Belenggu Oversupply Listrik atas PLN

Alexandra Aulianta
Oleh Alexandra Aulianta
24 Juni 2024, 18:06
Alexandra Aulianta
Katadata/Bintan Insani
Peneliti energi terbarukan di Trend Asia
Button AI Summarize

Di tengah angka kebutuhan listrik yang terus naik dan komitmen transisi energi yang sedang gencar diupayakan oleh Indonesia, Perusahaan Listrik Negara (PLN) berperan krusial sebagai satu-satunya distributor listrik di Indonesia. Emisi pembangkit listrik sebagai penghasil gas rumah kaca tertinggi saat ini akan berdampak langsung dengan masyarakat sebagai korban krisis iklim maupun pengguna secara bersamaan.

Sumber energi terbarukan seperti PLTS menjadi alternatif nyata dari energi kotor yang selama ini digunakan. Namun ironisnya, inisiatif itu pun kerap “tersandung” kepentingan PLN, khususnya perihal masalah oversupply yang sudah menghantui PLN selama lebih dari satu dekade.

Selain itu, terutama beberapa tahun terakhir, PLN tengah diterpa beberapa kabar kurang mengenakkan. Kondisi keuangan yang mengkhawatirkan–di akhir 2019, utang PLN mendekati angka 500 triliun, membengkaknya tagihan listrik beberapa orang secara mendadak, serta masalah oversupply yang menjadi titik awal permasalahan tak kunjung selesai adalah beberapanya.

Sebetulnya, seburuk apakah “belenggu PLN” mempengaruhi inisiatif energi terbarukan di Indonesia?

Oversupply Sebagai Kambing Hitam

Sebagai konteks, Indonesia merupakan negara yang sangat bergantung pada energi fosil tinggi emisi karbon. Indonesia merupakan produsen batubara terbesar keempat di dunia dan mayoritas sumber energi listriknya berasal dari batubara.

Ironisnya, sebagai negara kepulauan tropis, Indonesia juga sangat rentan terhadap dampak krisis iklim. Indonesia berkepentingan langsung menghindari krisis iklim untuk menghindari naiknya permukaan laut, krisis pangan, bencana hidrometeorologi, dan berbagai kerusakan lain.

Namun dalam upaya transisi energi untuk menghadapi ancaman ini, masalah oversupply kerap dijadikan alasan atas permasalahan yang dihadapi PLN. Bukan hanya terkait keengganan mengadopsi energi terbarukan, tetapi juga perihal kerugian finansial triliunan yang berpengaruh pada kerugian negara.

Oversupply sendiri adalah kondisi kelebihan pasokan listrik yang tidak diseimbangkan dengan permintaan. Kelebihan listrik ini harus ditampung dalam jaringan PLN. Sebenarnya, hal ini tidak sepenuhnya buruk, terutama untuk menjaga ketersediaan dan ketahanan pasokan listrik di Indonesia. Sayangnya, kondisi oversupply bukan membawa keuntungan, malah justru menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi indonesia.

Per Juni 2023, reserve margin atau cadangan daya listrik PLN pada sistem Jawa-Bali sebesar 44%, interkoneksi Kalimantan 57%, Sumatera 24%, Lombok 37% dan Sulawesi Selatan 25%. Secara total, oversupply di Indonesia mencapai angka 6 GW. Melihat angka-angka ini, sebagian orang mungkin berpikir: “Kalau begitu, mengapa tidak mengurangi kapasitas pembangkitan listriknya saja?”

Sayangnya tidak semudah itu. Ada skema take-or-pay yang mewajibkan PLN membeli listrik dari pembangkit swasta atau IPP (Independent Power Producer) baik mereka diserap konsumen ataupun tidak.

Skema ini mulai digunakan sejak krisis ekonomi 1998 untuk menarik investor agar membangun pembangkit listrik di Indonesia. Namun skema ini kebablasan hingga kini. Dalam kondisi oversupply, PLN harus tetap membeli listrik IPP secara masif. Diperkirakan, PLN akan merugi sekitar Rp 3 triliun per GW listrik yang tidak terpakai. Dengan kondisi oversupply sebesar 6 GW di tahun, kerugian PLN tahun ini saja dapat mencapai angka Rp 18 triliun.

