Artificial Intelligence dan Pentingnya Pembuktian Manusia atau Robot


Publik tentu masih ingat, dalam gelaran kampanye pemilu 2024, terdapat begitu banyak poster calon yang disulap bak kartun dengan menggunakan bantuan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI). Poster tersebut tidak hanya terpampang di media sosial yang notabene banyak anak muda, melainkan juga di berbagai media peraga kampanye di jalanan. Saking menariknya, perubahan citra diri yang dihasilkan dapat memoles dengan begitu epic sehingga mampu mengesankan orang yang berbeda dari sisi orisinalitas. Persoalan ini melahirkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk membuat keputusan bahwa penggunaan AI untuk memoles citra diri secara berlebihan melanggar ketentuan perundangan.
Tidak hanya soal citra diri dan pemilu, AI juga saat ini banyak dikembangkan di berbagai sektor, terutama sektor ekonomi digital. Sektor-sektor dominan ekonomi digital, seperti perdagangan daring, teknologi finansial, logistik, dan layanan kesehatan memanfaatkan AI untuk meningkatkan efisiensi operasional, produktivitas, serta menghadirkan layanan yang inklusif. Beberapa platform AI misalnya, saat ini tumbuh untuk membantu operasional perusahaan digital dalam mengawasi operasional perusahaan, bahkan mengawasi sumber daya manusia. Maka penggunaan AI ini bisa membantu Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi digital yang inklusif dan adaptif dengan teknologi.
Penggunaan AI saat ini sudah tidak terbatas dalam hal analisis perilaku konsumen ataupun data analytics saja, tapi AI sudah digunakan dalam membangun perlindungan konsumen. Di sektor teknologi finansial misalkan, penggunaan AI bisa dimulai dengan sinkronisasi dari biometrik. Analisis ini bisa digunakan untuk berbagai hal, mulai dari analisis kredit, deteksi dini fraud, hingga pada peningkatan inklusi keuangan. Berdasarkan data dari World Economic Forum, teknologi AI merupakan teknologi kelima yang banyak diadopsi oleh perusahaan.
Namun, penggunaan AI dalam transaksi digital, termasuk transaksi keuangan, juga menyimpan tantangan dengan semakin berkembangnya AI. Bahkan, IQ test result untuk program AI yang sudah ada menunjukkan ada model AI yang nilai IQ-nya di angka 120. Sebagai perbandingan, rata-rata IQ global adalah 85-115, sedangkan untuk rata-rata IQ masyarakat Indonesia di angka 78,49 menurut World Population Review. Dengan kemampuan seperti itu, sangat dimungkinkan AI akan meniru kebiasaan manusia dalam berbagai hal, termasuk dalam transaksi keuangan, belanja daring, dan sebagainya. Ketika kemampuan AI untuk menirukan manusia sudah cukup advance, maka sistem akan susah membedakan mana manusia dan mana AI.
Bagaimana dampak jika hal ini terjadi? Tentu kejahatan akan teknologi juga akan meningkat, termasuk kejahatan yang dilakukan dengan AI. Salah satu kejahatan yang dapat dilakukan oleh AI adalah deepfake. Deepfake merupakan teknik dalam penggunaan AI untuk memberikan informasi yang direkayasa oleh orang tidak bertanggung jawab. Motifnya bisa soal politik maupun ekonomi. Pada kasus yang lebih berat, pemanfaatan AI untuk kejahatan ekonomi bisa menimbulkan kerugian materil. Pada satu titik bahkan, pengembangan AI bisa mengaburkan batasan antara manusia dengan AI yang diciptakan.
Terlebih jika kita melihat data National Cyber Security Index (NCSI) 2023, nilai NCSI Indonesia masih di bawah negara lainnya di ASEAN. Malaysia dan Singapura memiliki nilai indeks tertinggi masing-masing 79,22 poin dan 71,43 poin. Thailand memiliki poin 64,94 poin, sedangkan Indonesia memiliki 63,64 poin. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (saat ini berubah menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital) menunjukkan aspek keamanan digital masih menjadi problem di masyarakat Indonesia. Maka dari itu, potensi penyalahgunaan AI di Indonesia masih cukup terbuka.
Perlunya Proof of Human
Untuk meminimalisasi potensi adanya penyalahgunaan AI, maka sangat dibutuhkan sebuah sistem guna membedakan manusia dan AI. Kita sering mendapatkan kode CAPTCHA atau Completely Automated Public Turing Test to Tells Humans and Computers Apart. Singkatnya kode CAPTCHA digunakan untuk membedakan manusia dan komputer. Atau kita sering diberikan pertanyaan untuk menebak benda mana yang sesuai mana yang tidak. Secara teknis itu disebut “Proof of Human.” Lantas sejauh mana proof of human mampu bekerja?
Meskipun penggunaan kode CAPTCHA ataupun pertanyaan dirancang untuk membedakan apakah yang menggunakan akun tersebut adalah manusia atau bot, AI telah berkembang pesat dan telah terjadi beberapa kasus saat AI canggih dapat memecahkan kode CAPTCHA. Namun demikian, harus ada kode unik manusia yang tidak dimiliki oleh AI, minimal hingga saat ini. Dahulu kita mengenal dengan sidik jari, sebuah kode unik setiap orang untuk mengenali seseorang. Namun, identifikasi sidik jari kurang menjadi kurang andal ketika terdapat banyaknya jumlah sidik jari. Oleh karena itu, teknologi proof of human yang lebih canggih akan menjadi lebih penting. Saat ini, teknologi kemungkinan besar mengarah kepada teknologi pengenalan iris mata. Metode ini sama seperti face recognition seperti di pintu masuk kereta api atau gedung. Tapi penggunaan iris mata, akan berkembang ke depan.
Secara ekonomi, penggunaan proof of human dapat menghindarkan adanya penipuan keuangan yang dilakukan oleh AI. Dengan membedakan mana AI dan manusia, manusia mampu menghindari penipuan berupa phising, scamming, dan lain sebagainya. Transaksi keuangan, terutama di aset kripto, hanya bisa dilakukan dengan akses kode unik individu pemilik aset.
Selain itu, penggunaan proof of human juga bisa membuat kenaikan inklusi keuangan. Sama seperti pemerintah India dengan program Aadhaar, sebuah program kode unik yang berdasarkan data biometrik dan geografis. Hasilnya pun juga mentereng dengan kenaikan tingkat inklusi keuangan dari 53% pada 2014, menjadi 80% pada 2017. Dengan menggunakan kode unik, saya rasa pemerintah Indonesia juga bisa meningkatkan inklusi keuangan masyarakat kita.
Bagi dunia usaha, penggunaan proof of human juga bisa menurunkan risiko bisnis, terutama bagi bisnis keuangan. Sistem bisa mengenai nasabah dengan cepat melalui sistem Know Your Customer (KYC) menggunakan data tersebut. Memang sudah ada metode pencegahan tertentu yang sudah digunakan otoritas terkait, namun penggunaan proof of human bisa mempercepat proses tersebut.
Harapannya adalah AI mampu menjadikan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, baik di bidang teknologi maupun non-teknologi. Semuanya akan sangat tergantung dari kemampuan pemerintah dalam melihat peluang sekaligus tantangan penggunaan AI ke depan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membedakan mana AI, mana manusia, sehingga memastikan bahwa manusia tetap menjadi pusat dari kemajuan AI dan teknologi.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.