisinya dapat dikatakan genting mengingat kala itu Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Aturan tersebut kemudian disahkan dalam Undang Undang Nomor 2 tahun 2020. Selain itu, Presiden juga menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional.

Pada 2020, memang Covid-19 dapat dikatakan sebagai force majeur, selain ditetapkan sebagai pandemi di hampir semua negara. Virus corona muncul tanpa prediksi. Artinya, mengacu pada syarat ‘best effort’ guna terpenuhinya penetapan status kahar, maka memang tepat Covid -19 disebut force majeur bagi terhambatnya berbagai macam aktivitas perekonomian. Demikian juga dengan status force majeur di  2020, maka Covid-19 dapat menjadi alasan yang dibenarkan oleh hukum atas tidak terlaksananya berbagai macam kontrak bisnis maupun hal lainnya yang telah diperjanjikan.

Sebagaimana diketahui hingga memasuki semester II-2021 pandemi corona belum mereda di Indonesia, bahkan pemerintah kembali menerbitkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021  Tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali terakhir diubah dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2021. Kondisi ini menunjukkan bahwa Covid-19 terjadi secara berkepanjangan di Indonesia.

Lalu, pertanyaan mendasarnya adalah apakah Covid -19 masih dipandang sebagai force majeur pada saat ini?

Covid-19 pada 2021

Memang dengan hadirnya varian Delta membuat ancaman Covid-19 lebih parah tahun ini, khususnya pada paruh kedua. Namun,secara hukum status Covid-19 seharusnya bukan lagi menjadi force majeur saat ini. Kondisinya yang berkepanjangan dan jika ditetapkan sebagai force majeur akan menyebabkan dampak yang serius pada berbagai macam sektor. Secara hukum seharusnya saat ini virus corona bukan lagi menjadi force majeur mengingat kondisi yang berkepanjangan telah diketahui dengan ‘best effort’ sejak pertama kali kasusnya muncul di Indonesia pada 2020.

Demikian juga pertambahan kasus positif hingga dampak Covid-19 juga telah banyak diketahui secara ilmiah sehingga secara hukum virus corona bukanlah termasuk dalam kriteria force majeur yang dapat mengesampingkan pelaksanaan sebuah perjanjian. Khususnya jika perjanjian itu dibuat pada masa pandemi Covid-19. Jika ukuran force majeur mengacu pada tiga ukuran yang disampaikan Joseph Perillo (2006), yakni physical impossibility, frustation of purpose, dan commercial impracticability, maka kondisi ini berlaku pada 2020. Tapi tidak untuk saat ini.

Akan sangat berbahaya sekali jika Covid-19 ditetapkan dalam status force majeur untuk jangka waktu yang lama. Memang hingga saat ini masih ada beberapa sektor yang terdampak  berserta akibat turunannya, seperti masih tingginya angka pemutusan hubungan kerja atau PHK. Namun, secara hukum force majeur dimaknai sebagai sebab yang memaksa,  tidak dimaknai sebagai dampak atas suatu peristiwa yang telah terjadi. Meskipun secara hukum pembuktian force majeur tidak terlepas dari hubungan condition sine qua non (relasi sebab-akibat).

Jika force majeur atas kondisi Covid-19 ditetapkan dalam jangka waktu yang panjang (termasuk hingga saat ini), maka, selain tidaklah tepat secara hukum, juga menyebabkan ketidakpastian ekonomi. Kondisi ini berpotensi disalahgunakan oleh para pihak yang beritikad tidak baik untuk memanfaatkan situasi, misalnya debitur beritikad tidak baik yang memanfaatkan status force majeur untuk rescheduling atau restrukturisasi pembayaran yang mengakibatkan terganggunya likuiditas perbankan.

Muray Kaloh (2008) menjelaskan, pada dasarnya kondisi force majeur tidak boleh ditetapkan dalam kurun waktu yang lama, mengingat sebab yang tidak terduga berdampak pada tidak terlaksananya perjanjian. Artinya, jika sebab dan kondisi penyebab tidak terlaksananya perjanjian sudah dapat diketahui, maka hal tersebut bukanlah force majeur. Demikian juga kondisi force majeure berkepanjangan akan membuat ketidakpastian pelaksanaan perjanjian.

Dalam hal ini, mengingat telah terbitnya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional, maka pemerintah perlu mencabut dan menyempurnakan substansi dari Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 mengingat frasa kata bencana akan merujuk pada kondisi force majeur. Pemerintah perlu menyempurnakan substansi Keppres tersebut sehingga meskipun terjadi situasi darurat tapi di tahun ini Covid-19 tidak lagi dapat dikategorikan sebagai force majeur.

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 memiliki konsekuensi yang luas secara hukum. Dengan Covid-19 yang terjadi dalam durasi yang panjang, Keppres tersebut perlu disesuaikan, mengingat berbeda kondisinya antara tahun lalu dan 2021. Dunia internasional juga mengakui Covid-19 tepat dikategorikan sebagai force majeur. Namun, dengan perkembangan di 2021 menunjukkan, virus corona tidaklah tepat dikategorikan sebagai force majeur karena telah disadari dan dapat diperediksikan secara ilmiah oleh berbagai otoritas.

Saat ini klaim Covid-19 sebagai force majeur atas tidak terpenuhinya perjanjian perlu diklarifikasi lebih lanjut terkait penyebab dan saat dibuatnya perjanjian tersebut. Jika perjanjian tersebut dibuat pada 2020 (setelah pandemi) maupun jika sebab tidak terpenuhinya perjanjian tersebut adalah sesuatu yang sudah dapat diketahui dan diprediksikan sebelumnya, maka kondisi tersebut bukan lagi force majeur.

Guna menghindari perbedaan tafsir maupun polemik yang berkepanjangan mengenai berlakunya kondisi force majeur sehubungan dengan situasi Covid-19, maka pemerintah perlu menegaskan kondisi saat ini melalui perubahan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020. Dengan demikian kondisi Covid-19 tidak lagi dapat dieksploitasi oleh pihak yang beritikad tidak baik dengan alasan virus corona merupakan kondisi kahar yang tidak dapat dihindari sehingga pemenuhan perjanjian tidak dapat terlaksana.

Rio Christiawan
Rio Christiawan
Dosen Program Studi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya, Spesialisasi Hukum Lingkungan dan Agraria
Editor: Sorta Tobing

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...