Kelas Menengah Indonesia di Era Ketidakpastian

Roy Imanuddin
Oleh Roy Imanuddin
16 Mei 2025, 07:05
Roy Imanuddin
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kelas menengah di negara berkembang, seperti Indonesia, memiliki peran penting. Posisinya berada di bawah kelas atas, mereka diharapkan dapat beranjak naik kelas. Namun, berbagai hantaman melanda. Mulai dari gelombang pandemi Covid-19 yang menggulung mereka ke titik terendah. Kini muncul ujian baru, bernama perang dagang 2.0. Perang dagang membuat ekonomi diliputi ketidakpastian, IHSG anjlok, nilai tukar dolar terhadap rupiah melambung, PHK massal terjadi. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kelas menengah sebagai kelompok dengan pengeluaran per kapita bulanan antara Rp2 juta hingga Rp9,9 juta. Dalam kurun lima tahun terakhir, jumlah kelas menengah terus mengalami penurunan. Data BPS memperlihatkan, dari 57,33 juta jiwa atau 21,45% pada 2019 menjadi 47,85 juta jiwa (17,13%) pada 2024.   

Sedangkan populasi kelas atas mengalami peningkatan, dari 1,02 juta orang (0,38%) pada 2019 menjadi 1,07 juta orang (0,38%) pada 2024. Sayangnya, peningkatan juga terjadi pada populasi kelas rentan miskin, dari 54,97 juta orang (20,56%) pada 2019 menjadi 67,69 juta orang (24,23%) pada 2024. 

Data ini menunjukan lebih banyak populasi yang turun kelas ke kelas rentan miskin sebesar 12,7 juta orang, ketimbang kelas menengah bertransformasi ke kelas atas sejumlah 50 ribu orang. 

Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada kelas menengah Indonesia? Apakah mereka terlibat dalam gaya hidup konsumtif, lalu bagaimana cara mereka mengatur keuangan? Untuk mengetahui hal itu, kita perlu mengetahui kondisi kelas menengah di Indonesia.

Siasat Bertahan Hidup Kelas Menengah Indonesia

Kelas menengah Indonesia memiliki sense of crisis yang baik. Ibarat sebuah katup otomatisasi, kelas menengah juga memiliki mekanisme adaptasi dan penyesuaian dalam menghadapi kondisi tertentu. Kondisi ini terpotret dari hasil survei Katadata Insight Center (KIC) pada awal 2025 kepada 472 responden kelas menengah di seluruh wilayah Indonesia. Ada empat hal sense of crisis kelas menengah yang berhasil terpotret lewat survei KIC.

Pertama, kelas menengah memiliki kemampuan dalam mengelola keuangan yang baik. Hal ini dapat terlihat, ketika responden ditanya postur pengeluaran gaji ideal per bulan. Seluruh responden menjawab 41% atau hampir separuh gajinya habis untuk konsumsi dan kebutuhan harian. Sedangkan 18,4%, gajinya untuk cicilan. Meski demikian, mereka tidak lupa untuk menyisihkan 19,3% gajinya untuk tabungan dan 9,9% untuk pengembangan diri.  

Kedua, kelas menengah memiliki optimisme akan masa depan yang lebih baik. Meskipun kondisi ideal tidak sepenuhnya terjadi, karena terkadang harus terhimpit oleh situasi sulit.  Setidaknya 69,9% kelas menengah, pernah mengalami momen di mana penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kehidupan dalam setahun terakhir. Meski begitu, uniknya mereka memiliki optimisme yang tinggi terhadap masa depan. Hal ini terlihat dari 75,9% responden yakin, karirnya akan meningkat, naik jabatan dan aman dari PHK.  

Ketiga, kelas menengah Indonesia juga memiliki rencana jangka panjang yang baik. Ini tercermin, ketika responden ditanya apa tujuan mereka dalam menabung. Sebanyak 63,1% responden beranggapan, mereka menabung untuk kebutuhan tidak terduga/dana darurat. Selain itu mereka juga sudah memikirkan dan menyiapkan masa pensiun. Kemudian 89,2% atau mayoritas responden kelas menengah sudah memikirkan masa pensiun, dan 40,5% sudah mempersiapkan masa pensiun. 

