Dilema Plastik dalam Sistem Rantai Pasok Pangan
Beras, buah, daging, minuman, snack dijual di supermarket dalam kemasan plastik. Dengan dibungkus 1,5 gram plastic-film, “usia” ketimun bisa diperpanjang dari tiga menjadi 14 hari. Dalam kantong plastik, kerusakan anggur berkurang 20%. Makanan bisa dipesan online dan aman dikirim dalam wadah plastik. Sekitar 40% dari seluruh produksi plastik dunia untuk kemasan, di mana 41%-nya kemasan makanan-minuman siap konsumsi.
Sistem pangan bergantung pada plastik, material serba guna yang murah, ringan, kedap air dan udara, transparan, dan mudah dibentuk. Sektor agrikultur memakai 3,5% dari plastik global setahun untuk pemulsaan, pipa irigasi, kantong pakan ternak, jaring ikan, wadah pemanenan dan sebagainya.
Pemakaian plastik yang banyak dan berkepanjangan, serta buruknya pengelolaan sampah plastik mengakibatkan akumulasi mikroplastik di lingkungan yang berdampak pada produksi pangan, dan kehidupan manusia.
Sistem Pangan dan Polusi Plastik
Sistem pangan mencakup seluruh pelaku dan aktivitas usaha mereka yang saling berkaitan dalam produksi, pengumpulan, pemrosesan, distribusi, konsumsi dan pembuangan produk-produk pangan. Berbagai produk ini berasal dari agrikultur, perhutanan, atau perikanan, dan merupakan bagian dari ekonomi, masyarakat dan lingkungan alam setempat.
Agrikultur secara luas meliputi pertumbuhan dan produksi tanaman dan hewan untuk dikonsumsi manusia, atau untuk seratnya, bahan bakar, atau obat. Plastik dalam agrikultur berperan meningkatkan produktivitas hingga 60%.
FAO melaporkan produksi pangan global tahun 2019 memakai 12.5 juta ton produk plastik, dan tambahan 37,3 juta ton untuk kemasan pangan.
Hanya 9% sampah plastik didaur-ulang, sebagian besar sisanya menjadi landfill yang mengeluarkan gas metana penyebab pemanasan global, serta polusi mikroplastik di lingkungan.
Sebanyak 93% dari kegiatan agrikultur global ada di darat. Maka, diyakini lebih banyak mikroplastik di tanah dari plastik agrikultural dibandingkan di lautan. Melalui makanan, mikroplastik masuk ke tubuh manusia dan membahayakan kesehatan.
Produk pangan perlu dilindungi sepanjang rantai pasoknya agar tidak rusak, dan bertahan lama. Plastik berkontribusi dalam mengurangi sampah pangan atau food loss. Menurut UNEP Food Waste Index Report 2024, sekitar 20% pangan global untuk konsumsi manusia terbuang, kerugian diperkirakan US$1 triliun.
Penduduk bumi diprediksi menjadi 9,7 miliar pada 2050, dan membutuhkan kenaikan produksi pangan 60%. Peningkatan produktivitas pangan dan pengendalian food loss menjadi krusial di tengah tantangan perubahan iklim, karenanya penggunaan plastik dalam sistem pangan akan meningkat.
Dilema, sistem pangan bergantung pada plastik, namun plastik merupakan sumber pencemaran yang besar dan berbahaya dalam sistem pangan.
Plastik dalam Rantai Pasok Pangan
Plastik digunakan di seluruh tahapan dalam rantai pasok pangan, dari produksi sampai konsumsi. Sampah pangan pun dikumpulkan dalam plastik.
Dengan keterbatasan data rinci, FAO menghimpun informasi pemakaian plastik agrikultural berikut:
Plastik agrikultur berperan mengendalikan hama, kelembapan, temperatur, dan penyerapan nutrisi, yang pada akhirnya meningkatkan panenan, memperbaiki efisiensi sumber daya, dan mengurangi kebutuhan pestisida.
Peningkatan produksi pangan menambah pemakaian plastik agrikultur. Pada 2019, tahap agrikultur memakai 12,5 juta ton plastik. Sebanyak 60%-nya adalah plastic-film yang separuhnya bertahan hanya 1 siklus tanam, lalu menjadi sampah. Pasar global plastic-film agrikultural memproyeksikan peningkatan 50% dari 6,1 juta ton pada 2018 menjadi 9,5 juta ton pada 2030.
