Sekolah Rakyat Menciptakan Diskriminasi Baru?

Ari Kristianawati
Oleh Ari Kristianawati
15 Maret 2025, 10:25
Ari Kristianawati
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintah berencana memfasilitasi pendidikan gratis berkualitas bagi  anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang berasal dari kategori desil 1 dan 2 dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Fasilitasi pendidikan gratis dengan metode pembelajaran berasrama di berikan label “Sekolah Rakyat.” 

Sekolah Rakyat di bawah naungan Kementerian Sosial akan didirikan di 53 lokasi di seluruh Indonesia yang akan dimulai pada tahun ajaran 2025-2026. Sebanyak 41 lokasi Sekolah Rakyat merupakan transformasi Sentra dan Balai Pendidikan milik Kementerian Sosial yang tersebar di berbagai daerah. Salah satunya yang dianggap paling siap adalah Sentra Pangudi Luhur (STPL) yang memiliki luas 16 hektare di Bekasi.

Pendirian Sekolah Rakyat memunculkan respons kritis dari publik, khususnya praktisi pendidikan dasar. Sekolah Rakyat dianggap sebagai wujud kebijakan fasilitasi pendidikan yang menciptakan sekat sosiologis.  Memisahkan relasi kesetaraan antara anak-anak dari keluarga miskin dengan anak anak dari komunitas yang beragam dari status ekonomi.

Sekolah Rakyat yang diracik sebagai formula pemenuhan tanggung jawab konstitusional negara terhadap hak dasar pendidikan bagi seluruh rakyat, berpotensi menciptakan diskriminasi akut antaranak-anak pembelajar.  Sekolah Rakyat menciptakan stigmatisasi bahwa anak anak dari keluarga miskin desil 1 dan desil 2 yang paling layak diberikan aksesibilitas atas layanan pendidikan yang gratis dan berkualitas. Negara mengintervensi dengan kebijakan dan anggaran yang besar.

Secara filosofis pendirian sekolah rakyat  berlawanan dengan prinsip “education for all,” bahwa pendidikan adalah media layanan sosial dasar bagi seluruh masyarakat tanpa pengkotak-kotakan atas indikator apapun. Sekolah Rakyat yang akan didirikan pemerintahan Prabowo Subianto seolah menjadi perulangan sejarah era kolonial. 

Pada era kolonial Belanda, Sekolah Rakyat disebut sebagai Volkschool  atau Sekolah Rakyat Desa yang didirikan penduduk pribumi yang diajar para guru pribumi, namun diawasi secara ketat oleh pemerintah Belanda. Sekolah Rakyat Volkschool dikhususkan bagi warga pribumi dari kelas rakyat jelata dan bukan bangsawan. 

Mereka yang berasal dari keluarga bangsawan dan keluarga penguasa kolonial, mengenyam pendidikan berkualitas yang difasilitasi pemerintah Hindia Belanda, di antaranya: Hollandsche-Inlandsche School (HIS), Europeesche Lagere School (ELS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Schakel school dsb.

Ssekolah Rakyat Volkschool yang dikhususkan bagi anak anak dari rakyat jelata (miskin) sempat vakum pada awal kemerdekaan dan kemudian dilanjutkan pemerintah Orde Lama. Pemerintahan Orde Baru mengganti idiom Sekolah Rakyat menjadi Sekolah Dasar yang didirikan di berbagai desa dan kota.

Berkaca dari realitas sejarah, pendirian Sekolah Rakyat saat ini hanya akan menciptakan lubang diskriminasi sosial dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Diskriminasi yang akan dialami bagi anak anak dari komunitas miskin yang tidak menjadi target sasaran program. Kemudian diskriminasi yang akan dialami satuan kerja pendidikan dasar yakni sekolah-sekolah swasta dan negeri yang telah berdedikasi melayani aksesibilitas pendidikan bagi anak anak tanpa membedakan kelas sosial ekonomi tertentu.

Biaya pendirian sekolah rakyat, menurut Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar, diperkirakan mencapai Rp100 miliar untuk satu unit Sekolah Rakyat. Jika nanti akan didirikan 53 sekolah maka membutuhkan anggaran negara sekitar Rp5,3 triliun. Anggaran yang cukup besar, yang sebenarnya lebih fungsional jika dijadikan stimulus program Pendidikan berkualitas bagi sekolah sekolah negeri dan swasta yang teruji dalam komitmen pelayanan pendidikan dasar yang inklusif.

Banyak paradoks dalam pendirian sekolah rakyat yang dirasakan oleh pegiat pendidikan di antaranya; Pertama, Sekolah Rakyat memiliki watak eksklusif yang bertentangan dengan arus inklusivitas dalam dunia pendidikan. Anak-anak yang melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah rakyat semakin terpisah jauh dari realitas sosiologis kehidupan. Padahal pendidikan yang ideal adalah tidak berjarak antara nilai ideal yang diajarkan di ruang kelas dengan pembelajaran realitas di lingkungan sosial.

Kedua, Sekolah Rakyat merepresentasikan program yang instan dan pragmatis. Bukan menjadi piranti untuk mewujudkan sistem, model, dan program pendidikan yang berkualitas bagi semua siswa (anak didik) tanpa membedakan kelas sosial. Program yang mengejar target statistik pencitraan pemerintah atas layanan sosial dasar di bidang pendidikan bagi keluarga miskin. 

Ketiga, Sekolah Rakyat mengabaikan eksistensi kelembagaan sekolah sekolah negeri dan swasta yang telah teruji komitmennya dalam pelayanan pendidikan dasar, bagi anak anak dari keluarga miskin. Banyak sekolah yang telah memainkan fungsi melayani kebutuhan pendidikan yang bermutu dari keluarga miskin dengan skema subsidi silang.

Pemerintah seharusnya memiliki orientasi yang sistematis,dan terstruktur untuk memajukan pendidikan nasional yang berbasis nilai kesetaraan dan harmoni. Pendidikan yang tidak membedakan kelas sosial. Pendidikan yang mengembangkan kompetensi akademis dan kecakapan terapan bagi anak didik.

Pemerintah sebenarnya tidak perlu mendirikan sekolah baru. Data saat ini menunjukkan terdapat 439.784 sekolah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang mencakup PAUD, PKBM dan SKB, SD, SMP, SMA, SMK, serta SLB dengan melayani kegiatan belajar mengajar terhadap 52.913.427 anak didik. Cukup membuat program peningkatan fungsi strategis sekolah dalam pelayanan pendidikan yang bermutu secara merata. 

Jika pemerintah memiliki komitmen penuh dalam fasilitasi pendidikan berkualitas bagi anak anak didik dari keluarga miskin adalah dengan memperbesar volume subsidi pendidikan yang khusus sampai jenjang perguruan tinggi.

Jauh lebih lagi, pentingnya negara menciptakan skema pembiayaan pendidikan yang murah namun memiliki standar kualitas tinggi bagi seluruh siswa (anak didik) tanpa pengecualian. Jangan menciptakan diskriminasi dengan dalih keberpihakan pada orang miskin. Keberpihakan adalah kebijakan tanpa pilih kasih.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Ari Kristianawati
Ari Kristianawati
Guru SMAN 1 Sragen

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...