Integrasi Jalur Sepeda dan Commuter Line Solusi Kemacetan Jakarta


Kemacetan yang melanda kota-kota besar, seperti di Jakarta, disebabkan minimnya penggunaan kendaraan umum. Hal ini terlihat dari tingginya kepemilikan kendaraan bermotor pribadi di Jabodetabek yang mencapai 33,1 juta unit pada 2023. Dari jumlah itu, 70% berada di Jakarta dan mayoritas merupakan sepeda motor.
Salah satu penyebab kurang berminatnya masyarakat menggunakan kendaraan umum adalah faktor biaya yang secara keseluruhan lebih mahal dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi.
Konteks lebih mahal yang dimaksud, jika dalam perjalanan dari lokasi pemukiman (origin) ke pemberhentian angkutan umum massal (halte, terminal, stasiun) dan berlanjut ke tempat kerja atau sekolah/kampus (destination) tidak langsung terkoneksi.
Data BPS (2024) menyebutkan, pengeluaran komuter di Jabodetabek yang menggunakan motor pribadi berkisar antara Rp3,37 juta - Rp4,98 juta. Sedangkan untuk transportasi umum, berkisar Rp1,19 juta - Rp5,92 juta.
Faktanya, terdapat sekitar 28,6% pengguna transportasi umum yang mengeluarkan biaya melebihi Rp5,92 juta dan 12,5% yang menggunakan dua kali moda transportasi. Artinya, pengeluaran kendaraan umum lebih besar dari pengeluaran motor pribadi.
Lantas, bagaimana membuat transportasi umum menjadi pilihan yang menarik bagi masyarakat Jabodetabek di tengah maraknya praktik leasing kendaraan bermotor dan relatif mahalnya biaya yang dikeluarkan dari penggunaan transportasi umum?
Selama ini, peningkatan laju pertumbuhan kendaraan bermotor tidak diimbangi dengan penambahan ruas jalan yang signifikan. Pada 2016-2023, pertumbuhan panjang jalan di Indonesia tiap tahunnya tidak mencapai 1%. Belum lagi diperparah dengan kerusakan jalan yang menambah kemacetan.
Teori paradoks Braess menjelaskan, membangun jalan baru (misalnya jalan tol, jalan layang, dll) di lokasi yang salah dapat menyebabkan waktu tempuh ke titik tujuan lebih panjang bagi pengguna jalan. Artinya, pembangunan jalan belum tentu akan menghilangkan kemacetan.
Paradoks ini terjadi karena setiap pengemudi mengambil rute tercepat tanpa mempertimbangkan implikasinya terhadap pengemudi lain. Mereka peduli pada banyaknya mobil di depan, tetapi tanpa memperdulikan antrean mobil di belakangnya (Braess, et.al., 2005).
Contoh dari Paradoks Braess yaitu Cheong Gye Cheon Restoration Project. Dengan meniadakan jalan raya di Seoul ternyata meningkatkan kelancaran lalu lintas, karena terdapat pengalihan dari pengguna kendaraan pribadi ke transportasi umum dan subway (LEE In-Keun, 2006).
Untuk konteks Jabodetabek, jika sulit mengaplikasikan lesson learned tersebut, penulis mengusulkan untuk modifikasi ‘meniadakan jalan raya’ dengan ‘tidak menambah jalan raya’ (sesuai Paradoks Braess), sebagai berikut:
- Konteks Jakarta: tidak membangun jalur angkutan umum berbasis jalan raya, tapi perencanaan manajemen lalu lintas yang lebih baik.
- Konteks Bodetabek: tidak membangun jalur angkutan umum berbasis jalan raya, melainkan memperluas jangkauan jalur rel kereta api untuk mencapai banyak kawasan permukiman. Walaupun jalur rel lebih mahal daripada jalan raya, tetapi jumlah komuter yang tinggal di Bodetabek pada 2023 cukup banyak, yaitu 21,9 juta jiwa (BPS, 2024).
Transformasi peralihan dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum (kereta) dapat direalisasikan jika infrastruktur utama dan penunjang kereta beroperasi secara efisien. Selain itu, pemerintah perlu menjamin agar tarif kereta dapat terjangkau dengan konsekuensi pengeluaran pemerintah berupa pemberian subsidi (yang harus tepat sasaran).
Perluasan Jalur Sepeda di Paris
Sejak pertengahan 2010-an, pemerintah Kota Paris fokus pada Transportation Demand Management (TDM) dengan mendorong pergeseran moda transportasi dari mobil ke sepeda.
Berdasarkan Plan Vélo 2015–2020, dibangun jalur sepeda secara masif dan pembatasan akses mobil di jalan tertentu (hanya boleh dilalui sepeda, bus, taksi, dan kendaraan darurat: konversi Rue de Rivol, 2020). Dalam rentang waktu tersebut, panjang jalur sepeda di Paris meningkat hampir dua kali lipat, dari 730 km menjadi 1.400 km + 50 km “coronapistes” (jalur sepeda darurat).
