Minyak Jelantah di Mata Negara: Limbah atau Komoditas?
Ada apa dengan minyak jelantah yang Menko Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan sebut berpotensi dikembangkan sebagai bahan bakar pesawat? Pada Mei 2024 lalu ia memimpin Rapat Rancangan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Pengembangan Industri Sustainable Aviation Fuel (SAF). Rupanya Indonesia berambisi menyamai Malaysia untuk menjadikan minyak jelantah sebagai bahan bakar aviasi.
“Penciptaan nilai ekonomi melalui kapasitas produksi kilang-kilang biofuel Pertamina untuk penjualan domestik dan ekspor bisa menghasilkan profit sampai Rp12 triliun per tahun,” katanya seperti dikutip media.
Permintaan untuk minyak jelantah meningkat pesat dari Eropa. Antara 2015 sampai 2022, impor minyak jelantah mereka naik dua kali lipat, yang kebanyakan digunakan sebagai biodiesel untuk mengisi tangki mobil, truk, sampai pesawat udara. Lebih dari 60% ekspor jelantah ke Eropa dikuasai Tiongkok, baru setelah itu Malaysia dan Indonesia. Pada 2023, Eropa mengimpor minyak jelantah sebanyak 173 kiloton dan used cooking oil methyl ester, atau produk turunan dari minyak jelantah, sebesar 83 kiloton, dari Indonesia.
Menyimak ucapan Pak Menko, nyata terbaca bahwa ”pasar sedang” memposisikan jelantah sebagai komoditas. Tak heran. Jelantah merupakan salah satu bahan baku energi rendah emisi yang secara eksplisit direkomendasikan dalam EU Renewable Energy Directive II (RED II). Potensi pengurangan emisi yang dihasilkan dari bahan bakar yang berbasis minyak jelantah memiliki timbulan emisi yang paling rendah dibanding sumber energi lain karena tidak menyertakan faktor alih fungsi lahan.
Ekspor jelantah ke Eropa ini baru mulai. Indonesia belum seberapa serius mengembangkannya. Kajian International Council on Clean Transportation (ICCT) yang menemukan bahwa pengumpulan minyak jelantah di Indonesia baru mencapai 20% – 40% dari total potensinya saat ini.
Dua Perlakuan Jelantah
Tapi sebenarnya, bagaimana negara, alias regulator, menempatkan status minyak jelantah? Ini penting karena menempatkan minyak jelantah sebagai komoditas akan menuntut pemerintah untuk menetapkan peraturan yang baru, terutama terkait peruntukannya sebagai sumber energi. Selain itu, nilai dari jelantah juga akan mengikuti dinamika pasar karena diperdagangkan secara luas. Sehingga, pemerintah akan sulit untuk melakukan intervensi yang dibutuhkan. Itu jika ingin meraih keuntungan seperti yang diungkapkan Menko Luhut tadi.
Tapi jika menempatkan minyak jelantah sebagai limbah, maka pemerintah dapat menetapkan nilai jelantah menjadi Rp0. Hal ini menjadi peluang bagi negara untuk mendulang keuntungan yang lebih besar dari nilai tambah energi bersih yang diproduksi di Indonesia. Baik keuntungan yang diperoleh dari ekspor, maupun penggunaan domestik.
Realita Jelantah sebagai Komoditas
Ada sebagian pihak yang telah mengumpulkan minyak jelantah dan membeli dengan harga yang relatif tinggi. Harga minyak jelantah tercatat berkisar antara Rp3.000 – Rp9.000 per liter. Bahkan, terdapat daerah yang memiliki harga jual minyak jelantah sebesar Rp20.000 per liter. Inilah yang diekspor ke luar negeri untuk didayagunakan kembali menjadi sumber energi itu.
Pada 2022, harga jual tertinggi minyak jelantah di pasar global mencapai 1.850 euro per ton atau setara dengan lebih dari Rp30.000.000 per ton [3]. Jika dikalkulasi dalam jumlah yang lebih kecil, maka minyak jelantah dihargai kurang lebih sebesar Rp30.000 per liter. Alhasil, sebagian pihak memperoleh keuntungan yang tinggi dari aktivitas jual beli minyak jelantah tersebut.
Praktik jual beli tersebut mengindikasikan posisi minyak jelantah sebagai komoditas. Minyak jelantah sendiri memiliki kode harmonized system (HS) yang merupakan nomenklatur klasifikasi komoditas yang berlaku secara global. Di Indonesia, terdapat beberapa kode HS untuk minyak jelantah yang telah dibakukan oleh Kementerian Perdagangan untuk aktivitas ekspor. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh BPS, volume ekspor minyak jelantah (HS 1518.00.60) meningkat secara signifikan pada 2021 sebesar 59,81 % (lihat Gambar 1).
Sebagai komoditas yang diperdagangkan, jelantah juga sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sektor industri. Jelantah berpotensi didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan sektor energi di dalam negeri, sehingga peran pemerintah diperlukan dalam menjamin ketersediaan sumber daya tersebut. Hal ini sesuai dengan mandat yang tercantum dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Dalam pasal 33 dinyatakan bahwa pemerintah berperan dalam menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk industri dalam negeri, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Untuk mendukung aktivitas perdagangan jelantah, pemerintah telah memiliki Sistem Minyak Jelantah (Simijel) yang dikembangkan oleh Kementerian Perindustrian. Simijel merupakan platform gateway untuk melacak asal usul jelantah dan jadwal pengirimannya. Aspek transparansi rantai pasok dari traceability jelantah ini penting untuk memastikan bahwa jelantah yang diekspor ke pasar global berasal dari sumber yang terverifikasi dan memenuhi standar regulasi global.
