Sesat Pikir Penghapusan Pilkada Langsung
Rencana mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi penunjukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bukan hanya langkah mundur, melainkan sebuah ancaman serius terhadap esensi demokrasi Indonesia. Alasan efisiensi anggaran yang diusung tampak seperti selubung rasionalitas, tetapi sebenarnya merupakan bentuk manuver politik yang mengukuhkan oligarki. Dalam konteks ini, wacana tersebut mencerminkan sesat pikir yang mengancam masa depan demokrasi kita.
Dalih efisiensi anggaran perlu didekonstruksi secara kritis. Presiden Prabowo Subianto mengklaim bahwa mekanisme Pilkada oleh DPRD dapat menghemat anggaran negara. Menurut data Kementerian Keuangan, total anggaran Pemilu 2024 mencapai Rp71,3 triliun, yang tersebar sejak 2022 hingga 2024. Namun, narasi efisiensi ini gagal melihat bahwa demokrasi adalah investasi, bukan beban fiskal.
Demokrasi membutuhkan pengorbanan sumber daya untuk memastikan keterlibatan rakyat dalam proses politik. Dengan menghilangkan mekanisme pemilihan langsung, kita mengurangi peran rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan membuka pintu bagi praktik transaksi politik di kalangan elite.
Analisis teoretis dari Katz dan Mair dalam konsep “Cartel Party” dalam bukunya Democracy and the Cartelization of Political Parties (2018) memberikan wawasan yang tajam tentang situasi ini. Partai politik, dalam skenario ini, bertransformasi menjadi kartel yang lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri dibandingkan kepentingan publik. Mereka memanfaatkan struktur kekuasaan untuk mengonsolidasikan dominasi politik, mengeliminasi kompetisi, dan meminimalkan risiko terhadap kekuasaan mereka.
Di Indonesia, kondisi ini sangat relevan. Dengan mengembalikan Pilkada kepada DPRD, partai politik menjadi satu-satunya aktor penentu kepala daerah, menghilangkan mekanisme kontrol rakyat. Hal ini menguatkan posisi oligarki dan memperdalam keterputusan antara rakyat dan pemimpin yang seharusnya mereka pilih secara langsung.
Data menunjukkan bahwa korupsi dalam pemerintahan daerah di Indonesia telah menjadi endemik. Berdasarkan laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004 hingga Januari 2022, sebanyak 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota terjerat kasus korupsi. Lebih jauh, laporan dari Transparency International pada 2022 mencatat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya berada di angka 34 dari 100, menempatkan kita pada peringkat 110 dari 180 negara.
Dengan memberikan kekuasaan pemilihan kepala daerah kepada DPRD, kita hanya memperbesar potensi korupsi. Transaksi politik dalam DPRD untuk memilih kepala daerah berisiko menjadi lebih masif, seperti yang pernah terjadi di masa Orde Baru ketika kepala daerah ditentukan melalui lobi politik yang sering kali berbalut suap dan kepentingan pribadi.
Efisiensi anggaran yang diusung sebagai alasan juga tidak memiliki dasar yang kuat. Biaya politik yang tinggi dalam Pilkada langsung memang menjadi tantangan, tetapi solusi terhadap masalah ini tidak harus dengan menghapus mekanisme partisipasi rakyat. Justru, reformasi sistem politik seperti penerapan teknologi pemilu digital atau e-voting dapat menjadi solusi yang lebih efektif.
Penggunaan teknologi ini telah terbukti berhasil di negara-negara seperti Estonia, yang mampu menyelenggarakan pemilu dengan biaya rendah dan partisipasi tinggi. Selain itu, peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pemilu dapat membantu menekan biaya tanpa harus mengorbankan substansi demokrasi.
Pilkada langsung juga memberikan ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin mereka berdasarkan rekam jejak dan program kerja yang ditawarkan. Menghapus mekanisme ini berarti menghilangkan keterlibatan masyarakat dalam proses politik yang krusial.
Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi deliberatif seperti yang diuraikan oleh Jürgen Habermas dalam Between Facts and Norms (1996), di mana partisipasi publik menjadi elemen esensial dalam memastikan legitimasi keputusan politik.
Dengan menyerahkan proses pemilihan kepada DPRD, kita tidak hanya mengurangi legitimasi kepala daerah terpilih, tetapi juga menciptakan jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan pemerintah.
Lebih dari itu, narasi bahwa Pilkada langsung memicu polarisasi sosial dan konflik dapat dilihat sebagai upaya mengalihkan perhatian dari peran elite politik dalam mengelola perbedaan. Polarisasi tidak sepenuhnya lahir dari mekanisme pemilihan langsung, melainkan dari eksploitasi isu-isu sensitif seperti suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) oleh elite politik untuk meraih kekuasaan.
Dengan memanfaatkan emosi kolektif, elite politik sering kali menciptakan ketegangan horizontal yang memperparah perpecahan sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1983), identitas dan perpecahan dapat direkayasa oleh elite untuk mempertahankan dominasi mereka. Oleh karena itu, konflik sosial bukanlah hasil bawaan dari mekanisme pemilu, tetapi konsekuensi manipulasi sistematis yang dilakukan oleh aktor politik.
Wacana ini juga menunjukkan rendahnya kepercayaan elite politik terhadap kapasitas rakyat untuk membuat keputusan politik. Padahal, demokrasi adalah tentang mempercayakan kedaulatan kepada rakyat, bukan menyerahkannya kepada segelintir elite.
Larry Diamond dalam The Spirit of Democracy (2008) menekankan bahwa partisipasi aktif dari masyarakat adalah pilar utama demokrasi yang sehat. Dengan menghilangkan hak rakyat untuk memilih secara langsung, kita menempatkan diri dalam risiko kembali ke era otoritarianisme terselubung, di mana rakyat hanya menjadi objek, bukan subjek dari proses politik.
Daripada mengubah mekanisme Pilkada, perhatian seharusnya difokuskan pada reformasi sistem politik yang lebih mendasar. Misalnya, memperbaiki sistem rekrutmen dan seleksi calon kepala daerah oleh partai politik, yang selama ini sering kali hanya menjadi arena transaksional. Transparansi pendanaan kampanye, penguatan peran pengawas pemilu, dan edukasi politik kepada masyarakat juga harus menjadi prioritas. Dengan cara ini, kita dapat memperbaiki kualitas demokrasi tanpa mengorbankan prinsip kedaulatan rakyat.
Wacana pengembalian Pilkada kepada DPRD tidak hanya merusak demokrasi, tetapi juga mengkhianati cita-cita reformasi. Ini adalah bentuk lain dari politik transaksional yang bertujuan melanggengkan kekuasaan oligarki. Sebagai bangsa yang telah melewati reformasi, kita seharusnya tidak kembali ke sistem yang telah terbukti korup dan tidak demokratis.
Demokrasi adalah proses yang membutuhkan pengorbanan, tetapi kehilangan demokrasi akan membawa kita pada biaya sosial, politik, dan ekonomi yang jauh lebih besar. Oleh karena itu, mempertahankan Pilkada langsung bukan hanya tentang menjaga mekanisme pemilu, tetapi juga tentang melindungi kedaulatan rakyat dari tangan-tangan oligarki yang terus mengintai.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.