100 Hari Prabowo-Gibran: Masyarakat Adat Kian Terjepit


Sejak dilantik pada Oktober 2014, terlihat kegamangan pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka untuk mengubah arah kebijakan pembangunan. Arus utama kebijakannya tetap pro-pembangunan dan investasi besar.
Isu-isu penting terkait perlindungan hutan dan hak masyarakat adat Nusantara justru menunjukkan ketidakmampuan mereka mengambil langkah progresif. Terutama, dalam memitigasi dampak buruk akibat kebijakan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Dalam 100 hari pertama mereka, tanda-tanda kemajuan pada perlindungan hutan dan hak masyarakat adat Nusantara sangat terbatas. Beberapa kebijakan justru menambah kekhawatiran berbagai pihak yang berjuang untuk perlindungan hutan dan hak masyarakat adat.
Salah satu bukti yang masih jelas teringat adalah penangkapan Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Simalungun, Sumatera Utara. Kasus ini menggambarkan dengan jelas bagaimana ketidakadilan terhadap masyarakat adat masih terus berlangsung di Indonesia.
Kakek berusia 65 tahun tersebut berupaya mempertahankan tanah yang telah dikelola oleh komunitasnya selama ratusan tahun. Namun, Pengadilan Negeri Simalungun justru menganggapnya melanggar hukum dan memvonisnya dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Komunitas Ompu Umbak telah menempati tanah adat mereka lebih dari 10 generasi. Bahkan sebelum Indonesia berdiri. Namun, semenjak Pemerintah mengklaim sepihak tanah adat tersebut menjadi kawasan hutan lindung dan kemudian memberikan izin konsesi kepada PT Toba Pulp Lestari, Komunitas Ompu Umbak harus berhadapan dengan hukum.
Betul bahwa setelah melalui proses hukum yang panjang, majelis hakim Pengadilan Tinggi Medan membebaskan Sorbatua dari segala tuntutan pidana. Namun, kasusnya tidak berhenti. Jaksa Penuntut Umum (baca: negara) masih mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Kasus Sorbatua mencerminkan ketidakadilan hukum terhadap masyarakat adat. Ini hanya salah satu contoh dari banyaknya kasus perampasan wilayah adat di Indonesia. Pada 2024, perampasan wilayah adat mencapai 2,8 juta hektare. Jumlah tersebut naik dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 2,6 juta hektare. Perampasan tersebut selalu disertai dengan tindakan kriminalisasi dan kekerasan.
Masih juga jelas dalam ingatan, plang-plang pemberitahuan yang muncul di wilayah adat Maridan di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Di palang bertulis “Lahan Mabes Polri.” Konon, lahan yang diklaim Mabes Polri tersebut dasar kepemilikannya berasal dari Surat Badan Bank Tanah dan Tata Ruang Strategis Ibu Kota Negara (IKN).
Oleh sebab itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai isu utama yang harus terus menjadi perhatian publik di masa pemerintahan ini adalah kebijakan terkait hutan. Sumber daya alam Indonesia, khususnya hutan tropis merupakan kekayaan alam yang sangat penting. Termasuk masyarakat adat yang hidup di dalamnya.
Sejumlah organisasi lingkungan hidup sudah menyatakan kekhawatirannya terhadap rencana pemerintah yang lebih memprioritaskan proyek pembangunan. Terutama ekspansi perkebunan sawit dan proyek food estate, tanpa memperhatikan dampak jangka panjang terhadap deforestasi dan kerusakan ekosistem.
Deforestasi di Indonesia pada 2025, berdasarkan data Walhi, diperkirakan akan meningkat sebesar 0,5 hingga 0,6 juta hektare. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan pada 2023 yang tercatat sebesar 0,2 juta hektare. Penyebabnya, kebijakan yang mengarah pada pembukaan lahan untuk sawit, food estate, dan proyek-proyek infrastruktur besar lainnya.
Terlebih, kebijakan seperti UU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi investor yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam tanpa mengutamakan prinsip keberlanjutan dan perlindungan lingkungan.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dalam sebuah pidatonya berjanji pemerintah akan mempercepat restorasi hutan dan pengurangan laju deforestasi. Namun, langkah-langkah yang muncul terkesan minim dan justru lebih berfokus pada sektor ekonomi yang mengarah pada eksploitasi sumber daya alam.
Belum ada strategi yang jelas untuk membatasi konversi hutan menjadi perkebunan sawit atau lahan pertanian yang dapat merusak habitat alami dan menurunkan keanekaragaman hayati.
Hal itu bukan sekadar dugaan. Pernyataan Presiden Prabowo soal ekspansi sawit menyiratkannya. Ia mengasumsikan tanaman sawit punya fungsi dan peran seperti tumbuhan hutan alami. Adakah ini kesalahan interpretasi atau ketidakpahamannya soal hutan?