Tanpa perubahan serius, oversupply listrik diproyeksikan akan mencapai 41 GW pada tahun 2030. Berapa ratus triliun lagi yang akan dikucurkan untuk membayar listrik oversupply yang tak terpakai?

Apabila cash flow PLN terus menerus mengalami kerugian, maka negara harus menyuntikkan dana lebih banyak, salah satunya melalui Penyertaan Modal Negara (PMN). Dana ini diambil dari APBN negara, sehingga risikonya adalah berkurangnya ruang fiskal yang seharusnya bisa dipakai untuk mendanai berbagai kebutuhan yang bisa memajukan kesejahteraan masyarakat, salah satunya pengembangan energi terbarukan skala kecil. Buruknya track record keuangan PLN dan ketergantungannya pada batubara juga dapat membuat investor enggan untuk berinvestasi atau membeli surat utang PLN.

Oversupply di Tengah Kesenjangan

Kondisi oversupply sendiri bukanlah hal yang baru; ia sudah terjadi setidaknya sejak tahun 2013. Namun pada 2015, Presiden Jokowi tetap meluncurkan mega proyek 35 GW yang menggencarkan pembangunan pembangkit listrik di Indonesia, yang mayoritas masih bertenaga kotor. Padahal, pada masa itu krisis iklim sudah sangat menjadi percakapan dan agenda transisi energi sudah di depan mata.

Pertumbuhan yang terlalu ambisius ini disebabkan oleh proyeksi pertumbuhan ekonomi yang terlalu optimis dan komitmen lingkungan yang lemah. Pada 2022, PLN berhasil menyepakati penundaan jadwal operasi atau Commercial Operation Date (COD) beberapa pembangkit listrik milik swasta. Hal ini diklaim menghemat biaya sebesar 37 triliun dari beban take or pay. Ini pun hanya solusi sementara saja, sampai COD akhirnya harus dilaksanakan.

Masalahnya, kondisi oversupply yang melimpah ini berbenturan dengan fakta bahwa masih ada ribuan desa di Indonesia yang belum teraliri listrik. Pada tahun 2022, PLN mencatat bahwa 4.400 desa di wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) masih belum teraliri listrik. Angka tersebut juga belum memperhitungkan daerah-daerah yang sudah mendapatkan aliran listrik namun tidak stabil atau belum mengalir selama 24 jam; ataupun sejumlah fasilitas umum seperti jalan raya yang juga belum teraliri listrik.

Pembangunan koneksi grid yang lebih stabil dan merata ditambah dengan dukungan bagi upaya-upaya penyediaan listrik mandiri oleh masyarakat seharusnya menjadi prioritas. Namun pemerintah malah terjebak dalam belenggu kontrak pembangunan PLTU baru yang tertera dalam RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik). Hal ini lebih jauh lagi membebani kondisi oversupply dengan pembangkit fosil kotor baru, serta menghambat transisi energi dengan merintangi energi bersih dari masuk ke jaringan.

Oversupply dan Misi Transisi Energi

Selain isu kerugian negara, salah satu efek terburuk kondisi oversupply dan adiksi batubara adalah hambatan yang ia timbulkan terhadap misi transisi energi Indonesia.

Melalui Enhanced-NDC (Nationally Determined Contribution), Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebanyak 32% dengan usahanya sendiri; bahkan angka ini sudah naik dari 29% yang dijanjikan melalui NDC awal. Namun awal tahun 2024 ini, Dewan Energi Nasional malah merencanakan untuk menurunkan target bauran energi terbarukan dari 23% menjadi 17-19% pada 2025. Alasannya? Mereka kesulitan karena banyaknya proyek PLTU baru yang terlanjur dicanangkan.

Lemahnya komitmen pemerintah terlihat dari Perpres nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Penyediaan Tenaga Listrik. Alih-alih mempercepat pengembangan energi terbarukan, Perpres tersebut malah memungkinkan pembangunan PLTU baru; seperti PLTU captive, PLTU yang sudah terancang dalam RUPTL, serta PLTU yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional.

