Tantangan Kesenjangan Generasi dalam Literasi Kesehatan Digital

Ringkasan
- USAID EGSA, kolaborasi lima tahun antara USAID dan Bappenas, mendukung visi Indonesia Emas 2045 dengan menyediakan bantuan untuk transformasi ekonomi dan perencanaan pembangunan.
- Kerja sama USAID EGSA telah membantu Bappenas menyusun dokumen perencanaan strategis, meningkatkan kapasitas perencanaan, dan mengidentifikasi skema pembiayaan alternatif untuk pembangunan.
- USAID berencana untuk melanjutkan dukungan pembangunan ekonomi Indonesia melalui kolaborasi dengan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani, termasuk memberikan dukungan untuk transformasi hijau dan digital Ibukota Nusantara.

Hoaks adalah tantangan dalam literasi kesehatan digital. Data Kementerian Komunikasi dan Digital menunjukkan, sejak Agustus 2018 hingga Desember 2023 terdapat 12.547 konten hoaks yang beredar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, isu kesehatan menjadi kategori terbanyak dengan 2.357 konten.
Norman CD & Skinner HA (2006) mendefinisikan literasi kesehatan digital sebagai kemampuan individu untuk mencari, mengidentifikasi, memahami, dan menganalisis informasi kesehatan yang tersedia secara elektronik. Kemudian menggunakan pengetahuan tersebut untuk menyelesaikan atau menangani berbagai permasalahan kesehatan.
Milenial dan Gen Z memang lebih akrab dengan teknologi. Namun, mereka sering menjadi sasaran hoaks karena kecenderungan mempercayai informasi yang terlihat menarik atau viral di media sosial tanpa melakukan verifikasi. Sebagai contoh, selama pandemi Covid 19 berbagai mitos kesehatan tentang vaksinasi dan pengobatan alternatif tersebar luas yang memengaruhi keputusan kesehatan mereka.
Sedangkan, generasi yang lebih tua sering kali menghadapi kesulitan dalam membedakan informasi yang valid dan yang menyesatkan. Ketergantungan pada pesan berantai melalui whatsapp grup atau berita dari sumber yang tidak kredibel dapat meningkatkan kerentanan terhadap hoaks kesehatan. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan, pengambilan keputusan yang salah atau bahkan penolakan terhadap pengobatan yang seharusnya diterima.
Dampak dari hoaks kesehatan ini tidak hanya dirasakan oleh individu, melainkan juga masyarakat. Penyebaran informasi yang salah dapat menghambat program kesehatan publik seperti kampanye vaksinasi yang berdampak pada ketidakpercayaan terhadap sistem kesehatan.
Selain itu, juga membuat masyarakat mudah terjebak pada produk palsu dan overclaim terutama dalam pembelian obat dan makanan di e-commerce. Jika terus dibiarkan, ini akan mendorong meningkatnya peredaran produk ilegal dan berbahaya.
Pemanfaatan Literasi Kesehatan Digital
Di era digital, cara setiap generasi berinteraksi dengan teknologi sangat memengaruhi pemanfaatan literasi kesehatan digital. Gen Z dan milenial memiliki keakraban yang tinggi dengan teknologi. Mereka dengan mudah mengakses informasi kesehatan melalui aplikasi telemedicine, konsultasi daring, media sosial, hingga platform e-commerce.
Generasi ini dikenal kritis dan percaya diri dalam mencari informasi secara mandiri serta memanfaatkan teknologi untuk memonitor kesehatan mereka. Namun, kemudahan ini tidak menjamin mereka selalu menggunakan informasi yang benar dan valid.
Sebaliknya, Generasi X dan baby boomer menghadapi tantangan lebih besar dalam mengadopsi teknologi digital. Mereka cenderung lebih nyaman mengandalkan sumber informasi tradisional seperti kunjungan langsung ke dokter atau media konvensional. Walaupun ada yang mulai menggunakan teknologi seperti aplikasi telemedicine, sebagian besar masih merasa kesulitan untuk menavigasi aplikasi kesehatan atau memverifikasi keaslian informasi yang ditemukan daring.
Pemanfaatan literasi kesehatan digital mencerminkan kebutuhan dan kemampuan unik tiap generasi. Gen Z, misalnya, memanfaatkan aplikasi seperti Google Fit atau MyFitnessPal untuk memantau kebugaran mereka.
