Konsep Green Swan dalam Tantangan Perubahan Iklim

Benita Dian Purnamasari
Oleh Benita Dian Purnamasari
16 Mei 2024, 17:08
Benita Dian Purnamasari
Katadata/Bintan Insani
Benita Dian Purnamasari-Asisten Manajer Bank Indonesia
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Dalam menghadapi ancaman perubahan iklim, konsep 'green swan' atau 'angsa hijau' muncul sebagai metafora untuk menyoroti dampak yang tak terhindarkan dari perubahan iklim terhadap perekonomian global.

Istilah ini dipopulerkan oleh Bank for International Settlements pada Januari 2020 sebagai pemikiran yang sebanding dengan konsep 'black swan' yang diperkenalkan oleh Nassim Nicholas Taleb, yang merujuk pada peristiwa yang langka, berdampak besar, dan sulit diprediksi. Berbeda dengan 'black swan' yang melambangkan kejutan negatif, 'green swan' menggambarkan prediksi resesi ekonomi yang akan datang yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Dampak Ekonomi dari Perubahan Iklim

Perubahan iklim dianggap sebagai salah satu risiko paling signifikan dalam jangka menengah hingga panjang, namun kesadaran akan dampak perubahan iklim masih terbilang rendah. Peningkatan suhu global mengakibatkan perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem semakin sering terjadi, berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.

Perubahan iklim meningkatkan intensitas bencana alam, mengancam keberlangsungan hidup, dan mengganggu aktivitas ekonomi. Contohnya, pada 2021, luas kebakaran hutan di Indonesia meningkat sebesar 20,85% dibandingkan tahun sebelumnya, menyebabkan polusi udara yang merugikan kesehatan penduduk dan negara-negara di sekitarnya.

Pada Juni 2022, banjir rob di Semarang mencapai ketinggian hingga satu meter, merusak kendaraan dan mengganggu aktivitas di Pelabuhan Tanjung Emas. Perubahan iklim juga berdampak pada stabilitas moneter dan sistem keuangan melalui risiko fisik dan transisi.

Risiko transisi terkait dengan investasi, ekspor, dan akses keuangan juga menjadi perhatian. Biaya transisi menuju ekonomi rendah karbon cukup besar, termasuk hilangnya kesempatan investasi, hambatan ekspor, keharusan impor produk hijau, dan keterbatasan akses keuangan global.

Kebijakan atau standar global seperti hambatan impor, pajak karbon perusahaan, pajak karbon pada pembiayaan, dan pajak batas karbon merupakan faktor risiko transisi. Di Indonesia, beberapa contoh risiko transisi termasuk penerapan pajak karbon oleh Uni Eropa terhadap perusahaan Eropa dan rantai pasokan mereka, pembatasan impor kelapa sawit yang tidak memenuhi standar internasional, dan risiko ESG yang tinggi bagi bank-bank Indonesia yang terkait dengan sektor kelapa sawit.

Namun, transisi menuju ekonomi rendah karbon juga membawa peluang investasi hijau yang signifikan di Indonesia, terutama dalam sektor infrastruktur dan energi baru dan terbarukan, yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Manfaat transisi ekonomi berkelanjutan meliputi penghematan emisi gas rumah kaca, pertumbuhan PDB yang berkelanjutan, perlindungan hutan, penciptaan lapangan kerja hijau, dan pemulihan nilai jasa ekosistem.

Dalam menghadapi tantangan dan peluang ini, langkah-langkah kebijakan yang holistik dan berkelanjutan diperlukan untuk mengurangi risiko perubahan iklim dan memanfaatkan potensi transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan. Ini termasuk peningkatan kesadaran masyarakat, investasi dalam teknologi hijau, pembentukan kebijakan yang mendukung, dan kolaborasi lintas sektor dan negara untuk mencapai tujuan bersama dalam mengatasi perubahan iklim

Kebijakan Makroprudensial Hijau: Strategi Bank Sentral dalam Menangani Risiko Perubahan Iklim

Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, semua pihak, termasuk bank sentral, memiliki peran yang penting. Perubahan iklim tidak hanya berkaitan dengan kelestarian lingkungan, tetapi juga memengaruhi stabilitas sistem keuangan.

Bank sentral harus mampu menanggapi risiko fisik dan transisi yang muncul akibat perubahan iklim. Risiko fisik meliputi kerusakan lingkungan akibat cuaca ekstrem, sementara risiko transisi berkaitan dengan perubahan struktural dalam perekonomian, seperti pergeseran dari energi fosil ke energi terbarukan.

Untuk menghadapi tantangan ini, bank sentral telah mengimplementasikan kebijakan makroprudensial hijau. Kebijakan ini mencakup berbagai instrumen, seperti rasio kredit hijau, uji stres iklim, dan rasio pinjaman terhadap nilai aset hijau. Instrumen-instrumen ini dirancang untuk mempengaruhi keputusan investasi dan alokasi kredit sektor keuangan agar lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Investasi hijau di sektor infrastruktur dan energi terbarukan memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru. Untuk mengoptimalkannya, dibutuhkan dukungan keuangan dan kebijakan yang tepat.