Padahal, Indonesia sama sekali tidak kekurangan sumber energi terbarukan. Menurut data Kementerian ESDM, total potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.686 GW. Apabila potensi tersebut direalisasikan untuk kebutuhan masyarakat, energi terbarukan akan menjadi sumber energi yang jauh lebih murah, ramah lingkungan, dan lebih dari cukup. Selain itu, setiap daerah memiliki potensi sumber energi terbarukannya masing-masing, baik itu dari aliran sungai, surya, ataupun angin. Pemanfaatan energi lokal bukan hanya soal sumber energi listrik, ia juga menciptakan lapangan pekerjaan, menumbuhkan rasa kepemilikan, serta memberdayakan komunitas lokal.

Namun upaya-upaya ini minim dukungan pemerintah. Misalnya, keengganan pemerintah mendukung PLTS Atap. Dalam revisi Permen PLTS Atap yang baru-baru ini disahkan melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2024, skema jual beli listrik dihapuskan dengan alasan PLN sudah mengalami oversupply. Padahal, salah satu daya tarik pemakaian PLTS atap bagi konsumen adalah kesempatan untuk menjual kelebihan listrik kepada PLN.

Lebih jauh lagi, Permen tersebut menyatakan bahwa penetapan kuota serta izin yang dibutuhkan untuk pemasangan PLTS atap menjadi wewenang PLN. Dengan pembatasan kuota dan skema jual-beli yang dihapuskan, pengadopsian PLTS Atap akan menjadi semakin sulit.

Selain itu, banyak juga pemanfaatan energi terbarukan berskala komunitas. Beberapa daerah di Indonesia, seperti di Batusonggan, Riau; dan Kedungrong, Jogjakarta; menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) sebagai sumber listrik. Turbin yang digerakkan oleh aliran sungai setempat dapat memasok listrik pada warga dengan harga yang sangat murah, sekitar Rp 30.000,- per bulan. Beberapa daerah lain, seperti di Nusa Tenggara Barat, menggunakan energi surya melalui solar panel untuk melistriki rumah, sekolah, tempat ibadah, dan lain-lain.

Tak hanya untuk kebutuhan sehari-hari, pemanfaatan energi terbarukan berskala komunitas pun dapat membantu kegiatan perekonomian. Sebagai contoh, energi surya dimanfaatkan oleh sejumlah kelompok tani di Lombok untuk mengeringkan hasil panen seperti kopi, coklat, dan pisang. Dengan penggunaan solar dryer dome, hasil panen dapat kering dua kali lebih cepat ketimbang pengeringan biasa.

Namun, upaya-upaya pemanfaatan energi terbarukan yang diinisiasi komunitas kerap menghadapi tantangan sulitnya pendanaan, kekurangan sumber daya manusia, biaya maintenance yang besar, dan lain-lain. Andaikan upaya-upaya ini mendapat dukungan penuh, pembangunan dan kesejahteraan di daerah akan lebih merata.

Sayangnya, upaya semacam ini dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Bukan hanya masih mendorong PLTU baru, pemanfaatan energi terbarukan yang dipromosikan PLN malah mengarah pada teknologi hidrogen dan CCUS (Carbon Capture and Utilization Storage), yang belum terbukti namun lebih mungkin memfasilitasi kepentingan industri energi fosil. Pemerintah nampak mendahulukan proyek padat modal berskala besar ketimbang mendorong potensi besar surya dan bayu.

Menanti Peran PLN untuk Utamakan Kemakmuran Rakyat

Kesenjangan antara kondisi oversupply, keputusan untuk terus membangun berbagai pembangkit listrik baru, serta komitmen transisi energi yang lemah membuat kelistrikan Indonesia terlihat carut-marut. Sebagai perusahaan yang memegang kontrol 100% jaringan transmisi dan satu-satunya distributor listrik di Indonesia, PLN memainkan andil yang besar dalam kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia.

Penguasaan negara dalam penyediaan tenaga listrik didasari pemahaman bahwa karena tenaga listrik adalah salah satu cabang produksi yang paling penting dalam kehidupan masyarakat. Maka ia dikuasai negara sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat.

Sayangnya, dengan jerat oversupply yang mencengkeram, sepertinya kepentingan dan kemakmuran rakyat masih belum menjadi penyetir utama yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan pembangunan infrastruktur energi di negeri ini.

Alexandra Aulianta
Alexandra Aulianta
Peneliti energi terbarukan di Trend Asia
Editor: Dini Pramita

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...