Dampak Moderasi Kebijakan The Fed bagi Ekonomi Indonesia
Bank sentral AS, the Fed akhirnya memoderasi kebijakan moneternya yang sangat agresif. Komite pasar terbuka the Fed (FOMC) memutuskan hanya menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps ke 4,25%-4,50% pekan lalu.
Keputusan ini sejalan dengan pola historis, di mana the Fed akan mengetatkan kebijakan moneter hingga biaya pembiayaan lebih tinggi dibandingkan inflasi. Pada awal pekan lalu biaya kredit kepemilikan rumah di AS, bentuk kepemilikan dengan jaminan yang paling umum di AS, telah melewati 7%. Angka ini hampir setara dengan inflasi sebesar 7,1%.
Kebijakan moneter ketat the Fed berdampak meningkatkan sinyal resesi global beberapa bulan terakhir. Seperti terlihat di data PMI dan pemesanan ekspor baru (new export orders) AS dan dunia yang memburuk. Ini dibarengi dengan ambruknya indeks harga produsen (producer price index/PPI).
Namun kelesuan ini belum meresap ke dalam pasar tenaga kerja. AS mengklaim angka pengangguran rendah dan pertumbuhan upah yang masih tinggi. Kemungkinan besar perlu waktu beberapa bulan kelesuan di sektor manufaktur merembet ke pasar tenaga kerja.
Di sisi lain, penuaan masyarakat AS dan upah reservasi yang lebih tinggi dapat mengurangi peningkatan pengangguran dibandingkan siklus resesi 2008-2009.
Faktor global juga mendukung penurunan tren inflasi. Harga minyak dan komoditas global merosot. Ini seiring dengan penetapan pembatasan harga minyak Rusia oleh negara G7. Namun faktor yang kian penting adalah pelemahan permintaan global.
Pelonggaran restriksi Covid-19 di Tiongkok malah menyebabkan pelemahan permintaan pada jangka pendek. Penyebaran virus kian mendisrupsi aktivitas konsumen dan bisnis. Inventori barang yang menumpuk di Tiongkok dan penurunan biaya kargo laut global juga akan meningkatkan deflasi barang.
Namun, dampak perkembangan global terhadap perekonomian dan inflasi dalam negeri diprediksi minim. Harga BBM domestik belum akan berubah seiring penurunan harga minyak global.
Stok makanan yang masih cukup dan fenomena La Nina mengurangi inflasi makanan. Sementara dampak depresiasi rupiah diimbangi oleh penurunan harga barang produksi Tiongkok dan penurunan harga kargo laut.
Di sisi lain perkembangan global dan kebijakan the Fed yang lebih longgar memengaruhi pasar finansial global. Pasar saham akan melanjutkan sentimen “bull market” setelah performa terburuk sejak krisis finansial.
Sementara itu pelonggaran kebijakan the Fed dibarengi dengan inflasi yang masih tinggi akan meningkatkan kinerja pasar surat berharga, terutama yang imbal hasilnya di atas inflasi.
Situasi ini akan menguntungkan Indonesia. Pasar yang “bullish” akan semakin mencari negara dengan prospek pertumbuhan yang baik. Ini cocok dengan fundamental perekonomian Indonesia: pertumbuhan ekonomi domestik yang solid, inflasi rendah, dan kelas menengah yang kian meningkat.
Pasar surat berharga akan menjadi pemenang utama. Imbal hasil riil (nominal kurang inflasi) surat berharga Indonesia masih yang tertinggi di antara negara-negara dengan rating setara, karena inflasi yang rendah.
Tren penguatan pasar surat berharga diperkuat dengan terbatasnya penerbitan surat berharga pada 2023. Realisasi pengeluaran negara yang masih di bawah target, akibat keterlambatan penyerapan anggaran dan peningkatan penerimaan, menyebabkan saldo anggaran lebih pemerintah meningkat.
Alhasil akan mengurangi kebutuhan pemerintah untuk menerbitkan surat berharga baru. Imbal hasil surat berharga pun diprediksi menurun, terutama yang jangka pendek. Pengeluaran untuk pembayaran bunga utang juga berkurang, terutama setelah kesepakatan “burden sharing” dengan BI berakhir.
Dari sudut pandang neraca pembayaran, kinerja ekspor yang menurun akibat lesunya harga komoditas akan diimbangi oleh aliran modal asing dan stabilitas nilai tukar rupiah. Malahan aliran dana asing menjadi obat yang lebih ampuh dibandingkan surplus dagang yang masih tinggi.
Kondisi ini memberikan keleluasaan Bank Indonesia menentukan kebijakan moneter yang lebih akomodatif bagi perekonomian. Absennya ancaman langsung pada kebijakan moneter–inflasi yang relatif rendah dan rupiah yang stabil— memungkinkan BI hanya menaikkan suku bunga 25 bps pada rapat dewan gubernur mendatang.
Kebijakan moneter yang kian akomodatif menjadi modal yang penting untuk mendukung perekonomian pada 2023. Tahun depan Indonesia diprediksi menjadi salah satu titik terang di tengah kelamnya perekonomian global yang didorong oleh tumbuhnya investasi dan ekspor. Sektor swasta akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi tahun depan.
Konsumsi domestik diperkirakan belum akan bergairah. Kenaikan harga BBM pada September lalu yang mendorong kenaikan harga lanjutan membuat tabungan masyarakat menipis. Sementara pengeluaran pemerintah diprediksi melemah seiring tren konsolidasi fiskal dan kelonggaran burden sharing dengan BI berakhir.
Indonesia harus memanfaatkan peluang yang ada untuk menarik investasi asing sebesar besarnya. Pemerintah juga harus meyakinkan sektor swasta untuk berinvestasi dan mengeluarkan tabungannya.
Langkah ini tidak harus dilakukan dengan skema promo insentif pajak atau dengan peraturan baru. Namun dapat dilakukan dengan memberikan kepastian dan kejelasan hukum, terutama omnibus law dan KUHP yang terbaru. Dengan ini investor dan pengusaha akan tidak lagi ragu berinvestasi dan menggerakan perekonomian.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.