Globalisasi pangan, pertumbuhan supermarkets, dan keterbatasan waktu mendorong penggunaan kemasan plastik. Rantai pasok pangan melibatkan jarak jauh dan banyak perantara. Kemasan plastik melindungi pangan dari kerusakan dan kontaminasi dalam perjalanan sampai siap dikonsumsi, demi mereduksi food loss, dan memperpanjang umur-simpan. Kemasan juga merupakan media promosi dan informasi produk, dan memberikan kenyamanan dalam pemrosesan, distribusi, penjualan, dan konsumsi pangan.
Sampah plastik pangan akan bertambah seiring pertambahan penduduk dunia, juga karena perubahan gaya hidup yang mobile dan perdagangan online. Sebanyak 78% food loss terjadi di tahap produksi sampai distribusi, dan 22% di tahap konsumsi.
Sebagai pelindung, banyaknya kemasan menghindari terjadinya food loss. Namun dalam beberapa dekade belakangan, sampah kemasan dan sampah pangan ternyata sama-sama meningkat.
Proyeksi kemasan makanan global antara tahun 2024-2033 tumbuh 6,11% per tahun, dari US$398,5 miliar menjadi US$679,7 miliar. Sedangkan nilai pasar pengelolaan sampah makanan tumbuh 6,5% per tahun menjadi US$152,8 miliar
FAO mengingatkan potensi dampak penggunaan plastik yang tidak terkendali antara lain berkurangnya produksi pangan karena lahan tanam tercemar plastik, dan terserapnya microplastics dalam hasil agrikultur dan masuk dalam makanan kita.
Pembakaran plastik di alam terbuka mengeluarkan gas-gas berbahaya. Hal ini karena plastik agrikultur terbuat dari bahan-baku fosil, maka berkontribusi pada penyebaran gas rumah-kaca
Solusi Potensial
Penanganan dilema food loss dan polusi plastik memerlukan pendekatan sistem dan tindakan kolaborasi. Ini dapat dilakukan dengan memprioritaskan penurunan jumlah food loss, tetapi tetap mengurangi pemakaian plastik dalam sistem pangan. Kuncinya adalah inovasi, bukan eliminasi.
Langkah awal: hindari plastik. Pakai material yang ramah lingkungan, seperti daun, kertas, kain, kayu, kaca. Supermarkets harus selektif membungkus makanan segar dengan plastic-film. Produsen memberikan insentif pada konsumen untuk mengembalikan sampah plastik, menawarkan isi ulang, menghindari kemasan dengan volume kecil.
Inovasi teknik dan metoda agrikultur untuk mengurangi ketergantungan pada plastik. Promosikan penggunaan ulang dan pengelolaan sampah plastik agrikultur sampai akhir-pakainya selaras dengan prinsip ekonomi sirkular
Akselerasi pengembangan bioplastics yang ramah lingkungan dan ekonomis, dan inovasi material alternatif. Perusahaan The British Crisp mengembangkan kantong kemasan kertas dengan teknologi polimer Hydropol yang aman dan mudah didaur-ulang untuk produk keripik mereka, menggantikan multilayer-plastics (MLP) yang sulit didaur-ulang. Inovasi lain, Silk fibroin coating, lapisan protein fibroin yang bisa disemprotkan dan memberi lapisan pelindung pada buah dan sayuran sebelum keluar dari lahan pertanian, dan aman untuk dikonsumsi.
Menata-ulang dan desentralisasikan sistem pangan. Kembangkan rantai pasok pangan pendek (short food supply chain -SFSC) -meminimalkan jarak antara produsen pangan dan konsumen, perantara, dan kemasan, dan memperbaiki sistem logistik.
Edukasi dan melibatkan konsumen untuk mengubah perilaku. Publik makin sadar dampak buruk plastik pada lingkungan. Makin banyak social entrepreneurs mengaplikasikan konsep zero waste yang memperlihatkan bahwa kenyamanan dan inovasi tidak harus menimbulkan sampah.
Pemerintah bisa membuat kebijakan yang mendukung inovasi, memberikan insentif dan disinsentif kepada industri pangan, memperbaiki infrastruktur daur-ulang plastik, dan menggalakkan kebijakan EPR (Extended Producer Responsibility). Pemerintah Inggris, Spanyol, dan Prancis membuat peraturan larangan kemasan plastik untuk produk pangan segar kurang dari 1,5 kg. Mulai tahun 2030 EU melarang kemasan plastik untuk buah dan sayur. Prancis menyediakan keran-keran air minum untuk mengurangi botol plastik.
Masalah plastik dalam sistem makanan perlu diperhatikan dan ditanggulangi dengan serius demi keberlanjutan lingkungan dan kesehatan manusia.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.