Membangun Tata Kelola Pemerintahan dengan Sistem Integritas Nasional


Pada dekade 1990an, dunia pembangunan internasional fokus pada dua isu besar, yakni pembangunan tata kelola pemerintahan (good governance) dan penanganan korupsi. Namun, tercapainya kebijakan publik yang baik tidak hanya dilihat dari bekerjanya satu atau beberapa lembaga terkait dalam bidang itu.
Good governance adalah kerangka besar tentang bagaimana pengaturan alokasi sumber daya suatu negara. Pengaturan ini melibatkan prinsip-prinsip utama yaitu partisipasi, hak asasi manusia, berorientasi konsensus, berdasarkan hukum yang adil, transparansi, akuntabilitas, responsif, dan efisien (alokasi terbaik).
Gagasan good governance lahir dari pengalaman buruk dominasi elite politik dan kroninya di bidang ekonomi. Mereka dianggap merusak kesejahteraan umum dan kemajuan. Indonesia pada masa Orde Baru merupakan bagian dari bahan pembelajaran tersebut.
Pada perkembangannya, gagasan good governance dikembangkan dalam kerangka Sistem Integritas Nasional (SIN). Kerangka ini mengidentifikasi beberapa pilar institusional yang ada dalam negara modern. Pilar institusional ini menopang bekerjanya sistem untuk mencapai kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa.
Pilar-pilar tersebut adalah eksekutif, legislatif, yudikatif, auditor negara, ombudsman, birokrasi pelayanan publik, media, penegak hukum, organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, dan lembaga internasional. Ada negara yang menambahkan pilar seperti badan-badan pemantau (korupsi, hak asasi manusia, dll) serta partai politik.
Pada struktur dasarnya terdapat masyarakat yang peduli dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Ini menunjukkan pemikiran bahwa lembaga publik dalam satu kehidupan negara tidak bisa dibiarkan mengambil keputusan yang mengalienasi publik.
Model Akuntabilitas
Pemikiran tentang Sistem Integritas Nasional terus berkembang. Fokusnya adalah bagaimana menjaga agar setiap pilar menjalankan fungsinya dengan baik.
Ada dua pokok pembahasan: a. mekanisme interaksi antara lembaga publik dan masyarakat; b. interaksi antarlembaga publik. Penilaian dilakukan pada tingkat konstitusional, kebijakan, dan operasional.
Pembahasan pertama adalah tentang ruang dan mekanisme interaksi yang setara antara pejabat publik/pengambil keputusan dengan organisasi nonpemerintah.
Apakah hak berserikat, berkumpul, dan menyuarakan pendapat dijamin secara konstitusional? Jika ya, maka pemerintah dan para politisi harus menerjemahkannya dalam berbagai kebijakan.
Secara singkat ini dapat disebut politik untuk masyarakat sipil. Penerjemahannya ke dalam kebijakan akan ada banyak bidang. Intinya adalah melindungi ruang publik yang rasional.
Namun, yang lebih cerdas dan bertanggungjawab adalah jika pemerintah membuat kebijakan untuk memperkuat masyarakat. Kebijakan tersebut menjadi instrumen bersama pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan.
Sebagai contoh, jika ada organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang pendidikan, maka pemerintah harus berupaya memperkuat mereka. Misalnya, dengan kebijakan peningkatan kemampuan guru dalam metode mengajar, memfasilitasi pengembangan pendidikan yang lebih sesuai dengan daerah.
Amat banyak pengalaman dan kemampuan organisasi masyarakat dalam menangani persoalan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Mereka adalah sumber informasi dan energi sosial yang harus dilibatkan. Pemerintah harus melibatkan mereka yang kritis. Proses dialog akan menghasilkan manfaat bagi kedua belah pihak.
Akuntabilitas horizontal antarlembaga publik juga sangat penting. Ada banyak model akuntabilitas horizontal, tergantung isu yang akan dipecahkan. Alhasil, akan ada lembaga-lembaga yang menjadi institusi pokok dan memiliki wewenang lebih kuat.