Milenial lebih fleksibel menggunakan telemedicine untuk konsultasi kesehatan lebih praktis dan efisien. Platform seperti YouTube dan Google juga menjadi sarana edukasi kesehatan lintas generasi, dengan topik seperti kesehatan mental hingga pengenalan gejala penyakit yang mudah diakses oleh berbagai kelompok usia.
Kesenjangan generasi dalam literasi kesehatan digital adalah cerminan nyata dari perbedaan mendalam dalam cara berbagai kelompok usia mengakses dan memanfaatkan teknologi untuk kebutuhan kesehatan. Gen Z dan milenial dengan adaptasi tinggi terhadap teknologi telah menjadikan aplikasi kesehatan, media sosial, dan platform daring sebagai alat utama untuk memahami gejala, mencari ulasan obat, hingga melakukan konsultasi medis.
Namun, kecepatan mereka dalam mengakses informasi seringkali tidak diimbangi dengan kemampuan kritis untuk menilai kredibilitas sumber. Fenomena hoaks yang viral di media sosial menjadi bukti nyata, di mana informasi palsu kerap memengaruhi keputusan kesehatan mereka karena kurangnya verifikasi fakta.
Sebaliknya, Gen X dan baby boomer menghadapi tantangan yang sama kompleksnya tetapi dari sisi yang berbeda. Skeptisisme terhadap teknologi dan ketergantungan pada sumber informasi konvensional sering kali membuat mereka terjebak dalam akses yang terbatas. Sementara itu, kemampuan teknis yang minim dalam mengoperasikan aplikasi kesehatan dengan tampilan antarmuka yang kompleks menjadi penghalang signifikan dalam adopsi teknologi digital.
Untuk menjembatani kesenjangan ini, dibutuhkan pendekatan strategis. Desain aplikasi layanan kesehatan yang ramah pengguna, dengan navigasi sederhana dan intuitif dapat membantu Gen X dan baby boomer mengatasi hambatan teknis. Di sisi lain, edukasi kritis bagi Gen Z dan milenial mengenai pentingnya memverifikasi informasi kesehatan daring dapat menjadi perisai efektif terhadap arus hoaks yang beredar.
Mengatasi kesenjangan ini bukan hanya tentang teknologi. Hal ini adalah upaya untuk menciptakan ekosistem kesehatan digital yang inklusif, di mana setiap generasi memiliki akses yang sama untuk mendapatkan informasi yang akurat dan terpercaya. Dengan langkah yang tepat, kolaborasi lintas generasi ini tidak hanya akan meningkatkan literasi kesehatan digital tetapi juga memperkuat kualitas layanan kesehatan di masyarakat secara keseluruhan.
Peran Milenial dan Gen Z
Generasi muda seperti milenial dan Gen Z adalah ujung tombak dalam menjembatani kesenjangan literasi kesehatan digital. Sebagai generasi yang tumbuh di tengah kemajuan teknologi, mereka tidak hanya mahir memanfaatkan perangkat digital, tetapi juga berpotensi menjadi mentor yang membimbing generasi tua untuk mengoptimalkan teknologi kesehatan.
Dengan sikap proaktif, mereka dapat memberikan panduan langsung, seperti membantu mengunduh aplikasi telemedicine, mengatur konsultasi daring, hingga menggunakan fitur-fitur inovatif seperti pengingat pengobatan harian.
Namun, peran generasi muda tidak berhenti pada aspek teknis. Mereka juga menjadi garda depan dalam menangkal hoaks kesehatan yang sering menyesatkan generasi tua. Dengan keterampilan menavigasi internet dan memanfaatkan teknologi, mereka mampu memverifikasi kebenaran informasi dan mengarahkan generasi tua pada sumber yang lebih kredibel.
Lebih dari itu, kolaborasi lintas generasi ini memiliki nilai yang lebih dalam dengan membangun kepercayaan generasi yang lebih tua terhadap teknologi. Ketika generasi muda secara langsung menunjukkan manfaat teknologi, seperti akses cepat ke informasi medis dan pengaturan jadwal perawatan yang lebih efisien, rasa skeptis dan ketakutan terhadap inovasi digital dapat berangsur hilang.
Ini bukan hanya tentang meningkatkan literasi kesehatan, tetapi juga menciptakan masyarakat yang inklusif di mana semua generasi, tanpa terkecuali, dapat merasakan manfaat teknologi kesehatan. Dengan sinergi ini, transformasi digital di sektor kesehatan tidak hanya menjadi inovasi tetapi juga menjadi solusi yang merata bagi semua generasi.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.