Keempat, kelas menengah Indonesia memiliki alternatif tambahan penghasilan lain dari pekerjaan formal yang mereka miliki. Ini terlihat hampir separuh responden 46,5% memiliki pekerjaan sampingan. Sebanyak 88,5 % responden yang melakukan pekerjaan sampingan, mengatakan faktor ekonomi menjadi penentu bagi mereka untuk melakukan pekerjaan sampingan. Berdagang menjadi pilihan bagi 54,6% responden yang melakukan pekerjaan sampingan. 

Dari empat temuan ini dapat disimpulkan kemerosotan populasi kelas menengah di Indonesia tidak sepenuhnya terjadi akibat kesalahan kelas menengah itu sendiri, melainkan adanya faktor dari luar yang tidak bisa mereka hindari.

Ikhtiar Memperkuat Kelas Menengah

Perang dagang 2.0 menjadi arena pertempuran baru bagi kelas menengah Indonesia. Kenaikan harga barang dan jasa, ketidakpastian ekonomi, dan perubahan investasi  adalah adalah rival nyata bagi kelas menengah Indonesia. 

Meski kelas menengah sebagai sebuah agen memiliki daya imunitas yang baik terhadap krisis, tetapi struktur ekonomi Indonesia sebagai sebuah ekosistem turut serta mempengaruhi keberlangsungan eksistensi kelas menengah Indonesia. 

Penurunan kelas menengah adalah bukti bahwa struktur ekosistem ekonomi Indonesia perlu diperkuat. Ada tiga hal yang harus dilakukan pemerintah guna membentuk struktur ekonomi yang kondusif bagi kelas menengah.

Pertama, insentif pajak bagi pelaku ekonomi digital. Insentif ini dilakukan untuk menjaga ekosistem ekonomi digital tetap kondusif, jika ekonomi digital kondusif, maka eksistensi kelas menengah Indonesia ikut terjaga. Ini terjadi karena sebagaimana hasil survei KIC seluruh kelas menengah yang melakukan pekerjaan sampingan menggunakan sarana ekonomi digital, baik sebagai penjual online, ojek online, afiliator, konten kreator dan pekerjaan digital lainnya.  

Selain itu, insentif pajak digital dapat menjadi efek domino bagi kelas menengah lainnya untuk bergabung ke dalam ekosistem ekonomi digital. Hal ini mengingat sektor digital menawarkan fleksibilitas dan peluang penghasilan di era modern. Sektor ini juga dapat menjadi alternatif yang baik ketika sektor formal sedang kurang bergairah seperti saat ini. 

Kedua, penguatan perlindungan sosial (social protection) bagi kelas menengah. Penguatan perlindungan sosial dilakukan guna melindungi kelas menengah dari kemungkinan terburuk yang mengancam mereka untuk kehilangan pekerjaan dan membuat mereka turun kelas. 

Penguatan perlindungan sosial dapat berupa pelatihan tenaga kerja bagi pekerja produktif dan bantuan modal (usaha) bagi pekerja yang terkena PHK. Dua hal ini selain melindungi kelas menengah untuk tetap eksis, juga dapat menjadi akselerator bagi kelas menengah untuk naik kelas.

Ketiga, peningkatan keamanan berinvestasi.  Jika dibandingkan dengan Singapura tingkat keamanan berinvestasi Indonesia sangatlah jauh. Sebagaimana Numbeo Safety Index 2025 menempatkan Singapura pada peringkat 10, sedangkan Indonesia berada di peringkat 76

Kasus premanisme berbalut Ormas pada perusahaan BYD yang baru baru ini terjadi di Subang adalah bukti bahwa keamanan berinvestasi di Indonesia perlu ditingkatkan. Dalam kondisi perang dagang, memperkuat keamanan dan kenyamanan berinvestasi adalah hal yang vital. Kehilangan investor dapat berimplikasi serius bagi laju pertumbuhan ekonomi dan eksistensi kelas menengah Indonesia. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Roy Imanuddin
Roy Imanuddin
Researcher Katadata Insight Center

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...