Kenaikan Harga Emas, Pertanda Resesi Global Berikutnya?
Akhir akhir ini harga emas global kembali meningkat dengan cukup cepat. Per 21 January 2023, harga emas global telah mencapai US$ 1.926 per troy ounce, meningkat 15% dan tertinggi sejak Oktober 2022. Sebaliknya, harga aset finansial lain, seperti saham dan surat berharga, mengalami koreksi yang cukup tajam.
Kenaikan harga emas kali ini berbeda dari periode kenaikan harga emas pada umumnya. Emas yang merupakan asset tak berbunga (non interest bearing asset) biasanya menarik di era suku bunga rendah. Namun, sekarang kita berada di permulaan era suku bunga tinggi. The Federal Reserve, bank sentral AS bahkan memproyeksi suku bunga acuan jangka panjangnya masih tinggi.
Ekspektasi pasar sangat berbeda dari proyeksi The Fed. Pasar memperkirakan perlambatan ekonomi AS dan global yang terjadi akan memicu resesi global yang cukup dalam dan memicu The Fed untuk kembali pivot menuju quantitative easing (QE).
Ini akan kembali meningkatkan pamor aset tak berbunga dan spekulatif seperti mata uang digital (cryptocurrency). Ekspektasi pasar ini juga meningkatkan ketertarikan akan aset emerging economies, antara lain rupiah yang menguat cukup tajam.
Memang dari data terakhir perekonomian AS melambat dengan cukup signifikan. Ini dapat dilihat dari laju inflasi AS yang terus menurun diakibatkan pelemahan aktivitas konsumsi dan industri diiringi dengan penurunan harga properti dan penjualan ritel.
Namun, indikator pasar tenaga kerja AS, yang menjadi acuan utama The Fed, masih terlampau baik, menyebabkan kemungkinan “Fed pivot” masih cukup kecil.
Ketidaksinkronan antara pasar dan Fed juga menyebabkan kebingungan pelaku pasar akan proyeksi dolar AS ke depan. Hal ini menyebabkan pelemahan yang cukup tajam dari puncaknya beberapa bulan lalu. Ini juga menyebabkan penguatan aset safe haven selain dolar AS, antara lain emas dan yen Jepang.
Selain itu ada faktor-faktor lain yang juga mendukung kenaikan emas yang cukup tajam ini. Secara teknis harga emas sudah mencapai bottom dan tinggal menunggu pemicu untuk recovery. Selain itu, terdapat permintaan yang cukup besar dari bank sentral di seluruh dunia, terutama Tiongkok dan India, untuk membeli emas untuk cadangan devisa. Ini sesuai dengan tren de-dolarisasi dan diversifikasi yang terjadi akibat sanksi AS pada aset dolar AS bank sentral Rusia.
Faktor geopolitik global juga berperan. Pada saat ini persaingan geopolitik antara AS dan Tiongkok agak melempem seiring dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Untuk sekarang sepertinya blok AS dan negara-negara Barat masih dominan.
Contoh yang paling jelas adalah implementasi pembatasan harga (price cap) minyak Rusia yang dipatuhi secara global dan nihilnya intervensi Tiongkok di pasar asuransi maritim. Namun, persaingan yang tajam dapat kembali muncul dalam cara-cara yang tak terprediksi.
Kita harus mewaspadai dampak resesi global yang mungkin mempunyai dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia. Resesi akan menekan harga dan permintaan komoditas andalan RI, terutama batubara dan minyak kelapa sawit. Ini dapat memperburuk kinerja ekspornya yang sudah menunjukan perlambatan sejak beberapa bulan lalu dan menyebabkan peningkatan angka pengangguran.
Selain itu, resesi global akan juga menekan jumlah wisatawan asing yang datang ke Indonesia, kembali menekan industri parawisata yang baru agak bangkit dari pukulan pandemi Covid-19.
Selain itu, perlu juga diwaspadai pada permulaan resesi global terjadi kemacetan sistem finansial global secara sementara, seperti yang terjadi di bulan-bulan pertama pandemi Covid-19. Ini disebabkan oleh perkembangan dinamika perekonomian global yang kian cepat yang belum sempat di respon oleh kebijakan moneter The Fed yang masih ketat.
Pada masa masa kemacetan temporer ini volatilitas pasar keuangan global kemungkinan besar akan sangat tinggi dan meningkatkan tekanan pada rupiah, bursa efek, dan surat berharga pemerintah.
Namun, setelah Fed kembali melonggarkan kebijakan moneter dan kembali ke era quantitative easing, volitilitas pasar keuangan akan menurun. Ini akan memicu kembali aliran dana asing ke pasar modal RI. Pada khususnya surat berharga RI menjadi kian menarik karena keterbatasan penerbitan surat berharga pemerintah dan inflasi domestilk yang rendah mempertahkan real rate differentials.
Likuditas global yang meningkat juga dapat melancarkan rencana investasi asing yang mengalir ke sektor-sektor tertentu, seperti pertambangan dan manufaktur. Ini dapat membantu mendukung stabilitas rupiah dikala devisa ekspor menyusut akibat resesi.
Untungnya fundamental perekonomian domestik RI diperkirakan masih cukup baik didorong oleh konsumsi dalam negeri yang kuat dan investasi dalam negeri. Daya beli masih cukup kuat, ditandai oleh inflasi yang lebih tinggi di bulan Desember lalu. Lalu, data pendapatan dan hutang dari perusahaan swasta yang terdaftar di bursa efek menunjukan kemampuan sektor swasta untuk bertumbuh masih signifikan. Perekonomian RI diperkirakan masih dapat bertumbuh disekitar 4% pada 2023, bahkan bila resesi global memburuk.
Perekonomian juga didukung oleh kerja sama kebijakan fiskal dan moneter yang pas. Kebijakan fiskal pemerintah mendukung pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran bantuan sosial (bansos) bansos dan subsidi , walaupun lebih kecil dari tahun sebelumnya.
Sementara itu, Bank Indonesia mengadopsi stance moneter yang konservatif menghadapi ketidakpastian global yang kian tinggi. Bank sentral juga mengeluarkan kebijakan inovatif, antara lain menerbitkan time deposit khusus untuk eksportir yang dapat meningkatkan suplai valas domestic, memberi dukungan pada nilai tukar rupiah.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.