Sektor perbankan memiliki peran kunci dalam mendukung transisi ke ekonomi rendah karbon, salah satunya dengan meningkatkan pembiayaan hijau dan mendorong praktik bisnis yang ramah lingkungan menjadi fokus utama. Karena itu, bank harus mempertimbangkan risiko lingkungan dan emisi karbon debitur dalam penyaluran kredit. Selain itu, kebijakan makroprudensial hijau harus dioptimalkan sebagai landasan untuk mengelola risiko perubahan iklim dalam sistem keuangan.

Inisiatif Bank Indonesia dalam Mendukung Transisi Hijau

Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah konkret untuk mendukung transisi ke ekonomi rendah karbon. Dengan mengintegrasikan inisiatif hijau ke dalam kebijakan eksisting dan meluncurkan kebijakan makroprudensial hijau. Bank Indonesia berupaya memitigasi risiko perubahan iklim dan mendorong sektor keuangan untuk berperan aktif dalam transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Inisiatif keuangan hijau yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) juga mencakup upaya untuk memperkuat pendalaman pasar uang hijau. Hal ini dilakukan melalui berbagai langkah, termasuk pengembangan portofolio Certificates of Advance Deposits (CADEV) dengan penambahan kepemilikan obligasi hijau per September 2021. Investasi BI pada Environmental, Social, and Governance (ESG) Bonds mencapai angka sekitar US$ 5,4 miliar, yang mencakup sekitar US$ 1,7 miliar dalam bentuk green bonds.

Pasar uang diperdalam melalui pengembangan Surat Berharga Komersial (SBK) hijau, pendalaman repo hijau, dan pendalaman derivatif hijau. Studi awal menunjukkan bahwa diperlukan pengembangan infrastruktur dan lembaga pendukung, seperti lembaga rating, verifikator, dan taksonomi, untuk mendukung langkah-langkah ini. Operasi moneter dilakukan dengan melakukan asesmen dan kajian terkait perluasan eligible collateral dalam operasi moneter, termasuk penggunaan obligasi hijau sebagai instrumen moneter.

BI aktif dalam mendorong praktik bisnis yang ramah lingkungan di kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Sebagai tulang punggung perekonomian nasional, UMKM didorong untuk bertransformasi menjadi bisnis yang ramah lingkungan.

Hal ini diwujudkan melalui berbagai kolaborasi dan koordinasi dengan pelaku UMKM hijau, serta melalui pelaporan yang menunjukkan praktik bisnis yang ramah lingkungan, seperti praktik zero waste dalam rantai nilai bisnis berbasis ekonomi sirkular, pengembangan energi berkelanjutan, dan pembiayaan hijau untuk UMKM.

Bank Indonesia juga berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat dan memperkuat kapasitas teknis terkait keuangan hijau. Berbagai kegiatan seperti diskusi, seminar, dan workshop diadakan untuk memperkuat kesadaran dan inisiatif terkait keuangan hijau.

Ini meliputi forum diskusi tentang strategi nasional menuju ekonomi rendah karbon, seminar tentang risiko transisi, serta kegiatan sosialisasi dan peluncuran buku terkait ekonomi hijau dan inklusif.

Di level internasional, Bank Indonesia berperan aktif dalam berbagai forum, seperti Sustainable Finance Working Group G20, ASEAN Senior Level Committee Task Force on Sustainable Finance, dan FSB Network for Greening the Financial System. Melalui forum-forum ini, Bank Indonesia terlibat dalam berbagai inisiatif global untuk memetakan kebijakan keuangan hijau, memperkuat kredibilitas komitmen swasta, dan memperluas keuangan berkelanjutan di ASEAN dan global.

Mengoptimalkan Green Financing

Untuk mengoptimalkan potensi green financing, diperlukan upaya bersama antara regulator, lembaga keuangan, dan sektor swasta. Bank Indonesia telah melakukan berbagai langkah, seperti memberikan insentif dan kelonggaran bagi bank untuk meningkatkan pembiayaan hijau. Namun, masih diperlukan upaya lebih lanjut dalam meningkatkan kesadaran dan kapasitas teknis serta mengatasi kendala-kendala yang ada dalam penerapan green financing.

Perubahan iklim adalah tantangan global yang membutuhkan respons kolektif dari semua pihak. Bank sentral, sebagai garda terdepan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, memiliki peran yang sangat penting dalam menghadapi risiko perubahan iklim. Dengan mengimplementasikan kebijakan makroprudensial hijau dan mendukung transisi ke ekonomi rendah karbon, bank sentral dapat menjadi katalisator bagi perubahan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Benita Dian Purnamasari
Benita Dian Purnamasari
Asisten Manajer Bank Indonesia
Editor: Dini Pramita

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...