Paris berhasil mendorong peralihan moda dari mobil ke sepeda melalui kebijakan terpadu. Dampaknya, pada 2022 penggunaan sepeda melonjak 18,9% sementara perjalanan mobil turun 2,5%. Kondisi ini menunjukkan pengurangan kemacetan.
Strategi kunci Paris adalah menurunkan generalized cost bersepeda (jalur terproteksi meningkatkan kecepatan dan keamanan) sekaligus menaikkan generalized cost mobil (pengurangan lajur, pembatasan kecepatan dan parkir). Perubahan struktur “biaya” ini mendorong warga beralih ke sepeda atau angkutan umum, sejalan prinsip TDM yang berhasil menekan ketergantungan mobil pribadi.
Meski transformasi Paris berdampak positif, terdapat beberapa tantangan yang perlu dicatat. Pengurangan lajur mobil di tahap awal sempat memicu kemacetan lokal, terutama tanpa disinsentif seperti congestion pricing. Sebagian pengemudi tetap berkendara hingga kebijakan push-pull diterapkan penuh.
Jangkauan kebijakan juga terbatas di pinggiran kota: Banlieue belum terlayani jalur sepeda memadai. Akibatnya, banyak komuter tetap bergantung pada mobil dapat menimbulkan resistensi warga pinggiran yang merasa dirugikan.
Selain itu, lonjakan pesepeda memicu “kemacetan sepeda” di jalur tertentu dan meningkatkan risiko kecelakaan di segmen tak terproteksi. Dalam hal ini menuntut peningkatan kapasitas serta kualitas infrastruktur (konektivitas dan keamanan jalur).
Jakarta sebetulnya telah mengadopsi langkah serupa dalam pengembangan jalur sepeda, sebagai bagian dari strategi transportasi berkelanjutan. Pada 2019, Pemprov Jakarta meresmikan 63 km jalur sepeda (awal) yang menghubungkan pusat kota dengan wilayah barat, timur, dan selatan. Hingga 2023, panjang total jalur sepeda di Jakarta meningkat menjadi 301,7 km dari target 500 km yang dicanangkan oleh ITDP untuk 2030 (ITDP, 2023).
Pada Oktober 2023, Dinas Perhubungan Provinsi Jakarta mengganti stick cone dengan paku jalan (mata kucing) pada 13 ruas jalur sepeda terproteksi, termasuk di Jalan Ahmad Yani, Jalan DI Panjaitan, dan Jalan HOS Cokroaminoto. Meskipun stick cone memiliki kelemahan ketahanan karena material temporernya, keberadaannya terbukti efektif dalam membatasi konflik antara pesepeda dan kendaraan bermotor.
ITDP Indonesia (2022) mencatat bahwa rasa percaya diri pesepeda pemula meningkat sebesar 18% dengan adanya stick cone, dan 67% dengan pembatas fisik permanen, dibandingkan dengan jalur sepeda yang hanya dibatasi marka. Sayangnya, banyak jalur sepeda masih tidak memiliki proteksi fisik permanen, yang menyebabkan rendahnya rasa aman pesepeda dan belum optimalnya jalur sebagai moda first-last mile.
Sejumlah langkah yang dapat diambil untuk penataan jalur sepeda, antara lain:
- Meningkatkan koordinasi terpadu antar-dinas (misalnya satuan tugas transportasi aktif) untuk memastikan perencanaan dan implementasi berjalan selaras, serta menerapkan monitoring berbasis data untuk evaluasi dan penyesuaian kebijakan.
- Kombinasi pendekatan pull factor (infrastruktur dan insentif sepeda) dengan push factor (pembatasan mobil/motor seperti ERP atau zona bebas mobil/motor) agar peralihan moda lebih efektif.
- Percepatan pembangunan jalur sepeda hingga target 500 km pada 2030 dengan standar terbaik: jalur terproteksi yang lebar, berkesinambungan tanpa putus, serta dilengkapi parkir sepeda dan fasilitas aman di persimpangan.
- Integrasi jaringan sepeda dengan angkutan umum dan memperluas jangkauannya ke kawasan pinggiran agar komuter sub-urban turut beralih moda.
Mobilitas komuter Jabodetabek akan lebih optimal dengan mengintegrasikan kereta commuter dan jalur sepeda. Ongkos naik commuter line menjadi lebih murah dibanding kendaraan pribadi ketika seseorang keluar dari stasiun bisa naik “sepeda gratis”. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan pengadaan “sepeda gratis” dengan sistem keamanan dan ekosistem yang mendukung.
Usulan lokasi pilot project untuk pengadaan sepeda yaitu di Jakarta Selatan, yang menjadi tujuan kegiatan komuter terbanyak di Jabodetabek, sekitar 882.332 orang komuter (BPS, 2024). Lokasinya di Flyover Kuningan hingga Jalan Sudirman, yang merupakan kawasan komersial, pusat bisnis, dan wilayah administratif.
Lokasi ini strategis untuk menyediakan sepeda umum yang mendukung first-mile dan last-mile connectivity. Dengan demikian, pendekatan ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, meningkatkan efisiensi biaya perjalanan, dan mendorong peralihan ke transportasi umum yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan di Jabodetabek.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.