Namun wacana Menteri Kehutanan tentang pembukaan 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi memperlihatkan ada ketidakpedulian soal hutan dan nasib masyarakat adat.
Bukti lain adalah adanya rencana proyek food estate seluas 3,2 juta hektare di kawasan hutan alam dengan luasan 1,5 juta hektare. Serta, izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan mineral dan logam seluas 9 juta hektare.
Kekhawatiran masyarakat soal serangan terhadap hutan tak berhenti di sana. Masalah lain yang paling disoroti adalah meningkatnya militerisasi yang terjadi di bawah pemerintahan ini. Proyek-proyek besar seperti food estate yang memanfaatkan lahan hutan alam telah mengundang intervensi militer, di mana aparat pertahanan diaktifkan untuk "menertibkan" kawasan yang ada dalam proyek tersebut.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, telah terjadi ratusan konflik agraria yang mengakibatkan perampasan wilayah adat, seringkali dengan menggunakan kekuatan militer untuk menekan perlawanan masyarakat adat. Pemerintah kini tidak hanya menghadapi masalah itu dengan pendekatan hukum, tetapi juga dengan pendekatan yang lebih represif.
Pemerintahan Prabowo-Gibran belum menunjukkan langkah konkret untuk menanggulangi praktik semacam ini. Alih-alih menghapuskan kebijakan yang mengancam masyarakat adat, mereka malah cenderung untuk memperkuat kontrol atas wilayah adat dengan melibatkan militer.
Hal ini dapat dipandang sebagai upaya untuk mengamankan proyek-proyek strategis nasional (PSN) seperti food estate dan pembangunan infrastruktur besar lainnya yang sering kali mengancam hak masyarakat adat atas tanah mereka.
Pada sektor perlindungan hak-hak masyarakat adat, evaluasi terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama juga menunjukkan ketidakpedulian yang nyata. Masyarakat adat nusantara selama bertahun-tahun telah berjuang untuk mendapatkan pengakuan hukum terhadap tanah dan sumber daya alam yang mereka kelola secara turun-temurun. Namun, dalam 100 hari pertamanya pemerintahan ini belum menyatakan akan ada langkah nyata yang diambil untuk mewujudkan pengakuan terhadap hak masyarakat adat.
Salah satu contoh konkritnya adalah masih mandeknya pembahasan RUU Masyarakat Adat yang sudah diajukan sejak dua dekade lalu. Tepatnya sejak 2012 ketika diajukan dengan nama RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA). Meskipun ada klaim dari pasangan presiden dan wakil presiden, juga DPR, bahwa mereka akan mengesahkan RUU tersebut pada 2025, namun tidak ada tanda-tanda pemerintah akan mengutamakan penyelesaiannya dalam waktu dekat.
Bukti nyata lainnya, AMAN mencatat bahwa pada 2024 saja telah terjadi 121 kasus perampasan wilayah adat yang merugikan sekitar 2,8 juta hektare tanah adat. Konflik-konflik ini tidak hanya mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat, tetapi juga memperburuk ketidakadilan sosial yang mereka alami selama ini.
Pemerintahan Prabowo-Gibran tidak menunjukkan langkah signifikan untuk menyelesaikan masalah ini. Apalagi mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang menjadi harapan untuk memberi perlindungan hukum yang jelas bagi masyarakat adat.
Cerminan lain dari ketidakpedulian itu adalah dalam Pilkada yang berlangsung pada November 2024 lalu, hanya 17 dari 545 daerah yang mengangkat isu-isu masyarakat adat. Hal ini menunjukkan bahwa para calon kepala daerah cenderung lebih fokus pada kepentingan ekonomi dan pembangunan daripada memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Pilkada seharusnya menjadi ajang untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, namun faktanya masyarakat adat semakin terpinggirkan.
Secara keseluruhan, 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan sedikitnya harapan bagi masyarakat adat dan perlindungan hutan di Indonesia. Kebijakan yang lebih mendukung investasi dan pembangunan berpotensi memperburuk kerusakan lingkungan dan meningkatkan ketimpangan sosial.
Pemerintahan baru ini harus segera mengambil langkah konkrit untuk memberikan pengakuan hukum yang jelas terhadap masyarakat adat, melindungi hutan dari alih fungsi yang merusak lingkungan, dan menghentikan kebijakan-kebijakan yang merugikan masa depan ekosistem dan keadilan sosial.
Tanpa komitmen yang lebih kuat terhadap isu-isu ini, Indonesia akan terus menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, termasuk masyarakat adat yang telah lama terpinggirkan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.