Jika Jelantah sebagai Limbah
Di tingkat rumah tangga, minyak jelantah masih dianggap tidak bernilai. Berdasarkan studi Traction Energy Asia, sekitar 75% masyarakat masih membuang minyak jelantah langsung ke selokan setelah digunakan. Artinya, mayoritas masyarakat menilai bahwa jelantah merupakan limbah. Namun, secara yuridis, belum ada regulasi yang mengatur definisi minyak jelantah di rezim hukum manapun. Jelantah tidak dikategorikan sebagai sampah maupun limbah.
Dalam undang-undang pengelolaan sampah (UU No. 18 Tahun 2008), sampah didefinisikan sebagai sisa kegiatan dalam bentuk padat, dimana jelantah tidak masuk dalam kategori tersebut. Sementara dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009), limbah diartikan sebagai sisa suatu usaha atau kegiatan. Meskipun jelantah sesuai dengan definisi tersebut, belum ada peraturan turunan yang menyatakan minyak jelantah sebagai limbah. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2014 yang membahas baku mutu air limbah tidak menyebutkan minyak jelantah secara spesifik sebagai limbah.
Apabila minyak jelantah dibakukan sebagai limbah di Indonesia, maka tata kelola dan pengelolaan minyak jelantah akan diampu oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Instrumen regulasi yang dapat menjadi referensi untuk menyusun tata kelola minyak jelantah merupakan peraturan turunan dari UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, kategori limbah yang akan dipilih perlu diperhatikan kembali karena Indonesia memiliki 2 (dua) kategori, yaitu limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dan limbah non B3.
Berdasarkan PP No. 22 Tahun 2021 (pembaruan dari PP No. 101 Tahun 2014), B3 diartikan sebagai zat atau komponen yang berpotensi mencemarkan, merusak, dan membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia maupun makhluk hidup lain. Minyak jelantah jelas memenuhi kriteria tersebut karena berpotensi menurunkan kualitas lingkungan hidup dan berdampak langsung kepada kesehatan manusia. Akan tetapi, kompleksitas pengelolaan limbah B3 berpotensi untuk menghambat penyediaan minyak jelantah sehingga mengurangi efektivitas pasokannya apabila akan digunakan sebagai bahan baku energi.
Di Eropa, jelantah dikategorikan sebagai limbah. Dalam aturan energi terbarukan Uni Eropa yang disebut sebelumnya (RED II), jelantah terdapat dalam lampiran Annex IX B sebagai salah satu bahan baku energi berbasis limbah (waste-based feedstock). Secara umum, sebagian besar negara di Eropa mengumpulkan jelantah dari sektor komersial, seperti industri makanan, hotel, restoran, penyedia jasa makanan (katering), dan sebagainya. Sementara, jelantah yang dikumpulkan di tingkat rumah tangga tidak signifikan. Tingkat pengumpulan jelantah yang berasal dari rumah tangga hanya sebesar 12%.
Dalam pengelolaan jelantah, negara-negara Eropa kebanyakan mengandalkan pengumpulan yang dilakukan oleh pemerintah kota atau otoritas wilayahnya. Namun, terdapat beberapa negara yang pengumpulan jelantahnya – termasuk yang berasal dari rumah tangga – dikelola pada tingkat nasional, yaitu Belgia, Belanda, dan Austria. Berikut perbedaan ketiga negara tersebut dalam mengelola jelantah di masing-masing negaranya (lihat Tabel 1).
Merujuk kepada ketiga negara tersebut, struktur kelembagaan di Indonesia berpotensi untuk mengadopsi sistem pengumpulan jelantah yang difasilitasi oleh pemerintah pusat pada tingkat nasional. Pemerintah pusat juga dapat melibatkan pemerintah daerah sebagai titik-titik pengumpulan jelantah. Hal ini dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan Indikator Kinerja Lingkungan Hidup (IKLH) Daerah.
Berdasarkan Permendagri No. 86 Tahun 2017, jumlah limbah yang dikelola termasuk ke dalam kewenangan provinsi. Selain itu, jelantah yang terkumpul berpotensi untuk meningkatkan indeks kualitas air. Indeks kualitas air merupakan salah satu IKLH daerah yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Jadi, pengumpulan jelantah tidak hanya mendongkrak pencapaian daerah, tetapi juga menciptakan lingkungan hidup yang lestari di berbagai daerah di Indonesia.
Apabila koordinasi vertikal ini dapat terwujud, maka pengumpulan jelantah di daerah dapat dioptimalkan sehingga meningkatkan volume jelantah yang diperoleh. Hal ini tentu akan menjamin ketersediaan jelantah untuk kebutuhan energi nasional. Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan kebijakan payung yang dapat menjadi landasan koordinasi multipihak tersebut.
Indonesia belum secara resmi melembagakan minyak jelantah sebagai bahan baku energi terbarukan. Statusnya yang saat ini berada di 2 (dua) kategori yang berbeda menjadikannya tantangan tersendiri untuk menentukan tata kelola yang tepat agar dapat digunakan sebagai bahan baku energi di dalam negeri. Apabila penentuan status minyak jelantah tidak segera dilakukan, terdapat ketidakpastian tata kelola dalam pengumpulan minyak jelantah yang berimplikasi kepada pasokan maupun ketersediaannya sebagai bahan baku energi.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.