Tentunya, hubungan antarlembaga ini akan mengandung prinsip keadilan dan transparansi, serta akuntabilitas.
Di luar institusi inti, hubungan dengan lembaga-lembaga lain diwujudkan dalam hubungan kebijakan dan operasional. Sebagai contoh kebijakan meningkatkan manfaat ekonomi dari sumber daya alam akan menghasilkan hubungan operasional dengan komisi penanganan korupsi, atau dengan komisi hak asasi manusia.
Dengan demikian dalam menilai apakah suatu sistem menegakkan integritas, dapat dilihat dari dari kekuatan atau kekurangan dalam hubungan, baik kebijakan maupun operasional, antarlembaga. Begitupun hubungannya dengan organisasi nonpemerintah.
Masalah Indonesia
Ketidakstabilan politik di Indonesia belakangan ini mempunyai akar yang telah berlangsung bertahun-tahun. Penyusunan undang-undang bermasalah, seperti omnibus law dan revisi UU KPK misalnya, menunjukkan kelemahan dalam SIN.
Sebagian masalah terletak pada terbatasnya keterlibatan publik. Tentu ada persoalan kebijakan dan operasional yang menyertai kelemahan itu.
Dalam kasus revisi UU TNI, persoalan yang ada bukan sekadar kekhawatiran tentang peran TNI yang menjauhkan kontrol masyarakat atas kehidupan publik. Revisi UU TNI lahir dalam kondisi berbagai pelanggaran prinsip integritas dalam penyelenggaraan negara.
Misalnya, persoalan etika konflik kepentingan di Mahkamah Konstitusi, berbagai kasus korupsi, pengangguran dan kemandegan sektor riil, serta kapabilitas dan integritas pejabat publik.
Seakan pilar-pilar kenegaraan bergoyang dengan keras, mendorong munculnya tagar “kabur saja dulu” di kalangan anak muda yang sesungguhnya juga pemilik republik ini.
Kelompok-kelompok kepentingan akan mencari jalan penguatan dan kesempatan sendiri. Jaringan-jaringan manipulatif semakin tumbuh, menyatukan kelompok yang duduk dalam institusi publik dan aktor-aktor di masyarakat.
Merajalelanya premanisme seperti yang terangkat dalam laporan Kompas baru-baru ini itu merupakan gejala yang mudah diprediksi perkembangannya.
Jika Indonesia ingin menghentikan kemunduran kehidupan berbangsa ini, maka para pemimpinnya harus fokus pada beberapa hal inti. Pertama, tegakkan prinsip prinsip yang menopang nilai-nilai kebangsaan yaitu kesejahteraan inklusif dan bangun kemampuan sistem untuk tujuan itu.
Artinya, pemerintah dan pemimpin politik harus berangkat dari persoalan struktural yang ada yang membuat inisiatif-inisiatif ekonomi berguguran. Bukan hanya memberi kebijakan populis yang tidak menimbulkan kekuatan masyarakat.
Kedua, akuntabilitas alokasi sumber daya publik. Korupsi dan manipulasi sistem terjadi luas, maka jaringan lembaga penegakan integritas harus kuat tapi juga kredibel. Bukan hanya kemampuan menghukum tapi juga menegakkan sistem itu sendiri. Salah satu mekanisme sangat penting yang harus diwujudkan segera adalah undang-undang perampasan aset dan pengaturan konflik kepentingan.
SIN mensyaratkan koordinasi, tetapi yang pantang adalah amalgamasi kepentingan klik. Tanpa keduanya, sistem akan berjalan dengan dipengaruhi negosiasi antarklik, dan kemasabodohan atas kepentingan rakyat.
Indonesia harus kembali bercermin pada prinsip-prinsip dasar kerangka SIN karena menyatukan pendekatan kesejahteraan (inklusif), interaksi sehat warga negara dan negara, dan teknokrasi pengelolaan sumber daya.
Pilar-pilar organisasional/institusional adalah level yang cukup jelas memberikan arahan yang membumi, sesuai dengan konteks. Tentu ini menjadi perjuangan bagi pimpinan nasional, tetapi pasti mendapat dukungan masyarakat.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.